❝ sebelas - lindap

318 54 2
                                    

semi-mature content!

aku meremas kaus lelaki itu di bagian dada, merasakan tangannya yang menekan tengkukku untuk memperdalam ciumannya yang terasa posesif namun juga lembut. beberapa saat kemudian, ia melepaskan ciuman itu dan menatapku dengan pipi yang bersemu.

aku mengatur nafas, benang saliva teihat mengubungkan kedua bibir kami. aku tersenyum tipis dan mengusap pipi pucatnya dengan lembut. "aku... aku tidak tahu harus mengatakan apa. aku sangat, sangat merindukanmu."

giyuu mengeluarkan tawa renyah sebelum memejamkan matanya, menekan tanganku yang berada di pipinya dan menikmati hangat yang tersalur dari bagian tubuhku. "aku jauh lebih menginginkan eksistensimu disini, berat rasanya menunggu waktu sampai aku menemui ajal dan bisa terlahir kembali."

aku tersenyum sedih, melingkarkan tangan kecilku di lehernya dan memeluknya erat. giyuu merengkuh pinggangku dengan sepasang lengan kekarnya dan membenamkan wajah di ceruk leherku. tanganku mengusap lembut surai hitam panjangnya yang tergerai, bersenandung pelan hingga kemudian aku merasakan basah di pundakku dan tubuh lelaki itu bergetar pelan.

"aku disini, ngga akan pergi lagi.  iblis sudah tidak ada, sayang. kita tidak perlu lagi mempertaruhkan nyawa untuk melindungi orang."

pelukan dari giyuu semakin mengerat, ia menangis dalam diam di pelukanku. lelaki itu menunjukkan sisi lemahnya, membuktikan betapa besar rasa menyesal yang menghantuinya. lelaki ini yang dulu tidak percaya diri dengan gelar hashira nya, menutup diri ke semua orang —selain padaku, satu-satunya orang yang menemani dia sejak kecil dan masih bertahan hidup, meski hanya sampai saat iblis menghilang di muka bumi.

siapa yang tahu, rekan-rekan sesama hashira yang tidak menyukainya itu tidak akan menyadari bahwa ia masih diam-diam menangisi nasib orang yang disayangi nya di tengah malam. punggung tegapnya yang selalu memunggungi rekan kerjanya dulu, adalah punggung yang sama dengan punggung seorang pria muda yang sudah menjalani kehidupan menyakitkan.

"aku tidak ingin kehilangan lagi, (name). aku tidak ingin menaruh harapan pada manusia selain kamu, dan aku berjanji akan menjagamu dengan nyawaku sendiri."

aku mengingatnya dengan jelas, kalimat yang terucap dari bibir ranum lelaki itu ketika terbangun di tengah malam karena mimpi buruk tentang kakaknya dan sabito. aku hanya bisa mendekapnya erat dan membisikkan kata-kata penenang agar ia bisa kembali tidur. itu dulu sekali.

situasi saat itu hampir sama dengan situasi yang sedang menyelimuti kami. tidak dapat kuhitung sudah berapa kali giyuu menjadi lemah di dekapanku, menangis. dan, aku tidak akan memandang rendah dirinya setelah lelaki itu memilih untuk terbuka denganku. aku akan mengusap punggungnya dan memberinya ciuman-ciuman kecil di seluruh wajahnya, memberinya kasih sayang yang sangat jarang ia dapatkan.

"aku mencintaimu, (name). sangat, dan tidak pernah berubah." suara parau milik giyuu terdengar, meski sedikit samar sebab wajahnya yang terbenam di pundakku.

"sudah, buang jauh-jauh pikiran buruk kamu. kamu bisa merasakan suhu tubuhku, kan? aku masih hidup, giyuu." aku menjauhkan tubuhnya sejenak dan menangkup wajahnya menggunakan kedua telapak tanganku.

netra biru tuanya yang indah itu basah, berlinang air mata. hidung dan pipinya memerah, ia menggigit bibir bawahnya. aku tersenyum lembut dan mencium kedua kelopak matanya pelan. "tidur aja, yuk? kamu pasti capek."

giyuu hanya mengangguk sembari menghapus sisa air matanya dengan punggung tangan, ia berdiri dari sofa setelah mematikan tv dan menjulurkan tangannya kepadaku. dengan senang hati aku menerima tangannya dan mengikutinya ke lantai dua —menuju kamarnya.

lelaki itu membuka pintu kamarnya perlahan, dan membawaku masuk lalu mengunci pintu. aku tersenyum kecil ketika ia menepuk sisi ranjang beralaskan sprei hitam disebelahnya setelah ia membuka selimut biru tua itu dan duduk diatasnya. aku memasuki selimut bersamanya, dan melingkarkan tanganku di pinggangnya. aku mendusel di dadanya sebelum mendongak dan menyengir. "hehe, kamu hangat."

"a-apa?" giyuu mengernyitkan alis, pipinya merona. tangannya kali ini tampak ragu-ragu untuk membalas pelukanku. aku menenggelamkan wajahku di dadanya dan menggeleng-geleng. aku berusaha untuk mencairkan suasana sedih tadi, dan sebuah ide muncul entah dari mana.

"cium aku lagi."

"kamu lagi kenapa 'sih?" suara lelaki itu sedikit meninggi, namun wajahnya tampak manis dengan rona merah yang semakin ketara di pipinya. aku mendongak untuk menatapnya, masih memeluknya erat.

"cium aku du—!"

aku tersenyum disela-sela ciuman tiba-tiba yang diberikan giyuu. aku menutup mataku, menikmati lumatan lembut di bibir bawahku sembari membalas ciuman penuh gairah itu. tangan besar giyuu berpindah ke pipiku, memiringkan sedikit kepalanya untuk mencari posisi yang pas untuk menyesap dalam bibirku.

otot hangat itu memasuki mulutku, menelusuri tiap inci mulutku dan bermain dengan lidahku. tangan kiri lelaki itu mengusap pinggangku, dan semakin naik hingga ke perut rataku. giyuu melepas ciuman panjang itu sejenak, menampakkan benang saliva yang terhubung di bibir kami. aku menatapnya dengan mata setengah terbuka dan nafas tersengal, lidahku masih sedikit terjulur keluar dan pipi yang merona.

"kamu ingat? pertama kali kita bercinta, tatapan matamu sangat mirip dengan sekarang." giyuu menciumi telingaku, tangannya menyibak kaus putih yang kupakai dan mengusap-ngusap punggungku lalu ke perutku.

aku menahan tangannya, berusaha merapatkan bibirku ketika merasakan sensasi menyenangkan saat nafas hangatnya menerpa telingaku dan ciuman yang beruntun itu. "j-jangan, aku tidak menggunakan bra saat ini..."

"lalu?"

belum sempat aku menjawab, ia kembali membungkamku dengan kecupan di bibir. giyuu tersenyum tipis, ia menyelipkan poni panjangku ke belakang telinga lalu mencium hidungku. "oh, ayolah. aku sudah hafal tiap inci tubuh mu,"

"giyuu!" aku memekik malu, berusaha menyembunyikan wajah memerahku dengan kedua tanganku. namun, giyuu mendorongku halus ke ranjang dan menahan kedua tanganku di kedua sisi kepalaku. lelaki itu hanya memberiku senyum manis sebelum mendekatkan wajahnya ke tulang selangkaku.

aku menatap langit-langit kamar, menutup bibirku dengan punggung tangan kiriku yang sudah dilepaskan giyuu. lelaki itu menghujani bagian leher, tulang selangka, dan pundakku —karena kaus yang kugunakan ini sangat besar, maka bagian atasku sedikit terekspos— dengan kecupan dan terkadang menghisapnya untuk membuat tanda keunguan.

"giyuu—"

malam itu, suhu udara begitu dingin sehingga orang-orang ingin segera pulang dan bergemul dengan selimut. hujan pun turun mengguyur bumi. tapi aku tahu, aku dan giyuu tidak akan merasakan dingin yang menusuk ketika kami menjadi satu dan menyebut nama masing-masing dengan nafas tersengal.

 tapi aku tahu, aku dan giyuu tidak akan merasakan dingin yang menusuk ketika kami menjadi satu dan menyebut nama masing-masing dengan nafas tersengal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

yaudah anjay gaasik kl gaada anu ya ga. oh, credit buat chapter ini sm sblm2nya. @/sinba_ on twt. AKUN FAV SAYAAA AKSJAJSAJ

𝐬𝐞𝐧𝐚𝐧𝐝𝐢𝐤𝐚, T. GIYUUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang