"Baiklah, Ikina. Kita akan berangkat sebentar lagi. Kuminta kau pelajari bab ini sekali lagi." aku menekuk wajahku kesal, melihat suamiku terus berbicara pada Ikina. Yah.. aku tahu, itu semua demi pekerjaan. Tapi tetap saja, ada rasa aneh dalam hatika saat ia menatap wanita lain. Baiklah. Baiklah. Aku jujur, aku cemburu.
Ikina.
Dia mantan sahabatku. Bukan seperti itu juga. Habisnya, dia sekarang menjadi sahabatku lagi. Ribet memang. Tapi aku pernah bermasalah dengan wanita itu sampai aku sendiri memutuskan persahabatan dengannya. Tapi, karena kami memang sudah berteman sejak kecil, kami tak bisa dipisahkan begitu saja.
Masalahnya?
Emmh... Bukankah aku pernah bilang. Aku tak ingin menceritakannya. Karena mengingatnya saja sudah membuatku pusing seperti tadi. Apa itu disebut sakit kepala biasa? Sepertinya tidak. Yang sebenarnya terjadi adalah aku depresi.
Masalah yang kualami dengan Ikina tak sesepeleh masalah hubungan persahabatan pada umumnya. Bahkan waktu itu kami sempat melibatkan satuan keamanan kepolisian. Benar-benar buruk yah.
"Ikina ini salahmu! Tak seharusnya kau melakukannya!"
"(Y/n) menjauh dari sisi jembatan!"
"Aku tidak peduli lagi. Ini semua terjadi karena kalian sendiri."
"Aku.. Aku.. Tidak! Bukan aku!"
Aku menutup telingaku dengan kuat. Tak ingin mendengar suara-suara yang tiba-tiba terdengar di gendang telingaku. Suara yang membuatku harus meneguk beberapa obat yang Ray siapkan. Tidak. Aku berjanji aku takkan seperti itu lagi kan?
"(Y/n)." eh!
Tanpa kusadari. Norman sudah berada di depan wajahku. Ia membawa wajahku dalam genggaman kedua tangannya. Mata sayunya menatapku dengan tatapan khawatir.
"Norman. Kenapa?" aku tak tahu apa yang terjadi. Seingatku Norman tengah membicarakan hal yang serius dengan Ikina. Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini.
"Kau yang kenapa? Kupanggil beberapa kali, kau tak menyahut malah menutup telingamu." bukannya menjawab pertanyaanku. Ia malah melontarkan pertanyaan yang sama seperti yang kuucapkan.
"Eh! Tidak ada apa-apa kok. Tadi telingaku hanya berdengung saja." aku menjelaskannya. Lagi-lagi aku berbohong pada Norman. Entah kenapa aku tak berani menceritakan yang sebenarnya. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikan ini.
"Kenapa setelah istirahat makan siang kau jadi suka melamun. Mungkin kau kelelahan, sayang." Aku tersenyum menjawab pertanyaannya, kali ini aku tidak berbohong.
Norman mengelus pipiku dengan lembut. Lalu mengecup bibirku sekilas, "Sebaiknya kau pulang dan beristirahat." setelahnya ia mengucapkan hal yang seketika membuatku kesal. Tapi aku tak mengubah ekspresiku.
"Bukankah sebaiknya aku ikut." aku tentu saja tak membiarkan suamiku keluar dengan wanita lain sampai malam.
"'Kau harus memikirkan kesehatanmu.' bukankah kau tadi mengatakannya pada Liana. Sekarang kau juga harus memikirkan kesehatanmu." skak mat. Aku tak bisa lagi menyengkal ucapannya. Sial! Aku menghawatirkannya. Tapi sepertinya rasa khawatir suamiku lebih besar dari diriku.
"Baiklah. Baiklah. Aku pulang. Tapi janji. Kau harus pulang sebelum tengah malam." aku mengerucutkan bibirku. Sialan! Aku masih saja kesal dan enggan membiarkan suamiku pergi tanpaku.
Norman yang gemas melihatku terus membalas tatapannya dengan tatapan kesal bercampur khawatir, menarik wajahku kearahnya. Ia yang hampir menciumku lagi kuhentikan dengan sebelah tangan yang mendorong wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY PERVERT HUSBAND, NORMAN.
FanfictionJika ditanya tentang masa depan. Apa yang ada di benakmu? Pekerjaan tetap dan memiliki gaji besar? Hidup tentram berkecukupan? Punya suami yang menyayangi dan mencintaimu? Aku punya segalanya saat ini yang bahkan tak pernah ku bayangkan sebelumnya...