tuan yang masih direngkuh seragam sekolah, kedua matanya menyipit membentuk bulan sabit sambil intens memandang jauh bumantara yang terang ditemani amukan bagaskara.
telapak tangannya dibuat menghalangi paparan cahaya yang kelewat menyengat.
untungnya angin datang ikut bersua, sebagian surai legamnya ikut bergerak satu irama dengan riuh yang membisikkan nada di rungu.
rooftop.
menunggu-datangnya puan yang tadi ia kabari lewat pesan singkat.
masih belum ada manusia lain, lantas dia mengenggelamkan diri pada pikirannya kembali.
"nabastala, langit yang menatap langit ya?"
tuan itu lantas menoleh mencari hawa yang baru saja bersuara.
oh dia, melva nafara.
"darren, bukan nabastala." katanya sarkas mengakhiri.
kembali mencurahkan atensinya pada langit semesta, tatapannya tetap teduh walau dihalau panasnya bumi nusantara.
si puan lantas ikut bergabung dengan darren, duduk di samping darren yang masih tegap berdiri, "darren nabastala, aku lebih suka panggil kamu nabastala."
darren beranjak, mengikis jarak dengan hawa lalu menautkan tangannya. "terserah."
keduanya bisu setelahnya, membiarkan jeratan delusi menguasai. ada kata yang sama-sama disembunyikan, tidak bisa saling memanifestasikan. dibiarkan bersarang hingga jadi abu.
"darren. kamu kenapa nggak suka aku panggil nabastala?"
darren menatap wajah si taruni yang sedang mengulum bibir. "kepanjangan, susah"
puan mengerutkan piguranya yang di hiasi rona muda. "terus maunya dipanggil apa?"
darren merapikan surai si gadis yang tersibak angin, dia mencetak senyum segaris.
"sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
abstrak.
Fanfictionau ft. huang renjun ❛gelibatnya abstrak dalam cerita si nona. ©jenossaurus, 2020