Prolog

127 12 6
                                    

Sejak keberangkatan kami dari Surabaya ke Bandung, netraku tak pernah lepas dari ramainya jalanan. Aku sama sekali tidak berminat dengan topik pembicaraan keluargaku. Sekadar menyahut sepatah katapun tidak. Aku terlalu malas jika diajak berkunjung ke rumah mbahh uti. Pasti mereka akan asyik membahas insiden lampau yang tak aku mengerti. Terlebih kalimat teman sekelasku yang masih mengganjal di hati.

"Astaga, Siw. Kalo dilihat-lihat nih ya, kamu kok beda sendiri sih sama kakak laki-laki kamu yang kemarin jemput? Atau jangan-jangan kamu bukan anak mereka lagi? Anak pungut "

"Iya lihat deh, matanya sipit sendiri gitu padahal orang tuanya kan nggak."

"AW!" Aku menjerit saat tiba-tiba lenganku dicubit. Aku mendengus kesal pada Prabu, kakak laki-lakiku. Bisa-bisanya ia mengangguku padahal sedang menyetir.

"Bengong aja, mikirin apa?" tanyanya cengengesan. Terkadang aku sebal dengan kelakuannya. Sudah lulus S1 tapi tingkah lakunya masih seenaknya sendiri.

Aku mendesah dan memalingkan wajah, kembali menikmati trotoar hitam putih yang tidak putus-putus. Apa benar aku bukan anak dari keluarga ini? Memikirkan itu membuat hatiku sesak.

"Aku dicuekin ini?" goda dia. " Maaf deh. Sakit banget cubitannya ya?" tanya dia mengusap lenganku. Sontak aku menampar tangannya keras, membuat ia juga menjerit.

"Prabu! Fokus dengan jalan! Adiknya jangan diganggu begitu," peringat bunda pada kakakku.

"Kamu sih, pake acara nyubit segala," keluh Prabu. Aku hanya mencibir pelan.

Sampailah kami di rumah gaya kuno milik mbah uti. Kami disambut ramah oleh wajahnya yang kian keriput dan sorotan teduh dari matanya. Aku balas memeluk tubuh ringkih itu saat tangannya merentang.

"Aduh, Simbah kangen sekali sama kalian," ucapnya tersenyum lebar. Memamerkan gigi ompong miliknya.

Kami semua memang menyayangi mbah uti, hanya saja beliau yang hobi bercerita itulah yang membuatku enggan mendengarkan.

"Halo, Bu. Kami juga kangen sama Ibu," balas bunda mencium punggung tangannya begitupun ayah disusul Prabu yang kerepotan menurunkan barang kami.

Untuk dua minggu ke depan, rencananya kami akan menginap di sini sekalian liburan. Aku mengambil ransel kemudian menggendongnya.

"Ya sudah, ayo masuk. Kalian terlihat sangat kelelahan," suruh mbah uti. Selain pendongeng ulung, beliau juga jawaranya KBBI. Tutur katanya selalu tunduk pada aturan kata baku.

Kami semua pun mengikuti langkahnya, mulai melewati kusen kayu berukir indah.

"Simbah juga sudah membuat kue serabi kesukaan kamu, Siwi," ucap mbah uti.

Aku mengangguk sebagai respon, hendak pergi ke kamar biasanya. Namun, tanganku justru dicegah oleh mbah uti. "Kenapa?" tanyaku heran. Padahal semuanya sudah menuju ke kamar masing-masing.

"Kamar kamu Simbah ubah jadi gudang bulan lalu. Soalnya letaknya di belakang. Kamu tidur di kamar Simbah yang dulu saja. Tidak apa-apa kan?" Jelas mbah uti juga bertanya padaku.

Bagaimana aku bisa menolak atau membantah? Ini kan rumah beliau. Mau kamar itu sudah kutempati berabad-abad, jika pemiliknya ingin merombaknya jadi gudang penyimpanan barang lama juga aku tidak bisa melarang apalagi protes. Lagi-lagi aku mengangguk dan balik badan, berjalan menuju kamar yang dimaksud.

Masuk kamar, aku langsung memasukkan baju ke lemari yang sudah ada. Aku terdiam sejenak ketika menemukan semacam buku catatan keseharian.

"Siw?"

Aku segera memasukkannya kembali ke lemari, menumpuknya dengan pakaianku. "Apa?" tanyaku.

