Sang Presdir

69 8 1
                                    

🌻🌻🌻🌻

Thank God, empat hari setelah tes wawancara kemarin, aku dapat telepon dari Pena Langit Publishing yang mengabarkan kalau aku diterima bekerja di sana. Dan aku bisa mulai bekerja minggu depan.

Alhamdulillah juga, demam Zidan sudah berangsur turun. Ternyata timbul ruam di sekujur tubuhnya. Kata ibuku ini namanya gabagen.

'Oke Nak, semoga sebentar lagi kamu bisa sekolah tanpa harus mengemis ke ayahmu.' ujarku pada Zidan yang hanya tersenyum polos menatapku.

Entah si Edo sudah mentransfer uang yang kuminta kemarin atau belum, aku tak tahu karena belum cek tabungan.

**

Kurapikan penampilanku di depan cermin. Khas wanita bekerja. Kukenakan blus dilapisi blazer hitam dan rok selutut, make up tipis untuk mempercantik wajah, dan flat shoes yang menghias kaki.

Aku tak akan mengenakan sepatu high heels karena badanku sudah cukup tinggi.

Kulangkahkan kaki memasuki gedung ini untuk yang ketiga kalinya.

Hawa dingin dari AC menambah dingin telapak tanganku karena sedikit grogi. Lalu lalang para staf yang belum kukenal menambah kesan asing. Ah, lama-lama juga bakal kenal. Tarik nafas, hembuskan ...

Setelah aku dihubungkan ke divisi HR, seorang staf di sana menuntunku menemui Bu Irma di ruang redaksi. Kalian tahu siapa staf yang mengantarkanku? Si Betty la Fea!

Masih dengan gaya angkuhnya dia berjalan di depanku. Mungkin dia tak menyangka aku akan diterima kerja di sini. Aku berusaha bersikap senormal mungkin meskipun di dalam hati ingin mengumpat. Sabar Lisa ....

Setelah sampai di depan ruangan redaksi, aku menunggu Betty la Fea, eh maksudku wanita yang mengantarku tadi memanggil Bu Irma.

Ruang redaksi ini berada di lantai dua. Di dalam ruang redaksi terdapat sekat yang memisahkan antara ruang editorial fiksi dan non fiksi. Masing-masing editorial diisi oleh lima dan empat orang yang sudah mulai sibuk di depan komputer.

Di sebelah ruang redaksi, ada ruang administrasi. Lalu, di seberangnya ada bagian keuangan. Sedangkan di ujung koridor ada ruangan bertuliskan President Director's Room dengan ruang sekretaris di sebelahnya.

Semua ruangan di sini berdinding kaca sehingga aktivitas di dalam ruangan terlihat jelas dari luar, kecuali ruang presdir yang tertutup rapat. Ya wajar sih. Kan bos.

Karena asyik mengamati keadaan sekitar, aku tak menyadari kalau Bu Irma sudah berdiri di sebelahku.

"Wah, selamat ya Alisa. Akhirnya kita ketemu lagi." kubalas uluran tangan Bu Irma dengan senyum lebar. Tak kuhiraukan si Betty la Fea yang nampak menatapku tak suka.

Setelah aku diajak masuk ke dalam ruangan editorial fiksi, dijelaskan panjang lebar oleh Bu Irma tentang job deskripsiku. Tapi sebelumnya, aku diperkenalkan pada penghuni ruangan ini yang semuanya perempuan. Syukurlah, akan lebih nyaman buatku.

Bu Irma sebagai manajer, lalu sudah ada seorang editor akuisisi* di sini. Mbak Riana namanya, wanita berhijab dengan senyum manis.

Kemudian Mbak Wati yang bertugas mendesain buku. Lalu ada Mbak Nita sang asisten editor*. Mereka semua kecuali Mbak Nita adalah para ibu berumur tiga puluhan keatas. Mbak Nita berusia dua sembilan tapi masih single.

Mereka berkenalan dengan menyebutkan umur masing-masing. Haha, seperti perkenalan di ajang pencarian bakat saja. Tapi, sikap santai mereka berhasil membuatku rileks.

Berarti aku di sini yang paling muda. Jadi aku panggil mereka semua dengan sapaan 'Mbak', kecuali Bu Irma karena dia yang paling senior di sini.

Kukatakan pada mereka kondisiku yang sebenarnya kalau aku adalah seorang janda beranak satu.

Mantan Terindah (Tersedia E-book di Google Play Book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang