Seorang gadis berdiri di atas tembok pembatas jembatan. Menatap arus sungai di bawahnya dengan mata yang sedikit kabur karena air mata.
"(Y/n), turun dari sana!" seorang pemuda berlari dari ujung jembatan menghampiri gadis itu yang sedikit lagi melangkahkan kakinya.
"Aku tidak mau hidup. Aku lelah."
.
.
.
.
1 minggu sebelumnya..."Ah ya. Aku belum bilang kalau aku sudah keluar kelas." baru saja gadis itu mengambilnya, handphone itu sudah berpindah tangan karena temannya dengan seenaknya mengambil benda itu dari tangannya.
"Ah hei, kau mau memberitahu Ray, bahwa kau sudah istirahat?" Ikina menatap (Y/n) yang menekuk wajahnya kesal.
"Kembalikan bodoh, kalau tidak segera kuberi kabar. Dia akan marah." (Y/n) mencoba menarik handphonenya lagi. Namun dengan mudah, Ikina mengangkat tangannya, menyingkirkan handphone gadis itu agar tidak diambil oleh pemiliknya.
"Bagaimana kalau kita membuatnya marah. Aku kesal dengannya akhir-akhir ini."
Tangan (Y/n) berhasil mengambil kembali handphonenya dan segera mengetik pesan untuk memberi kabar pada Ray, "Apa hubungannya aku dengan rasa kesalmu. Itu bukan urusanku."
Gadis manis itu kembali memasukkan handphonenya kedalam saku, kemudian berdiri hendak pergi menghampiri kekasihnya.
Tangannya menepuk bahu Ikina pelan, "Selamat tinggal, sobat. Semoga waktu istirahatmu menyenangkan."
Setelah mendengarnya, Ikina melihat (Y/n) yang keluar kelas dengan langkah ringan. Terlihat sekali dari langkahnya ia begitu bahagia saat ingin menemui Ray kekasihnya.
"Ck. Aku membencinya," gumamnya pelan. Ia menggigit kukunya sembari mengerutkan keningnya. Ia sedang memikirkan perbuatannya akhir-akhir ini.
"Haruskah aku menggunakan cara kasar? Menghadapi gadis itu?" sebelah alisnya terangkat. Senyum manis yang penuh banyak arti terlukis di bibirnya.
"Ah maafkan aku sobat baikku," ucapnya penuh penekanan.
"Sepertinya aku akan sedikit menyusahkanmu." Ia mulai melangkahkan kakinya menuju tempat yang diinginkannya..
.
."Kau mau tahu?" tangan besar Ray mengelus lembut surai hitam panjang disampingnya.
"Kenapa kau bertanya dulu? Ceritakan saja." sedangnya gadis pemilik surai indah itu tengah nyaman memeluk tubuh kekasihnya sembari mengusap-ngusap pipinya ke dada pemuda itu.
"Aku tidak enak menceritakannya. Ini soal temanmu." helaan nafas kasar terdengar dari bibir Ray. Sebelah tangannya semakin erat memeluk pinggang ramping (Y/n).
"Aku takut kau tidak percaya atau kau malah akan bertengkar dengannya." ucap Ray hati-hati. Matanya menatap wajah kekasihnya yang tetap terlihat tenang.
"Ayolah.Aku bisa mempercayaimu, kau tidak akan berbohong kan? Dan aku tidak akan bertengkar seperti anak kecil," ucapnya, disertai decakan lidah diakhir kalimatnya.
Ray tersenyum kecil mendengar penjelasasan kekasihnya. Dia mengusap lembut pipi gembul (Y/n) lalu mendekatkan wajahnya dan mengambil satu kecupan ringan di bibir kekasihnya.
"Baiklah, jangan marah padaku setelah mendengarnya." mata pemuda itu masih setia menatap lembut wajah (Y/n) yang sedikit memerah. Anggukan kecil ia dapatkan sebagai jawaban kemudian.
"Ikina memintaku untuk meninggalkanmu agar bisa menjadi kekasihnya." setelah ucapan itu. Ray mulai melihat kerutan di dahi (Y/n). Ekspresi kesal juga terlihat samar-samar disana.
"Aku tidak menerimanya. Aku menolaknya, tenanglah. Dia memang sangat memaksa, tapi aku tetap menolaknya, karena aku milikmu," jelas Ray.
"Secara halus kan? Aku melakukannya. Aku tidak boleh kasar pada siapapun kan? Aku menurutimu." sebelah alisnya terangkat menyertai ucapannya."Yah kau memang harus begitu." (Y/n) memalingkan wajahnya. Entah mengapa, perasaan kesal masih ada dalam hatinya meskipun ia juga merasakan senang karena Ray yang lebih memilihnya.
Ia yakin jika Ray adalah pria lain, ia pasti lebih memilih Ikina daripada mempertahankannya. Dilihat sekilaspun, Ikina lebih cantik dan lebih menarik daripada dirinya. Pribadi Ikina yang baik, dia pandai bergaul dan juga sangat pintar dikelasnya. Ikina sangat sempurna dilihat dari sisi manapun.
"Tapi, kenapa dia berbuat seperti itu? Dia tahu kau milikku. Dia juga yang dulu mendorongku untuk menerima perasaanmu. Kenapa dia sekarang malah ingin menghancurkan perasaanku?" dia mendongakkan wajahnya, menatap Ray dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Helaan nafas terdengar lagi dari bibir pemuda itu. Ia tahu akan jadi seperti ini saat ia menceritakannya. Inginnya ia memendamnya sendiri agar kekasihnya ini merasa tenang dan tidak akan sedih seperti ini. Tapi ia takut, saat (Y/n) mendengar dari mulut orang lain, gadis itu akan marah besar padanya. Dia memang serba salah disini.
"ssstt.. Sudah ya. Jangan dipikirkan." tangan Ray merangkul erat bahu dan pinggang gadis itu lagi. Membawanya kedalam pelukan hangatnya. Tangannya mengelus kepala gadis itu. Menekan lembut kepala (Y/n) ke dadanya agar gadisnya merasa tenang.
"Jangan dipikirkan lagi dan jangan membuat pertengkaran dengannya ya. Kau sudah bilang padaku tadi," jelasnya pada gadis yang tetap diam dalam pelukannya.
Entah karena masih memikirkannya atau sedang menguatkan diri, (Y/n) tetap bergeming di posisinya. Dia juga tak sepatah katapun membalas ucapan Ray, membuat pemuda itu heran dibuatnya.
'Apa dia baik baik saja?' batinnya.
"(Y/n)," panggilnya.
"A-Aku baik-baik saja kok." kepala gadis itu kembali mendongak. Menampilkan iris coklat gelapnya yang menatap Ray dengan sendu. Tak lupa senyum sedih ia tunjukkan juga pada pemuda itu.
"Kau tidak akan meninggalkanku kan, Ray?" dia menatap pemuda itu dengan tatapan serius seakan memohon kepadanya.
"Apapun yang terjadi kau akan tetap disisiku kan?" lanjutnya lagi saat pemuda di depannya hanya menatapnya dengan tatapan terkejut.
Tangannya menggenggam tangan Ray erat. Kepalanya kembali menunduk menatap tangannya yang sedikit bergetar.
"Aku takut.." gumamnya sangat pelan. Air matanya tiba-tiba turun membasahi pipi gadis manis itu.
Ia tertawa lembut, tawa yang lebih terdengar memilukan dengan isakan kecil menyertainya, "Entahlah. Aku tiba-tiba merasa sangat takut, Ray."
Dengan spontan pemuda itu membawa tubuh bergetar kekasihnya kedalam pelukan hangatnya lagi. Memeluknya erat, menyalurkan kehangatan pada (Y/n). Sebelah tangannya mengelus lembut surai hitam panjangnya, agar pemiliknya merasa lebih tenang.
"Ssstt.. Aku tidak akan pernah pergi dari sisimu." Ray berbisik pelan ditelinga (Y/n).
"Apapun yang terjadi, (Y/n). Tidak akan membuatku meninggalkanmu."
Gadis itu menghela nafasnya lega setelah mendengar kalimat panjang Ray. Ia merasa lega, ia tidak akan lagi memikirkan hal bodoh yang tidak mungkin itu.
Ayolah, itu hanya ketakutan dari pikiran bodohnya. Tidak akan menjadi kenyataan.
Tanpa ia tahu, dalam psikologi sering disinggung bahwa, pikiran manusia akan berdampak pada manusia itu sendiri. Itulah mengapa manusia senantiasa dianjurkan untuk berpikir positif untuk dirinya sendiri.
.
.
.
."Ayah...." ia tak sanggup lagi berucap saat melihat pemandangan didepannya.
Air mata (Y/n) mengalir deras membasahi pipinya dan membuat pandangannya kabur, membuatnya semakin tidak mempercayai apa yang ia lihat.
"Kenapa ayah tega melakukan ini?"
TBC.
Apa apaan potongan kecil spoiler itu.
Mwehehehehe~
Maaf maaf. Aing emang suka bikin penasaran ><
Btw tenang, chapter ini memang pendek. Tapi, kali ini Author manis ini akan baik hati memberikan kalian dua chapter.
Tetap tungguin yaa :3
KAMU SEDANG MEMBACA
MY PERVERT HUSBAND, NORMAN.
FanficJika ditanya tentang masa depan. Apa yang ada di benakmu? Pekerjaan tetap dan memiliki gaji besar? Hidup tentram berkecukupan? Punya suami yang menyayangi dan mencintaimu? Aku punya segalanya saat ini yang bahkan tak pernah ku bayangkan sebelumnya...