Kebiasaan, masuk kamar tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. "Lain kali kalo masuk kamar ketuk pintu dulu. Nggak sopan," omelku menutup pintu benda di depanku.

"Sama Mas sendiri gitu amat. Kenapa sih? Putus cinta? Ditinggal kekasih? Dah sini deh peluk Mas kalau lagi galau," ucapnya merentangkan tangan.

"Apa sih? Nggak lagi galau," balasku merapihkan kuncir rambut.

"Ya udah. Buru mandi, abis itu makan," suruhnya malah duduk di kasur.

"Nyaman banget tidur di sini. Nanti malam tukeran ya?" pinta Prabu. Aku mendelik tidak suka.

"Nggak ada! Udah sana pergi! Mau mandi!" usirku menarik lengannya agar bangkit.

"Mandinya di luar, Siw. Bukan di kamar," sahutnya menarik lengannya.

Aku menggeram kesal. Menarik handuk dari tas kemudian berlalu. Sungguh menyebalkan kakakku ini.

Makan malam yang membosankan pun dimulai dari sekarang. "Kue serabinya kenapa belum dimakan? Kamu itu harus bersyukur Siwi. Bila kamu tahu bagaimana sengsaranya Simbah dahulu, apalagi waktu krisis moneter orde baru. Mendapatkan makanan seperti ini sungguhlah susah. Harus berjuang mati-matian. Makan bonggol pisang saja sudah sangat senang," jelas mbah uti.

Aku meletakkan sendok dan garpu pelan. Menatap ayah, bunda, dan Prabu bergantian. Aku menghela napas pelan. Mbah uti memang sentimental perihal sesuatu yang berhubungan dengan zaman dulu.

"Bu, maksud Siwi bukan begitu," timpal bunda. Aku memutar bola mata malas. Selera makanku mendadak hilang.

Aku tidak pernah bilang jika suka kue serabi apalagi sampai menggilainya begitu. Hanya karena aku memakan habis jajanan itu waktu bosan mendengar cerita mbah uti, menjadikanya berasumsi demikian.

Aku mencomot satu kue tanpa juroh kemudian berlalu meninggalkan acara makan malam. Aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Aku mengunyah pelan sambil melihat foto besar. Menampakkan kami sekeluarga ditambah mbah uti. Dalam benak aku selalu bertanya mengapa wajah mbah uti dan bunda berbeda? Wajah bunda lebih mirip ras kaukasoid dengan mata lebih lebar. Sedangkan mbah uti terlihat layaknya pribumi biasa. Padahal setahuku, mbah kakung itu asli Maluku. Kakung Karno namanya. Lantas darimana bunda mendapat ciri fisik seperti itu? Ini juga yang sering jadi masalahku. Dari semua anggota keluarga, hanya aku yang bermata sipit. Entahlah.

"Magiesta Siwi? Apa kamu mendengarkan suaraku, Nduk? Cah ayu, kemarilah. Cah bagus budine."

Aku tidak sedang berkhayal yang aneh-aneh. Namun, suara itu terdengar begitu nyata juga jelas. Aku menatap sekitar dan terpaku pada lemari bisu di pojokan, tempat pakaianku berada. Pikiranku teringat pada buku tadi sore. Setelah membersihkan tangan dengan tisu, aku berniat mengambilnya. Rasanya seperti tertarik magnet, kakiku berjalan ke sana tanpa diperintah. Kuambil buku tadi lantas duduk bersila di depan jendela. Kubolak-balik buku itu sebelum kuputuskan untuk membaca.

***

Notes :

Assalamualaikum readers, Alhamdulillah ini merupakan cerita kedua author yang diburu deadline. Dan event ini diselenggarakan oleh PseuCom

Semoga bisa selesai tepat waktu. Tantangan tersendiri sebenarnya karena dalam tiga bulan bisa menyelesaikan dua naskah disertai kesibukan sekolah juga. Itu buat author amazing, haha. Apalagi genre yang diusung lumayan, hm sulit sulit gampang ya. Author juga belum pernah bikin soalnya. Riset sana sini sampai nanya ke teman yang emang pro banget di bidang ini. Jadi, kemarin rombak alur karena ternyata eh ternyata undercover history nya tuh wawawaw 😂 mungkin sekian aja. Semoga nggak plot hole, astaga. Dan notes hanya ada pada prolog dan epilog.

Happy reading guys!!🔥🔥

Yang (Tak) Tersampaikan [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang