Hey yooo!
Enjoy and cekidot!!
Hari ini kita lewati dengan hanya duduk dan bercengkrama dirumah. Bermain-main kecil layaknya pasangang suami istri pada umumnya dan menikmati waktu berdua yang kita ciptakan setelah berminggu minggu berada dalam keadaan canggung dan amarah.
Tidak ada gangguan lain selain tadi pagi yang sudah kusingkirkan tanpa susah atau bantuan Norman. Aku juga tidak menceritakannya. Hal itu tidak penting, Norman tidak perlu tahu kedatangan Ikina.
Jika diingat ingat, pagi tadi aku bilang bahwa Norman tidak ada dirumah untuk mengusir Ikina. Padahal yang sebenarnya, Norman sedang kusuruh untuk membersihkan kamar dimana kasur penuh dengan cairan lengket. Ayolah jika Ikina melihat keadaan Norman yang seperti itu, bukankah dia akan sakit hati? Aku tidak sedang berbaik hati. Hanya saja, jika memang kejadian tadi pagi Ikina benar-benar masuk dan melihat Norman, mungkin itu adalah pemandangan menyenangkan dan untukku, aku jadi punya banyak bahan untuk membalikkan setiap kalimat menyebalkannya Ikina.
Saat aku tenggelam sembari menatap pemandangan taman rumah di depan mataku, satu kecupan hadir di bibirku, membuatku terkejut dan membuatku mengalihkan tatapanku ke arah tersangkanya.
"Kenapa melamun?" aku menatap wajah dengan sebelah alis putihnya yang terangkat.
Senyum kecil ku tunjukkan untuk membalasnya, "Tidak ada. Aku hanya memikirkan kejadian-kejadian sebelumnya."
"Jangan dipikirkan." kurasakan lengan besar milik Norman merangkul erat perutku. Dagunya sengaja ia sandarkan di bahuku sebagai tumpuannya, "Tidak baik memikirkan kejadian buruk yang sudah terlewat," ucapnya melanjutkan.
Tidak memikirkannya hmhh? Mudah sekali mengatakannya. Tapi tidak untuk melakukannya. Nee.. Norman. Bagaimana caraku melupakannya saat aku baru saja mengibarkan bendera peperangan? Cepat atau lambat pihak lawan yang sedang kutantang pasti akan mengirim serangan dan apapun bentuknya aku harus melawannya.
Aku menunduk. Menunjukkan wajah sendu namun tak bisa Norman lihat, karena dia berada di belakangku.
Yah.. Aku bisa melawan apapun kecuali keluargaku...
Sekilas bayangan masalalu terlintas dalam ingatan. Jika aku berpikir. Ikina adalah orang yang menggunakan segala cara untuk memperoleh kebahagiaan ideal yang ia inginkan.
Ibu...
Ayah..
Aku memejamkan mataku erat. Tidak... Tidak.. Aku tidak akan terjebak di masalah yang sama. Tidak akan ada keluargaku yang bisa lagi ia manfaatkan. Aku yakin. Aku sangat yakin.
Tidak...
Saat aku hendak membuka suara untuk membalas ucapan Norman. Kami sama sama menoleh ke arah dalam rumah. Kami mendengar suara ketukan pintu yang sangat keras dan terkesan terburu buru.
Aku mengerutkan dahiku. Tunggu. Siapa yang datang di jam segini dengan tidak sopannya seperti itu?
"Iyaaaa!!!" aku menyahut saat tidak ada tanda-tanda dari Norman yang ingin membuka pintunya, "Aku yang akan membukanya." dengan segera aku melepas pelukan Noman dan mulai berjalan ke arah pintu depan.
Sebelum langkah ketiga kuambil, tangan besar itu kembali mencengkeram pergelangan tanganku lembut. Senyum kecil ia tunjukkan saat aku menoleh padanya hendak menanyakan perbuatannya.
"Biar aku saja." apa yang ia pikir tadi sampai dia baru berinisiatif membuka pintu astaga, aku saja yang sejak tapi berpikir buruk tidak separah itu saat melamun.
Helaan nafas sedikit panjang keluar dari mulutku, "Aku juga ingin kedepan. Ayo!" aku menggandeng tangan Norman, menariknya lalu berjalan ke arah pintu depan, "Aku juga ingin melihat siapa yang datang." lanjutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY PERVERT HUSBAND, NORMAN.
FanfictionJika ditanya tentang masa depan. Apa yang ada di benakmu? Pekerjaan tetap dan memiliki gaji besar? Hidup tentram berkecukupan? Punya suami yang menyayangi dan mencintaimu? Aku punya segalanya saat ini yang bahkan tak pernah ku bayangkan sebelumnya...