🌸🌸🌸🌸
Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru gedung auditorium kampusku dulu. Dengan ragu kulangkahkan kaki menuju lantai atas tempat reuni berlangsung. Ada sebongkah rasa ragu melingkupi hati saat memasuki gedung megah ini. Ragu karena takut.
Ah, kemana Wina? Anak itu yang mengajakku via telefon kemarin, tapi belum muncul juga batang hidungnya. Wina sahabatku sejak masa kuliah dulu. Kami satu fakultas, Fakultas Bahasa dan Sastra, dan selalu satu kelas selama empat tahun berkuliah karena kami sama-sama mengambil S-1 Sastra Inggris.
"Lisa!" pekik Wina dari dalam gedung.
"Hei Wina!" Kami berpelukan layaknya sahabat yang sudah lama tidak bersua. Ya, tujuh tahun kami terpisah jarak. Hanya sesekali bertukar kabar lewat chat dan video call.
"Lisa? Ini beneran kamu?" Dia memindai tubuhku dari atas ke bawah. Dia pasti heran dengan penampilanku sekarang. Dulu aku yang modis sekarang hanya memakai setelan biasa nan simpel. Dulu aku yang seksi kini nampak kurus kering tak berisi.
Kontras sekali dengan penampilannya yang elegan layaknya wanita karir yang sudah mapan. Mungkin aku dan Wina terlihat seperti pembantu dan majikannya.
Kukisahkan hidupku tujuh tahun kebelakang. Kuceritakan padanya kalau aku sekarang adalah seorang janda dengan satu orang anak berumur tiga tahun yang kini sedang bersama ibuku di rumah.
Aku baru saja bercerai lima bulan yang lalu karena ditinggal berselingkuh oleh suamiku dulu. Lelaki brengsek itu kini telah menikah dengan wanita simpanannya.
Dulu ia sering berbuat kasar dan mengataiku tidak berguna karena tidak bisa menghasilkan uang sendiri. Padahal siapa yang dulu menyuruhku resign setelah aku hamil? Geram rasanya kala kuingat masa suram berumahtangga dengannya dulu.
Wina hanya menatapku prihatin mendengar kisahku. Namun mulut usilnya yang dari dulu menjadi ciri khasnya mengatakan kalau kepiluan hidupku adalah karena karma.
"Mungkin itu balasan atas sikapmu ke Andre."
Deg!
Pemilik nama itulah yang kutakutkan dari tadi semenjak aku memasuki gedung ini. Ya, Andre. Sang mantan yang dulu kutinggalkan karena aku memilih Edo untuk kujadikan suami. Andre, lelaki kurus, dekil, gondrong yang selalu menaiki motor butut ke kampus.
Baru saja kami membicarakan sosok itu, tiba-tiba terdengar suara bariton dari arah sampingku.
"Alisa?"
Dengan ragu kutolehkan kepalaku kearah suara itu. Mataku membulat menatap sosok jangkung di sampingku.
"Andre?"
Betapa terkejutnya diriku mendapati lelaki yang sekarang berdiri gagah tepat di depan mataku. Lelaki yang dulu kurus kering sekarang terlihat gagah berotot. Rambut yang dulu awut-awutan sekarang hilang entah kemana berganti haircut pendek ala Harry Style. Dan lihat penampilannya sekarang. Setelan celana bahan dan kemeja panjang yang digulung hingga siku nampak maskulin menghiasi tubuhnya.
Hei, lihat dirimu Lisa. Sekarang berbanding seratus delapan puluh derajat dengan penampilanmu. Bisik hati kecilku mengejek.
"Hai." Lidahku kelu untuk sekedar menanyakan kabarnya. Tanpa pikir panjang kuputar badanku dan berlari keluar gedung. Kuayaunkan kaki dengan cepat tanpa perduli lagi dengan acara yang bahkan belum dimulai.
Kupercepat ayunan kakiku hingga sampailah di halte bus terdekat. Ku atur nafasku yang tersengal-sengal. Kutundukkan kepalaku menatap jalanan. Baru saja kuberhasil menata ritme jantung yang bertalu-talu, tiba-tiba terdengar lagi suara itu.
"Lisa!"
Kutolehkan kepala untuk kedua kalinya. Sosok itu lagi. Andre.
Reflek kumundurkan kaki, ingin kembali berlari dari hadapannya. Namun ia semakin mendekat dan mencekal pergelangan tanganku.
"Jangan pergi lagi, Lisa."
Entah magnet apa yang menempel di kakiku. Kali ini terasa berat untuk melangkah. Kulihat senyum itu lagi. Senyum yang dulu kusia-siakan.
Tanpa kusadari bulir air jatuh membasahi pipiku. Kuanggukkan kepala menyetujui permintaannya meski rasa bersalah dan malu luar biasa menyelimuti hatiku.
**
Di sini aku sekarang. Di sebuah mobil fortuner, aku duduk di samping Andre yang kuyakin sedang menatapku. Sedangkan aku masih tertunduk menahan rasa malu. Entah bagaimana tadi aku bersedia masuk ke dalam mobilnya.
Sekilas kulihat wajahnya, tapi seketika kupalingkan wajah saat tahu dia juga menatapku. Kenapa dia tak segera menjalankan mobilnya?
Keadaan seperti ini hanya membuatku mati kutu tak berkutik. Bahkan hanya untuk menata rambutku yang berantakanpun aku tak berani.
"Aku turun saja, Andre." Inginku keluar dan membuka pintu mobil tapi percuma. Terkunci. Aku mendesah pasrah menyandarkan punggung ke jog.
"Aku akan mengantarmu." Perlahan dia mulai melajukan mobil.
Selama beberapa menit, masih tak ada obrolan diantara kami. Aku terlalu malu untuk membuka percakapan. Hingga akhirnya dia yang memulai.
"Alisa!"
"Ya?"
"Emm, bagaimana kabarmu?"
"A-ku ...." Tak bisa kulanjutkan apa yang mau kukatakan. Entah kenapa tiba-tiba hatiku terasa perih saat mengingat keadaanku sekarang.
Tanpa sadar aku terisak dan air mata ini tak dapat kutahan untuk keluar. Tubuhku terguncang. Aku tak tahu, untuk berbicara aku malu, tapi malah berani menangis di hadapannya.
Kurasakan dia menyentuh kepalaku. Refleks kutepis tangannya.
"Jangan sentuh aku, Andre. Aku bahkan nggak pantas untuk kamu kasihani. Hiks hiks,"
"Lisa ... , oke, menangislah dulu. Mungkin beban di hatimu akan berkurang setelah ini."
Aku masih sesenggukan untuk beberapa saat. Hingga kusadari mobil Andre telah berhenti di depan rumahku. Kuhela nafas dengan berat.
"Oke, makasih kamu sudah mengantarku pulang. Maaf, gara-gara aku, kamu nggak jadi ikut acara reuni. Sekarang tolong buka kuncinya," ujarku tanpa melihat ke arahnya.
"Alisa, kuharap kita akan bertemu lagi."
"Enggak! Jangan temui aku lagi."
"Kenapa?"
"Kamu nggak tahu apa yang telah terjadi padaku, kan?"
"Aku nggak mempermasalahkannya, Lisa,"
"Enggak, Andre!"
"Tapi kenapa?" Andre masih bersikeras ingin tahu.
Kulihat ke samping kiri keluar jendela. Kudapati putraku, Zidan, membuka pintu rumah dan disusul ibuku dibelakangnya.
"Dia alasannya." Kutunjuk Zidan dan kujelaskan kepada Andre siapa anak kecil itu.
"Aku single mother dari anak kecil itu. Sekarang tolong buka kuncinya."
Sesuai perkiraanku, Andre akan mundur setelah mengetahui statusku. Dia membuka autolock dari balik kemudinya. Aku tak berani menatap wajahnya. Entah bagaimana ekspresinya aku tak peduli.
"Oke." Hanya itulah yang kudengar dari mulutnya. Terdengar helaan nafas berat setelahnya.
Kubuka pintu mobil setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi. Kusambut dan kugendong Zidan yang berlari ke arahku.
"Bundaaa ...."
"Iya, Zidan sayangku, udah maem sama uti belum, hemm?" Kutowel hidung mungil putra tampanku ini. Hidung yang mirip dengan hidung ayahnya. Tapi kuharap perilakunya jauh berbeda.
"Udah, Bunda," jawabnya polos.
Baru saja kubalikkan badan untuk sekadar say goodbye ke Andre, tapi kulihat dia turun dari mobilnya. Mau apa dia?
🌸🌸🌸🌸
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Terindah (Tersedia E-book di Google Play Book)
RomanceAlisa, seorang janda cantik yang baru saja diterima menjadi editor sebuah perusahaan penerbitan. Begitu lepas dari kebiadaban sang mantan suami, dirinya dipertemukan kembali dengan mantan kekasih yang pernah dia campakkan, enam tahun silam. Alisa s...