Maurene kembali bekerja setelah kemarin cuti selama lima hari lamanya untuk pulang ke Surabaya. Ia memulai rutinitas sibuknya sebagai seorang pimpinan tim bagian pemasaran. Pekerjaannya hari ini dimulai dengan rapat bersama anggota tim yang lainnya.
"Karena sasaran untuk produk kita ini wanita dengan umur 20-30 tahun. Kita bisa pakai corak warna-warna nude kalem yang sedang marak di pasaran, kalau bisa jangan yang mencolok. Anak-anak muda pasti suka" Ia menoleh kesalah satu perempuan disampingnya. "Yiren, kamu sudah nego ke pabriknya untuk beberapa series warna yang kita mau?"
Perempuan bernama Yiren itu mengangguk. "Tapi pabrik masih bersikukuh mengirim warna random, Bu. Mereka takut rugi."
Maurene mengangguk-angguk. "Untuk harganya sudah deal yang kemarin?"
"Iya, Bu"
"Kamu usahakan kita bisa pilih warna yang kita mau" Ucap Maurene yang kemudian mendapatkan sebuah anggukan dari Yiren.
Sebuah ketukan pintu menginterupsi seluruh orang yang sedang berada di sana, termasuk juga Maurene. Salah satu pegawai bernama Hendery masuk, diikuti dengan laki-laki di belakangnya. Maurene sontak kaget, bukannya itu laki-laki yang membantunya di Bandara tempo hari?
Hendery menunduk hormat pada Maurene. "Ini, Bu. Untuk photografer kita yang baru, yang satu tahun ke depan akan bekerja sama dengan tim kita" Hendery mempersilahkan orang di sampingnya untuk memperkenalkan diri.
Laki-laki disamping Hendery mengangguk. "Mino"
Maurene mengangguk. "Baik, untuk rapat hari ini kita cukupkan sampai di sini. Jika ada yang ditanyakan, kalian bisa langsung ke ruangan saya"
Semuanya sontak menjawab. "Baik, Bu."
Para pegawai satu persatu meninggalkan ruangan. Menyisakan Maurene yang masih harus membereskan laptopnya dan beberapa berkas penting. Laki-laki bernama Mino yang masih disana kemudian duduk di kursi kosong yang ada didekat Maurene. "Dunia emang sempit ya."
•••
Jesi menghentak-hentakkan kakinya kesal. Ia merasa diperbudak oleh atasannya yang bernama Sean itu. Bukannya menjadi seorang sekretaris pada umumnya, Jesi malah dibuat mondar-mandir oleh laki-laki itu. Membelikan sarapan untuknya, membelikan kopi di coffeeshop langganan laki-laki itu, belanja bahan makanan bulanan, dan terakhir mengambil baju atasannya itu di tempat laundry.
"Gue bingung tau nggak Nay. Gue ini sebenarnya jadi sekretaris apa babu sih. Atasan lo nyebelin banget." Jesi menggerutu, namun Naya malah terkekeh. "Gue jadi nyesel nih nerima tawaran lo." Jesi merasa menyesali keputusannya sekarang.
"Tahan aja ya Jes, gue juga lagi nyari sekretaris nih." Ucap Naya menenangkan. "Nyari yang pas buat pak Sean itu agak susah. Lo tau sendiri kan pak Sean itu perfeksionis."
Jesi mengangguk-angguk sembari cemberut. "Udah perfeksionis, otoriter lagi. Istrinya kok tahan, sih?"
Naya kaget akan ucapan Jesi. Kemudian ia segera merapatkan tubuhnya mendekati wanita itu. "Lo nggak tau, Jes? Rumornya mereka itu udah cerai. Makanya pak Sean kayak workaholic banget." Bisiknya pelan, khas orang yang sedang bergibah.
Jesi sangat kaget. "Hah? Masa sih? Pantesan ya gue disuruh belanja bulanan, kok gue nggak mikir sampe kesitu." Ia menjeda ucapannya sejenak. "Gue jadi kasian sama Abel, masih kecil udah ngalamin kayak gitu. Duh, gue kok jadi sedih sih."
"Lo mau daftar jadi mamanya Abel nggak?"
"Kalo jadi mamanya Abel sih mau, tapi gue nggak mau jadi istrinya pak Sean" Jesi tak membayangkan memiliki suami seperti Sean. "Emoh ah, pasti galak banget, yang ada gue nggak boleh kemana-mana." Jesi mengendikkan bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kos-Kosan Blackvelvet
Fiksi Penggemar9 wanita yang tinggal dalam kos-kosan yang sama. Namun saling menutupi permasalahan masing-masing. Bagaimana cara mereka mengatasi rumitnya kehidupan?