Bab 4 Surat (Jangan Khawatirkan Aku)

45 10 1
                                    

Jakarta, 7 November 1944

Teruntuk Simbok dan Luhur tercinta
di Karawang

Mbok, bagaimana kabarmu? Apa Luhur juga baik-baik saja di sana? Lantas, sekarang Simbok bekerja sebagai apa? Aku khawatir keadaan kalian. Apa Simbok menjadi penggarap sawah lagi? Di sana hujan atau tidak, Mbok? Luhur kedinginan? Ia menangis rewel atau tidak? Aku harap Gusti Allah memberikan perlindungan untuk kalian. Semoga saja rindu ini akan cepat tersampaikan. Aku tidak tahu harus mengungkapkan perasaan ini kepada siapa. Semua tampak asing tak tersentuh. Rasanya aneh, sungguh. Aku tidak henti-hentinya tersenyum mengingatnya, Mbok.

Pagi hari pasca insiden pemaksaan itu, aku juga beberapa perempuan diperintah naik ke mobil. Aku tidak tahu tujuan kami kemana. Kupikir kami akan dibawa ke luar Jawa. Menaiki kapal besar berhari-hari menyeberangi luasnya samudra. Seperti kata Haji Abdul Jalal di kampung yang katanya terombang-ambing selama hampir setengah tahun di atas kapal demi menyempurnakan rukun Islam kelima ditambah satu kata pelengkap nama. Tapi ternyata tidak. Sebagian dari kami justru dipindahkan ke mobil berbeda. Memisah satu sama lain saat melewati perempatan jalan. Mbok, aku tak mau membayangkan apapun. Yang kuinginkan hanya hal baik saja. Meski terasa mustahil terwujud.

Matahari berpindah dari ufuk timur merambat ke atas kepala. Terlihat banyak tentara hilir mudik di sana. Kami pun turun. Tentara dengan wajah bercodet, kurasa dia habis terkena sabetan sesuatu menghampiriku. Apa Simbok ingat orang bermata sipit yang mengadakan konvoi di desa dulu? Mengibarkan bendera kebangsaannya. Berhenti di lapangan lantas tiada angin apalagi badai turun menghampiri bapak. Waktu itu aku digandeng olehnya menyambut kedatangan pemberi harapan manis itu. Berteriak mereka cahaya Asia. Berteriak mereka pembela Asia. Berteriak mereka pemimpin Asia. Nabuhiko Okamoto, ia tersenyum padaku persis dua tahun lalu.

Ia menyapaku menggunakan bahasa Indonesia disertai aksen Jepang kental. Tingginya yang mirip orang sawah membuatku terpaksa mendongak. Aku membalasnya sopan. Apa tindakanku benar saat itu, Mbok? Setelahnya ia memintaku agar mengikutinya masuk. Aku memberanikan diri bertanya, tempat apa ini. Bukan Nobuhiko yang menjawab, melainkan tentara lain. Disertai nada congak dia menjawab jika ini adalah sel tahanan bagi mereka yang membantah. Aku tidak mengerti, Mbok. Sebenarnya mereka sudah bangun atau justru masih tidur. Mereka berlagak seolah-olah ongkang-ongkang di rumah sendiri. Lupa jika ini tanah kami. Nobuhiko Okamoto memintaku menunggu sebentar. Aku berdiri mengamati sekeliling. Lantas telingaku menangkap suara gaduh dari lorong yang kulewati tadi.

"Lepaskan aku! Aku bisa berjalan sendiri!" teriak entah suara siapa.

Mbok, aku melihatnya. Pemuda bertubuh penuh darah diseret paksa tanpa belas kasihan melewati tempatku berdiri. Meski aku tahu, dia tidak butuh belas kasihan dari mereka. Tapi sungguh Mbok, kepalaku tak mampu menaksir seberapa ngilu menjalar tubuhnya. Bibirnya sobek hingga tulang pipi. Matanya lebam membiru. Tangannya dibebat menggunakan tali lantas dilempar ke salah satu sel tahanan. Hatiku menjerit agar aku berhenti mengikuti setiap jengkal pergerakannya, namun mataku tak mau diajak kompromi. Tak ada tangis kesakitan apalagi rintihan.

"Sunarti? Melihat apa?" Kepalaku menoleh menatap Nobuhiko. Ia mengikuti objek perhatianku. "Namanya Karno. Dia pemberontak incaran kami sejak lama. Selain mata-mata, dia juga penyair yang sering menyelipkan kata-kata pencoreng nama baik Jepang. Sajaknya selalu menimbulkan provokasi. Padahal Kuniaku Koiso, Perdana Menteri Jepang pada 7 September lalu dalam sidang istimewa Teikoku Henkai ke-85 di Tokyo sudah memberikan janji kemerdekaan. Namun, mereka tidak sabar. Terus mendesak. Kedudukan kami juga perlu diperhatikan. Kami sedang melakukan perlawanan pada sekutu. Seharusnya, mereka bisa mengerti dengan mau membantu," jelasnya.

"Jadi kalian akan memberikan kemerdekaan pada kami?" tanyaku berbinar.

"Tentu. Tapi ada harganya," jawab Nobuhiko tersenyum.

Aku tidak mengerti apa maksud pria itu. Ia menyuruhku mengikuti langkah panjangnya keluar sana. Aku ditunjukkan tempat semacam dapur. Ia menjelaskan bahwa tempat ini biasa digunakan untuk memasak makanan baik untuk para tentara maupun tahanan.

"Aku turut berduka cita atas kepergian Hardi Kusnarto. Aku mendapat penjelasan jika bapakmu itu meninggal karena digigit ular lantas mandor menolak membawanya ke pusat kesehatan. Sungguh, aku mewakili pihak Jepang meminta maaf padamu," ucapnya kala itu. Mbok, apakah Nobuhiko memiliki kedekatan dengan bapak sebelumya? Mengapa ia tampak merasa bersalah? Mandor sawah saja tak melakukan hal serupa.

"Maafkan aku juga atas penjemputanmu yang terlampau buruk. Padahal aku sudah menyuruh mereka bicara baik-baik," lanjutnya.

Aku menanyai apa maksud pria ini.

"Jangan berpikir macam-macam, Sunarti. Aku tidak akan menjadikanmu Jugun ianfu, sama sekali tidak. Aku hanya ingin memberikanmu pekerjaan setidaknya lebih ringan dari penggarap sawah," jelasnya tersenyum.

Memang, tidak semua orang jahat. Aku mengakui pernyataan itu. Kemudian ia menunjukkan tempat istirahatku. Satu ruangan ada empat ranjang berjejeran.

Ia tersenyum sebelum meninggalkanku. Ia bilang jika aku akan tinggal di sini seterusnya. Menjadi tukang masak di penjara. Simbok jangan khawatir, kondisiku di sini tidak begitu buruk. Pagi hari kami mulai pergi ke pasar membeli bahan yang amat banyak. Tidak semua tahanan disiksa dengan cara tidak diberi makan, Mbok. Mereka memang licik otaknya. Memaksa tahanan buka mulut, membeberkan informasi yang diinginkan. Jika tidak mau, pecut akan menyambar atau moncong laras menyodok punggung bahkan bagian tubuh vital sekalipun.

Aku menyapa Nobuhiko yang tampak sibuk di mejanya. Kuletakkan jatah makanannya. Ia mendongak balas menyapa.

"Duduklah," ucapnya menyilahkan.

"Maaf tapi aku harus melanjutkan pekerjaan," tolakku menunduk pamit, hendak pergi.

"Tak apa bicara sebentar saja," ucapnya lagi.

Aku tetap menggeleng menolak, "Nanti aku bisa dimarahi Kana, Nobuhiko," balasku pelan.

"Tidak akan, Sunarti. Jika ia memarahimu, bilang saja padaku. Lagian hanya berbincang sebentar. Tak habis satu jam," bujuknya. Aku pun menuruti keinginannya.

""Masak apa hari ini?" tanyanya.

Aku menggeleng tidak tahu karena memang bukan aku yang memasak. Meski aku yang pergi ke pasar, namun aku mendapat bagian membersihkan sel tahanan. Kana Hanazawa, perempuan asli Jepang yang memimpin kami menolakku menjadi tukang masak.

Mbok, wajahnya judes jika berpapasan denganku. Hari pertama ketika aku mulai memasak pun ia marah-marah tak jelas. Padahal tak ada yang protes jika masakanku rasanya buruk. Aku merasa semua tindakanku di matanya salah. Bagaimana jika aku melakukan kesalahan?

"Benarkah Kana melakukan itu?" tanya Nobuhiko saat aku menjelaskan mengapa bukan aku yang masak. Wajahnya nampak terkejut.

Tentu saja aku tidak bohong. Lagi pula untuk apa mengada-ada hal seperti ini. Bukankah Nobuhiko mengatakan jika aku boleh mengadu jika Kana marah padaku?

Jika dengan Mbak Sulasih aku akan bertanya tentang bahasa Indonesia juga beberapa bahasa Belanda. Dengan Nobuhiko, aku tertarik mempelajari bahasa mereka. Pria itu nampaknya gemar tersenyum, Mbok. Setiap mengawali percakapan, ia akan mengulas senyuman lebih dulu.

"Maaf, Sunarti. Sepertinya pelajaran hari ini sekian dulu. Aku ada urusan sebentar. Lain kali kita lanjut," ucapnya ketika ada tentara lain menghampiri Nobuhiko. Aku mengangguk lantas menjauh dari sana.

Aku sejenak merasa menjadi muridnya atas kalimat yang ia lontarkan tadi, Mbok. Kuletakkan troli ke tempat biasanya lantas mencuci semua piring kotor. Jika sendiri seperti ini, aku sering melantunkan tembang macapat. Aku rindu suara merdu Simbok.

Samengko ingsun tutur
Sembah catur supaya lumintur
Dihin raga, cipta, jiwa, rasa, kaki
Ing kono lamun tinemu
Tanda nugrahaning Manon

Aku di sini baik-baik saja, Mbok. Tak perlu khawatirkan aku. Meski kita terpaut jarak puluhan kilometer, akan kuusahakan supaya surat ini lekas sampai di tanganmu. Nobuhiko juga memberi arahan bagaimana cara mengirim surat. Dan kepada siapa aku harus menyerahkannya. Sesegera mungkin gaji bulan ini kukirimkan padamu agar Luhur bisa tumbuh sehat. Tidak kekurangan nutrisi. Mungkin cukup sekian.

Salam sayang, anakmu
Sunarti Wiranti

Yang (Tak) Tersampaikan [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang