Dua tahun delapan bulan lampau.
❁❁❁
"Harsa, sebetulnya kita ini apa?"
❁❁❁
Memutar balik ke 1 jam sebelumnya, tidak biasanya jendela kamar Harsa diketuk pelan. Dengan sigap cowo yang cuma pake kaos oblong kelonggaran itu pasang kuda-kuda, masih gak yakin yang akan dihadapi itu maling ato setan. Gak ada pilihan yang lebih mending, sebetulnya.
Yang mengejutkan, malah wajah Amora yang muncul malu-malu, ngintip dari balik tirai.
Tadinya Harsa hampir jungkir balik karena dikira Sadako, tapi mana ada Sadako yang bentukannya gemes pake piyama motif hati?
"Harsaaaa, ihh! Bukainnn!"
Amora setengah mati bisik-bisik kenceng, karena bisa bahaya kalo ketauan warga. Takutnya mereka malah diarak keliling terus dinikahkan paksa.
Yang punya kamar cekikikan, sementara Sadako yang di luar jendela makin manyun. Gak sampai beberapa menit, sekarang Amora sudah tiduran manis di samping Harsa.
"Kenapa kesini?"
"Gak suka?"
Harsa menyentil jidat Amora, "aku gak ngomong gitu ya. Tumben aja?"
"Heh! Gaboleh kekerasan!"
"Oh iya maap. Nanti kena pasal kekerasan terhadap hewan langka."
Sebetulnya Harsa udah berekspektasi akan dapat—minimal banget—satu cubitan. Tapi yang terjadi malah Amora melingkarkan lengannya di pinggang Harsa dan menyembunyikan wajah di ceruk lehernya.
"Nyai? Sakit lo?"
Amora geleng-geleng.
"Gak ini mah serius, bukan ngeledek. Lo gapapa, Mo?"
"Harsa, sebetulnya kita ini apa?"
Laki-laki itu tertegun.
Di satu sisi, dia bener-bener khawatir bahwa nyai di sampingnya ini kayaknya panas tinggi sampe ngelantur gini. Tapi sebetulnya, dia juga khawatir karena tak tahu jawaban seperti apa yang harus keluar.
"Belum saatnya, Amora."
"Maksudnya?"
Harsa menghela napas, lalu memposisikan dirinya hingga menghadap ke arah Amora sambil menopang kepalanya dengan satu tangan.
"Belum sekarang. Nanti... nanti kalo gue udah pantas buat lo."
"Maksudnya belom pantas?"
Amora gak salah untuk terus mencecarnya dengan pertanyaan. Tapi Harsa sendiri kelimpungan untuk mencari tahu sendiri apa jawabannya.
"Pokoknya belom. Lagian kayak gini juga gapapa kan?"
"Gak gitu," Amora menggeleng, "emangnya lo siapa sampe merasa berhak nentuin standar pantas buat gue?"
"Yang jelas gue tau, kalo gue yang masih abu-abu dan gak jelas ini mana pantas kalo berdiri di samping lo?"
Amora bangkit dari posisi tidurnya, duduk di ujung kasur Harsa.
"Apaan sih, Harsa? Kayaknya lo yang sakit deh?"
"Gue serius, emangnya gue keliatan bercanda?"
"Otak lo tuh yang bercanda!" tunjuk Amora ke arah jidat Harsa, yang segera ditepis dengan pelan.
"Tangannya, Mo." tegurnya, "gak sopan."
Gadis itu mengernyitkan alisnya, jelas frustasi.
"Jadi lo harus di titik apa sampe ngerasa pantes buat gue?"
"Gak tau. Kalo gue udah ngerasa? Mungkin kalo gue udah keterima kuliah, di jurusan yang tepat, gak pontang-panting gajelas, sementara lo punya masa depan yang cerah."
"Oh gitu?"
Harsa menganggukan kepalanya mantap.
"Jadi kalo gue gabisa melakukan hal yang sama juga, apa itungannya gue jadi gak pantas buat lo?
Kini Harsa terdiam seribu bahasa. Hati kecilnya mulai bertanya-tanya, tapi egonya enggan untuk kalah.
"Kenapa lo jadi mikir kesana? Semua orang juga tau kenyataannya gak gitu."
Terjadi keheningan yang menegangkan diantara mereka dalam beberapa menit itu. Sebetulnya Harsa juga gak paham apa yang bikin Amora tiba-tiba jadi defensif, tapi semua kebingungannya berubah jadi panik saat air mata Amora menetes.
"Ya udah, Sa."
Amora memanjat keluar dari kasur menuju jendela. Penyesalan pertama Harsa dimulai dari sini: tidak mencegah Amora pergi.
"Aku sayang kamu, Harsa. Yang aku butuhin cuma itu balik. Aku gabutuh kamu memperlakukan aku seperti sebuah pencapaian."
Dan dengan itu, Amora berlalu.
Penyesalan Harsa yang kedua, yang akan menghantui tahun-tahun berikutnya adalah: tidak sempat mengucapkan kalimat itu kembali pada Amora.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANIGARA | Lee Haechan ✔
Teen FictionKANIGARA, yang artinya bunga matahari. ❁❁❁ "Harsa, gak perlu takut kamu mau mengejar mimpi ke arah manapun. Aku pasti cuma akan ngeliat kamu." "Sampai kapanpun?" "Sampai kapanpun." Nyatanya, Harsa harus ditampar dengan kenyataan pahit bahwa Amora pe...