Karawang, 20 Oktober 1944
Aku menggantikan bapak sepenuhnya sebagai penggarap sawah. Berangkat petang pulang petang. Memeluk peluh setiap hari. Bertengkar hebat dengan sengatan matahari. Meringkuk lelah tiap malam yang dingin. Tepat tujuh hari kepergian bapak, aku menyekarnya ke makam. Menabur bunga tujuh rupa sambil melantunkan doa juga rentetan pengaduan.
Mbak Sulasih kembali mengirimkan surat berisi rasa bela sungkawa atas kembalinya bapak ke illahi. Di lembar berikutnya ia menyematkan pelajaran lanjutan yang harus kutempuh. Ingin sekali aku membalas tiap suratnya. Namun kendala tidak tahu caranya menghambat. Mau bertanya kepadanya juga tidak bisa.
Pagi buta, aku pergi ke rumah Djiauw Kie Siong. Hendak menemani istrinya menjual sebagian hasil panen. Gerobak roda dua kudorong melewati jalan tanah. Berharap bisa ditukarkan dengan sejumput biji kopi dan sayur-mayur pelengkap makan. Perempuan di sampingku mengajak bicara tentang apa saja, menjadikan perjalanan jauh kami terasa singkat. Langit beranjak memunculkan gumpalan hitam dengan sisi-sisi mengeliling semburat kelabu jingga pudar. Namun ramai pasar tak kenal gelap. Hilir mudik kuli panggul membawa sekarung bahan baik pangan maupun sandang dari lori menuju lapak-lapak. Penjual berkoar menawarkan dagangan, memamerkan kualitas.
Kurungan ayam serta deretan kambing menambah semarak suasana dengan bau menyengat khasnya sepanjang jalan menuju lapak tujuan. Bu Djiauw bilang tempat ini adalah langganannya. Aku menurut saja membantu menurunkan sekarung gabah. Setelahnya, kami beralih ke lapak kopi. Bermacam-macam rupa namanya. Dari yang kualitas tinggi hingga rendah. Dari timur hingga barat dunia ada di sana. Aku tersenyum simpul, yang ada diingatanku hanyalah kopi tumbuk yang dipetik langsung dari pohon. Di Solo, aku sering membantu tetangga mengupas biji kemudian mengeringkan biji-biji kopi di bawah sinar matahari. Mengusir ayam nakal hendak mematuk butiran hitam tersebut. Bergantian menyangrai di atas wajan berpantat hitam. Tertawa riang ketika tangan kebas akibat lelah mengalu biji tadi menjadi bubuk halus hitam pekat. Sebagai upah, kami diberi setekor daun pisang untuk dimakan dengan bubuhan gula tebu. Rasanya enak, perpaduan manis pahit. Akibatnya, gigi kami mendadak hilang.
"Kenapa melamun? Ayo," ajak Bu Djiauw. Aku terkekeh pelan. Memikirkan masa indah itu membuatku tersenyum sejenak. Masa di mana aku belum mengenal tanggung jawab. Tidak seperti sekarang.
"Kamu kenapa belum menikah, Nar? Lihat mereka itu, seumuran dengan kamu tapi sudah menimang anak," ucap Bu Djiauw tiba-tiba.
Aku tertawa sejenak. Terkadang aku juga merasa aneh. Banyak teman sebayaku telah dipingit oleh orang tuanya untuk dijodohkan. Namun, bapak tidak melakukan itu. Malah ia membebaskan aku memilih siapa yang akan jadi pendamping kelak. "Belum ada jodohnya, Bu. Lagian menikah itu mudah. Yang susah menjalaninya. Aku tidak mau berpikir neko-neko dulu. Kalau sudah jodoh bukannya akan datang sendiri?" sahutku.
"Mana ada tamu dibukakan pintu kalau tidak diketuk? Apa kamu mau menikah dengan anakku?" tanyanya tertawa renyah. Aku menggeleng pelan. Aku tahu ini hanya candaan belaka.. "Kamu lumayan cantik, Sunarti," lanjut Bu Djiauw menilai fisikku. "Tidak terlalu tinggi, tidak juga rendah. Pas."
Aku tersenyum. Ibu memang cantik. Waktu masih belia, ia diminta menjadi gundik tuan Belanda. Namun, ia menolaknya karena telah menaruh hati pada pemuda desa bertampang biasa saja dengan harta serba kurang, bapak. Kisah mereka jauh dari keelokan cerita pewayangan Rama dan Shinta dengan bala tentara Hanoman. Tentu saja gundik dipilih menganut kriteria tertentu. Pun kalau ibu menerima, aku tak akan ada. Bisa jadi aku lahir dengan nama Maria bukan Sunarti. Hidup serba kurang justru membuat syukur tak pernah lepas dari tiap doa sepanjang sujudnya.
Setelah membeli sayur, kami pun pulang. Sesekali aku berpapasan dengan tentara Jepang menggunakan mobil mereka. Menggerung tanpa sopan, menyebabkan deby beterbangan. Entah mengapa hujan tak lekas turun membasahi bumi. Aku takut jika panen gagal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang (Tak) Tersampaikan [COMPLETE]
Fiction HistoriqueBlurb : Semua terkuak karena aku menemukan sebuah catatan di lemari kamar rumah Simbah. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan padaku. Sesuatu yang ternyata tak sempat ia sampaikan pada seseorang di masa lampau. Membuatku mengerti dan menyetujui kesimp...