Aku terdiam setelah membaca rangkaian cerita ini. Di akhir halaman terdapat foto usang seorang bayi. Aku mengambilnya lantas membalik foto itu. Ada tulisan Inggil Laksmini Okamoto. Sebenarnya siapa Sunarti dan Nobuhiko di buku ini? Apa hubungan mereka dengan keluargaku? Itu nama bunda. Namun, tak pernah sekalipun aku melihat sematan Okamoto di setiap identitasnya.
Tiba-tiba saja jendela kamar terbuka. Membuat angin malam menyerobot masuk. Mengibarkan korden putih kebiruan di depanku. Tembang gambuh serat wedatama mengalun sayup-sayup di telingaku. Suaranya kian jelas dengan bertambahnya hawa dingin di sekitar. Lirik ini sama persis dengan yang ada pada salah satu catatan di buku.
Samengko ingsun tutur
Sembah catur supaya lumuntur
Dihin raga, cipta, jiwa, rasa, kaki
Ing kono lamun tinemu
Tanda nugrahaning ManonSosok berkebaya merah dengan jarik batik kecoklatan berdiri di depanku. Wajahnya pucat dengan mata yang menghitam di pinggir-pinggirnya. Ia tersenyum lembut padaku. Aku menelan ludah susah payah. Apalagi saat tubuhnya malah duduk melayang di hadapanku. Tangannya terulur membelai wajahku pelan. Rupanya memang tidak menyeramkan, terkesan cantik malah. Namun, aura panas dingin ini membuatku ketakutan. Tenggorokanku terasa tercekik. Tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun hanya untuk berteriak minta tolong.
"Cah ayu, jangan takut. Ini Mbah Sunarti, wanita yang kau baca kisahnya barusan," bisiknya.
Bibirku bergetar. Tubuhku mendadak kaku. Apalagi saat ia malah menghilang, pindah posisi di belakangku. Dalam hati aku berusaha menyerukan asma Allah. Berharap sosok itu menghilang. Namun, yang kurasa justru sentuhan pelan di pundak ditambah darah yang mengalir pelan dari jarinya.
"AYAH! BUNDA! MAS PRABU! MBAH UTI!"
Usai berteriak, semua menjadi gelap. Hanya satu objek yang bisa kutangkap. Sosok itu yang tersenyum simpul mengecup puncak kepalaku.
***
Hal pertama yang kulihat adalah wajah mbah uti. Ia memijat kepalaku pelan sambil mengoleskan semacam minyak asiri. Ada Prabu di bawah kakiku. Sedangkan ayah duduk di kursi yang tadi aku duduki. Aku melihat bunda masuk membawa nampan berisi minuman. Pintu kamar engselnya jebol. Kepalaku berdentum ketika disuruh untuk minum. Aku menyapu pandang ke sekitar. Tidak ada darah menetes di lantai dekat jendela. Tidak ada wanita berkebaya merah. Semua tampak seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, buku tadi masih berada di atas meja. Menegaskan jika tadi bukanlah mimpi.
"Sudah tenang?" tanya bunda memijat kakiku yang dingin. Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Ada apa sih sampe teriak gitu. Kayak lihat setan aja. Pake acara pingsan lagi. Tuh, aku sama Ayah sampe ngedobrak pintu kamar gara-gara kamu kunci," omel Prabu mencubit kakiku keras. Aky menendang lengan kakakku, tidak menyahut ucapannya.
"Adiknya jangan diomeli begitu. Baru saja siuman," mbah uti mengusap-usap telapak tanganku.
Aku menatap mbah uti dan buku tadi bergantian sampai akhirnya memutuskan untuk bercerita. "Mbah, aku tadi habis baca buku itu sampai selesai. Sebenarnya Sunarti itu siapa, Mbah? Terus kenapa ada nama Bunda di balik foto bayi di halaman terakhir? Aku tadi juga menjerit karena tiba-tiba ada wanita datang lewat jendela mengaku kalau dia Sunarti."
"Makanya kalau lagi pada bicara rame-rame itu didengerin. Kudet kan kalo begini," cibir Prabu. Ayah berdeham sepertinya bertujuan menegur Prabu agar diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang (Tak) Tersampaikan [COMPLETE]
Historical FictionBlurb : Semua terkuak karena aku menemukan sebuah catatan di lemari kamar rumah Simbah. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan padaku. Sesuatu yang ternyata tak sempat ia sampaikan pada seseorang di masa lampau. Membuatku mengerti dan menyetujui kesimp...