Aku melihat pemandangan hutan-hutan di sekitar tempatku berpijak. Begitu rindang dan indah terlihat oleh mataku. Rasanya hatiku begitu tenang melihatnya.
Senyumku pun terkembang indah. Begitu kedamaian merasuk dalam dadaku. Udara yang segar pun membuat pikiranku serasa tanpa beban.
Mataku berganti menatap ratusan petak tanah yang tertata rapi dibawah sana. Kebun-kebun yang seperti membentuk anakan tangga jika dilihat dari atas nan jauh itu kini penuh dengan tanaman teh. Pemandangan yang selalu ingin dilihat sahabatku ketika lelah dengan hiruk piruk kota.
"Kini kau bisa menikmatinya setiap hari ya. Tanpa harus izin orang tuamu atau kabur dari sekolah.. "
Mataku menatap bawah dimana gundukan tanah yang beberapa menit lalu baru saja kutaburi bunga segar.
"Ikina." Kupanggil nama itu, melanjutkan kalimatku.
Kuelus nisan putih yang bertuliskan namanya dengan tinta hitam, "Kubelikan tanah ini khusus untukmu. Kuharap, di tempat ini kau bisa tenang dan bahagia."
Air mata lagi-lagi menetes membasahi pipiku. Tak kusangka hukuman yang ia dapat atas dosanya adalah kematian yang keji bersama dengan bayi yang sangat ia sayangi.
"Bayimu juga ada disisimu.. Hiks.. Dia yang kau sayang ini akan terus mmenemanimu disaat aku tak mengunjungimu selama beberapa minggu." Kuelus nisan kecil tanpa nama disamping makam Ikina.
"Jaga ibumu ya sayang. Temani dia. Jangan biarkan ibumu sedih ataupun kesakitan.. Hiks.. Jauhkan dia dari hukuman Tuhan yang lebih berat."
Aku tak mampu lagi menahan isakan demi isakan yang terus keluar dari bibirku. Sungai air mata yang terus mengalir pun tak dapat ku bendung lagi."Ini sudah 3 bulan lamanya. Kenapa kau masih seperti ini?" Pria di belakangku ikut berjongkok lalu memelukku.
"Bagaimanapun Ikina. Aku tidak bisa merelakannya yang mati dengan cara seperti ini." Aku menutup mukaku. Menahan sekuat tenaga agar tangisanku reda.
Norman hanya bisa menghela nafasnya kasar. Dia mungkin merasa tidak habis pikir kenapa istrinya ini terus saja menangisi kepergian sahabatnya yang sampai akhir hidupnya selalu membuat masalah dalam hidup istrinya.
Norman bahkan menyuruhku untuk bersyukur. Setidaknya, tak ada gangguan lagi untuk diriku dan untuk hubungan kita.
Tapi masalahnya bukan hal seperti ini yang kuharapkan. Aku ingin Ikina menyerah untuk memanfaatkan juga mencoba menghancurkan diriku dan lebih memilih membesarkan bayinya dengan cara yang benar. Memang tak ada ayah yang bisa di banggakan anaknya, tetapi masih ada ibunya yang sangat menyayanginya sampai mengorbankan apapun. Bahkan tanpa diminta pun, aku akan bersedia membantunya merawat anaknya dan melupakan semua yang telah terjadi.
Apa aku terlalu naif? Apa aku terlalu berhati besar dengan sahabat yang sudah merusak mentalku dan hampir merusak rumah tanggaku yang terbangun susah payah dengan bantuan banyak orang? Tapi ini yang terus saja menjadi beban berat di kepalaku. Semua rencana yang sudah susah payah kususun dengan baik untuk menundukkan Ikina sia-sia dengan adanya kejadian ini.
Aku tahu. Aku sangat paham bahwa manusia hanya bisa membuat rencana dan Tuhan lah yang berhak menjalankan semuanya. Mungkin rencana Tuhan lebih baik daripada rencana yang telah kusiapkan dengan matang.
Aku harus bisa menerima semuanya tapi, ini masih terlalu berat bagiku.
"Kenapa Ikina? Kenapa? " Dengan membalas pelukan Norman. Aku menatap nisan putih itu.
"Bahkan kata maaf yang ingin kudengar darimu pun tak kau ucapkan sampai akhir hayatmu." Aku tak benar-benar membencimu. Aku hanya kecewa dengan hasil yang ada. Ini bukanlah hasil akhir yang kuinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY PERVERT HUSBAND, NORMAN.
Hayran KurguJika ditanya tentang masa depan. Apa yang ada di benakmu? Pekerjaan tetap dan memiliki gaji besar? Hidup tentram berkecukupan? Punya suami yang menyayangi dan mencintaimu? Aku punya segalanya saat ini yang bahkan tak pernah ku bayangkan sebelumnya...