Editor Absurd

110 10 0
                                    

🌸🌸🌸🌸

"Halo, jagoan cilik, kenalan sama Om, yuk. Om Andre." Andre mengulurkan tangannya ke arah Zidan yang berada dalam gendonganku. Tentu saja aku terkejut dengan apa yang dilakukannya. Aku kira tadi dia sudah mau pergi.

Tak disangka putraku menyambut uluran tangan Andre dengan senyum lebar.

"Aku Zidan, Om," jawab Zidan dengan logat khas anak kecil. Ah, pintar sekali anakku ini. Tidak gampang takut dengan orang yang baru ditemui.

Kemudian Andre menyapa ibuku yang nampak salah tingkah. Aku tahu ibuku merasa tak enak karena pernah ikut andil dalam perpisahanku dengan Andre enam tahun silam.

"Assalamu'alaikum Bu, sudah lama kita nggak ketemu ya? Ibu apa kabar?"

"Eh, i-iya Nak Andre, Wa'alaikumussalam ... , Ibu baik." Ibu tersenyum kikuk.

"Kamu, ee ... bagaimana kabarmu Andre?" lanjut ibu tanpa embelan Nak. Pertanda sudah mulai nyaman.

"Alhamdulillah baik, Bu," jawab Andre dengan senyum semringah. Ah, Andre, kamu masih sama dengan Andre yang dulu. Selalu ramah dan murah senyum. Senyum manis yang sekarang makin terlihat manis. Shit! Aku merasa semakin menyesal sekarang.

"Andre sekarang berubah ya? Ibu bener-bener pangling lo," Lihat, ibuku sekarang tersenyum lebar tanpa canggung membalas senyuman Andre. Sedangkan aku hanya tersenyum kecut.

"Sudah mapan ya sekarang?" Duh, ibuku ini. Bertanya sembari melongok fortuner silver di belakang lelaki itu.

"Alhamdulillah Bu ... ," jawab Andre masih dengan tersenyum manis. Eh.

"Kerja di mana kamu sekarang?" ibuku masih bertanya seperti seorang wartawan.

"Di penerbitan, Bu, masih sama seperti dulu."

"Ooh ...." Entah apa yang dipikirkan oleh ibuku. Mungkin dia tak percaya kalau bekerja di penerbitan bisa memiliki mobil sekelas fortuner. Sedangkan dulu motornya saja hanya motor tua keluaran tahun 2000 awal.

Dulu, sebelum kami berpisah, Andre baru empat bulan merintis usaha penerbitan buku indie. Ada beberapa buku yang sedang digarapnya saat itu. Entah untuk sekarang. Apakah dia masih meneruskan usahanya yang dulu, atau mungkin dia beralih ke penerbitan lain, aku tak tahu.

Sebenarnya aku juga penasaran dengan kehidupannya sekarang. Tapi aku terlalu malu untuk bertanya. Apa hakku?
Ah sudahlah. Lamunan singkatku buyar karena hentakan tangan Zidan.

"Bunda, mau minum susu,"

"Oh, iya sayang ... , ayo." Baru saja aku mau pamit masuk ke dalam rumah, Andre terlebih dahulu undur diri.

"Ya sudah, saya permisi ya Lisa, Bu, dan Zidan, Om pulang dulu ya? Kapan-kapan Om ke sini lagi. "

"Eh, nggak mampir dulu?" tawar ibuku yang entah serius atau basa-basi.

"Lain kali saja, Bu. Saya masih ada urusan. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalam," jawab kami serempak. Kutatap kepergiannya dengan sejuta perasaan berkecamuk di dalam hati.

Lain kali? Benarkah lain kali dia akan ke sini lagi? Apa yang kamu harapkan Lisa? Itu hanya basa-basi yang biasa orang katakan saat berpamitan.

"Kok reuninya cuma sebentar?" tanya ibuku saat kami berjalan masuk ke dalam rumah.

"Iya, Lisa lari dari Andre Buk, tapi dia malah menyusul. Lalu dia mengantar Lisa pulang."

"Ooo, Andre sekarang berubah ya, Lis?" Tuh kan, ibu pasti bakalan membahas itu.

Mantan Terindah (Tersedia E-book di Google Play Book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang