Sungguh aneh, tapi nyata.
Hari baru telah dimulai, dimulai dengan hembusan angin pagi yang menyejukkan.
Sosok pria bertubuh tegap dengan tatapan setajam elang. Aura gelap seketika menguasai sekitar, membuat sang bawahan menjadi bergetar ketakutan."Siapkan semua yang dibutuhkan untuk urusan yang akan kita lakukan besok. Saya tidak ingin mendengar bahwa rencana ini gagal." Aura gelap muncul. Ini lah perbedaan Alvin dikantor dan diluar kantor.
Jika dikantor tepat didepan sekertarisnya, ia akan menjelma menjadi sosok bos yang tegas dan bersikap menjengkelkan. Sedangkan diluar, lihatlah sekarang. Tidak ada yang tau tentang rahasia terbesarnya.
"Saya sudah menyusun semua dengan rapi tuan, tapi ada beberapa orang yang berusaha mencuri barang yang tua pesan. Orang itu adalah anak buah Adrian."
Alvin menyeringai, tidak akan mudah mengambil sesuatu yang sudah menjadi miliknya. Bahkan Adrian-pun selaku musuhnya tidak akan mudah merebutnya.
"Kamu tau dimana keberadaan Adrian?"
"Maaf tuan, saya tidak bisa mengetahui tempat tinggal Adrian, bahkan anak buah nya pun tidak ingin memberi tau dimana Adrian bersembunyi."
Alvin tersenyum miring, "Biarkan saja. Kita akan tunggu dia keluar dengan sendirinya." Bawahannya itu mengangguk patuh.
Alvin mengebudi dengan santai. Jika bukan karna pekerjaan semalam yang menumpuk. Mana mungki ia pergi sesiang ini.
Alvin berjalan keruangannya dengan angkuh. Ia berjalan tanpa peduli tatap semua orang yang tertuju padanya.
"Bagus kamu ya, udah berani telat. Emangnya dirumah bapak gak punya jam?" Arla bersedekat dada, seolah olah dia lah bos. Alvin masih diam berusaha mencerna perkataan sang sekertaris.
"ARLA!"
Alvin menatap penuh peringatan pada sang sekertaris. Wajahnya menggeram menahan kekesalah yang Arla buat setiap hari.
"Gak usah teriak teriak! " Sarka tajam Arla, menatap menantang sang bos.
"Jaga ucapan kamu! Saya bos disini. Saya berhak datang kapan saja. Urusan kamu apa? Kamu itu cuma sekertaris. Jadi jangan kurang ajar! Ingat posisi. Kamu cuma sekertaris gak lebih!" Alvin membentak dengan mata yang memerah.
Mata Arla tak berkedip. Bagian dalam dadanya terasa sesak. Gadis itu tersenyum lalu menundukkan kepalanya. Mungkin dia harus sadar dimana posisi sebenarnya, dia juga harus sadar bahwa tidak seharusnya ia bersikap sekurang ajar ini.
"Maafkan saya, sekali lagi saya minta maaf. Saya tidak seharusnya bersikap selancang ini dengan bapak. Saya akan terima pekerjaan ini dengan iklas, dan mulai sekarang," gadis itu tampak susah payah menstabilkan deru nafasnya. "saya akan menghormati dan menghagai bapak sebagai atasan. Sekali lagi saya mohon maaf."
Arla berlalu dengan tangan yang terkepal. Ia akui bahwa sikapnya sudah keterlaluan. Kedua orang tuannya pun tidak pernah mengajarinya bertingkah seperti itu. Seakan perkataan itu membuatnya tersadar dari mimpi, mimpi yang membuatnya nyaman namun hanya sebatas angan.
Seakan tersadar dengan ucapannya Alvin termenung.
"Jaga ucapan kamu! Saya bos disini. Saya berhak datang kapan aja. Urusan kamu apa? Kamu itu cuma sekertaris. Jadi jangan kurang ajar! Ingat posisi. Kamu cuma sekertaris gak lebih!"
Perkataannya itu terus terngiang dikepalanya. Alvin menjambak rambutnya frustasi. Bagaimana ia bisa mengucapkan kata kata yang membuat hati gadis itu terluka.
Alvin menatap nanar Arla yang berjalan meninggalkannya. Alvin menyentuh dadanya yang berdetak lebih cepat. Hatinya seakan tercupit mendengar kalimat terakhir Arla.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOS SINTING!
Teen FictionMenjadi sekertaris bos harus memiliki tenaga yang super extra. Bukan hanya tenaga yang extra. Tapi juga batin. Bayangkan saja, mana ada seorang bos yang melarang sekertarisnya berhenti kerja dengan alasan yang aneh. Bahkan sampai kontra kerja Arla...