Bab 6 Hidup Kami

42 7 1
                                    

Bandung, 17 Juli 1945

Aku banyak belajar, menikah dengan tentara Jepang bukanlah perkara mudah. Apalagi ada aturan tak tertulis yang melarang keras hubungan terikat antara pribumi dan Jepang karena bukan itu tujuan mereka datang. Kedatangan mereka untuk mengais banyak dukungan dari bangsa Indonesia agar mau membantu Jepang dalam perang Pasifik. Nobuhiko sendiri yang bilang demikian. Setiap pulang dari pasar, kerap kali aku tak jadi berbelok ke rumah karena ada tentara Jepang lewat. Mereka jelas tahu jika ini rumah Nobuhiko Okamoto. Aku juga merasa trauma atas kejadian di Karawang tempo lalu, ketika tiba-tiba ada mobil berhenti lantas membawaku pergi meninggalkan ibu dan Luhur. Aku tak mau kejadian itu terulang lagi. Rasa aman sudah kurasakan meski pria itu tak melulu di rumah. Nobuhiko akan pulang dua minggu sekali. Ia sangat sibuk mengurusi pekerjaan.

Maret kemarin ia membantu Letjen Kumakichi Harada, merundingkan pembentukan Dokuritzu Junbi Coosakai (BPUPKI). Ia langsung meluncur ke Bandung untuk menemuiku setelahnya. Wajah Nobuhiko sarat akan lelah. Aku membuatkan kopi juga menyandingkan cerutu untuk suamiku.

"Jika lelah, tak perlu dipaksakan kemari," ucapku mulai memijat punggungnya.

"Sebelah sini," sahutnya menunjuk lengan kirinya. "Aku ingin mengunjungi istriku. Memang tidak boleh?" tanyanya mulai menghidupkan cerutu.

Mengingat jika kami telah menikah terkadang membuat pipiku panas. "Boleh saja," jawabku.

"Kemungkinan terburuk satu bulan ke depan aku tidak bisa pulang. Rapat kali ini benar-benar membuatku pusing," jelasnya mengepulkan asap.

"Itu salahmu sendiri," ucapku. Tidak ada yang menyuruhnya untuk jadi tentara lantas berkelana ke negeri orang.

"Sunarti, pemimpin.negara kami terlalu ambisius akan kekuasaan. Ingin mereformasikan kebiasaan feodal menjadi lebih modern. Itu artinya kita harus mengembangkan industri. Padahal negara kami tak punya sumber daya alam seperti minyak jarak yang memadai untuk bahan bakar. Jalan satu-satunya adalah menguasai negara yang memiliki bahan-bahan itu semua. Dan seperti yang kamu ketahui, pedagang di pasar saja melakukan persaingan antara satu dan lainnya. Apalagi kami?" ucapnya panjang lebar. "Lagi pula kalau aku tidak berlayar kemari, mana bisa bertemu denganmu?" tanyanya. Aku bisa melihat sebagian wajahnya yang menoleh. Ia tersenyum seperti biasa.

Aku membenarkan hal itu. "Lalu kapan kalian berhenti menyiksa petani? Menahan pribumi?" tanyaku.

Nobuhiko membalikkan tubuhnya. Tangannya memegang pipiku. Membuat wajah kami berhadapan. "Itu bukan kuasaku. Koiso sudah memberi janji. Ia pasti akan menepatinya. Jangan khawatir," jawabnya mengecup puncak kepalaku lantas turun ke bibir. Lama sekali bibir kami berpagutan. "Aku merindukanmu. Sangat," ucapnya di sela ciuman kami.

Dan benar. Setelah itu ia jarang pulang. Namun, suratnya tak pernah absen tiap minggunya. BPUPKI yang diketuai oleh K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat telah melakukan dua kali sidang. Sidang pertama membahas dasar negara pada 29 Mei hingga 1 Juni. Ia bilang, Ir. Soekarno merumuskan lima dasar negara dengan nama Pancasila. Aku tahu siapa Ir. Soekarno tersebut. Namanya sering didengungkan oleh surat kabar. Nobuhiko juga kerap bilang jika Ir. Soekarno berulang kali masuk penjara. Lantas sidang kedua merencanakan isi hukum dasar negara pada 14 Juli, tiga hari lalu.

Kepulangannya pun tak jauh berbeda dari sebelumnya. Aku mengelus kepalanya yang tidur di pangkuanku.

"Ada apa? Aku yang lelah, mengapa kamu yang gundah?" tanyanya membelai wajahku.

Sebagai seorang wanita yang telah menikah, tentu saja tak ada hal lain yang dipikirkan kecuali keturunan. Sudah tujuh bulan lamanya kami menikah, namun tak ada tanda-tanda aku akan hamil. Meski itu tak sepadan dengan penantian ibu dan mendiang bapak menantikan kehadiran Luhur. Sesak tetap terasa. Setiap malam, aku selalu bertanya pada Gusti Allah, mengapa aku tak lekas diberkahi bayi. Meski pernikahan ini belum di dasari cinta, bolehkan aku mengharap itu semua? Membayangkan anakku lahir dengan mata sipit berlogat Jawa. Tanpa dasar cinta.

Yang (Tak) Tersampaikan [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang