ꜰᴀʀᴇᴡᴇʟʟ

778 158 8
                                    

"Gila." Ryu menatap kosong, "Gak nyangka kita udah lulus aja."

Kembarannya tersenyum geli, "Gak nyangka bakal lulus ya?"

"Ngerusak momen banget kamu tai. Hmph!"

"HAHAHAHAHAHHAHA."

Cewek itu menepuk-nepuk bahu kembarannya keras, berusaha meminta maaf tanpa harus mengeluarkan ucap. Keduanya sedang berjalan menuju bangunan sekolah, tujuannya adalah perayaan kelulusan.

All too well, kalau kata Mbak Taylor Swift. Setelah kejadian tempo hari di depan gym, [F/N] nggak pernah menampakan diri lagi diantara anak voli. Cewek itu bahkan bawa bekel sendiri, berusaha mengurangi frekuensi keluar kelas seketat mungkin. Dan- berhasil.

Mungkin saat kelulusan angkatan Daichi, [F/N] datang dan bahkan foto bareng di gymnasium. Nangis-nangis karena nggak ikhlas kakak kelas kesayangannya udah pada lulus. Dan dia sendiri, sebentar lagi. Juga, usahanya buat lebih fokus ke nilai berjalan mulus. Bu Maiko nggak lagi ngomel-ngomel, rekomendasi beasiswa pun akhirnya dapet.

Nggak berat. Karena ada Ryu yang selalu nenangin kapanpun cewek itu butuh. Kembarannya emang manusia super, bisa bikin ketawa bahkan saat
[F/N] nggak ingat dirinya hidup untuk mengejar apa.

Meskipun, ada sesuatu yang mengganjal. Netra hitamnya selalu menatap pintu gymnasium paling tidak tiga detik setiap akan masuk dan keluar dari kelas. Mungkin kangen, mungkin kangen banget. Bisa aja sama semua anak voli, paling kangen sih sama satu orang. Nggak tahu siapa.

Hal yang sama dilakukan Kageyama. Dia bener-bener ngikutin apa yang dirinya pikirin. Sumpah deh, cowok itu bego banget kalau berhubungan sama yang bukan voli. Makannya saat dia pikir menjauhi hubungan yang bahkan belum jadi sama sekali itu langkah yang tepat, ya Kageyama melakukannya.

Meskipun dia jadi lebih sering bengong.

"Abis lulus ngapain ya," Chikara sambat. Anggota dengan angka harapan hidup yang paling rendah itu menghela nafas, menatap kosong ke arah panggung yang tengah berisikan seremoni pembukaan.

"Aku sih," Ryu mulai kebiasaan waqof, "Nikahin Kak Kiyoko."

"Heh!"

"GAK USAH NIKUNG YA RYU!"

"Woy woy woy."

"Kecepetan goblok."

Suara-suara aneh mulai terdengar, akhirnya mereka menghabiskan waktu dengan mengingat kembali apa yang dulu terjadi.

"Inget nggak dulu Tanaka pernah nabrak Kak Daichi pas tanding?"

"Sampe giginya Kak Daichi copot kan? Inget!"

"Gila ya kepala Biksu emang beda."

"Masih gak percaya anjir sampe copot."

"Kepala Tanaka kan emang mirip gundu."

"APA SIH?! Gak ada hal lain yang bisa diinget apa?!"

"Gak."

Suara tawa mulai kembali terdengar, beberapa pasang mata memandang kearah mereka. Persetan deh. Toh acaranya cuma bagi-bagi medali dan gulungan yang mirip kue eggroll. Setelahnya foto, halal-bihalal. Pulang.

"Yaaaaaah, ada yang mau pindah habitat abis ini."

Nishinoya menatap dengan mata membulat, "Loh? Jadi? [F/N] jadi ke Tokyo?!"

"Jadiii!!!"

"WAAAAH SELAMAT!"

"Terima kasiiih!" Cewek itu mulai emosional, suaranya yang semula terdengar ceria malah kemudian terisak pelan. "Aku sedih banget pisah sama kalian."

"Yah, jangan nangis dong." Ryu menarik kembarannya dalam pelukan, keempat teman hanya menatap sendu. Benar juga, nggak ada yang menjamin keempatnya akan terus bersama-sama. "Nanti aku sering-sering dateng deh ke Tokyo, sekalian bawa dedek bayi gemes anak aku sama Kak Kiyoko."

"RYUUU!!!"

"Anjing lo." Chikara meng-copy kalimat padat [F/N] pada Tsukishima tempo hari. "Eh, [F/N]. Ikut ngumpul juga dong sama anak voli nanti? Di Gymnasium."

Gadis itu menatap tajam, "Nggak deh. Nanti malem kalian ke rumah juga kan?"

Kinnoshita dan Narita melirik-lirik seksi, seakan kode bahwa [F/N] memang belum mau menemui Kageyama dan Tsukishima.

"Nanti Hinata nanyain, aku jawab apa?" Si Kapten yang bentar lagi turun tahta menatap bingung.

"Gak usah dijawab."

"Yakali." Kinnoshita dan Narita berkata berbarengan.

"Jawab aja," Ryu mulai waqof, "Nggak bisa dateng soalnya nemenin Kak Kiyoko cari gaun pengantin."

"Allahu Akbar."

Hari itu, Tanaka [F/N] pulang sendiri. Kakinya bergerak langkah demi langkah menyusuri jalan setapak yang akan membawanya menuju rumah.
Satu-satunya tempat yang ia harap menjadi wadah dimana [F/N] bisa menumpahkan lelah.

Meskipun dihatinya ada yang mengganjal. Saat sepasang netra biru laut menatapnya dari kejauhan, cewek itu nggak berbalik. Nggak mau kembali menyakiti diri sendiri, berharap akan yang belum pasti.

effort. | tobio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang