Bencana malam kelabu

1.3K 133 11
                                    

Ada malam di mana seseorang merasa kelabu. Ada duka yang tak bisa dijabarkan, ada kekecewaan yang tak bisa disembuhkan. Malam penuh kesuraman dan kehampahan.

Dwienza Glanisya.

Dentuman musik begitu menyakiti telinga. Dwi menatap risih sekeliling. Ia memegang tangan Jesy, ini pertama kalinya ia merasa takut. Takut jika ia hilang dikeramaian. Tempat ini penuh orang dugem dan bahkan berpakaian minim. Sepertinya keputusan untuk ikut dua sahabatnya datang ke tempat penuh manusia dugem ini adalah salah. Dwi merasa tak betah. Ini pertama kalinya ia datang ke tempat yang namanya diskotik. Selama 22 tahun hidupnya, ini pun diajak Amora, katanya ingin mengambil sesuatu yang penting pada temannya. Karena merasa bosan ditinggal sendiriania memutuskan ikut. Suara musik yang makin kencang menambah pusing kepala Dwi. Diskotik bukanlah tempat yang pas untuk dirinya.

Bunyi musik DJ mengalun keras memekik telinganya, bau rokok dan alkohol tercium menyengat. Memang keluarganya yang cowok juga biasa dengan alkohol dan rokok, kalau di kampung adat istiadat biasanya dengan alkohol atau tuak kampung. Tapi dengan banyaknya manusia di sini bukan buat ia senang makin bikin pening kepala. Musik yang berdentum keras, bukan kesuakannya.Ia tidak suka musik DJ. Ia ingin berlari pergi sekarang juga.

"Halo Dan, di mana kamu? Aku udah di club," teriak Amora pada orang yang ditelpon. Tentu saja harus teriak. Dwi menggeleng dramatis, bagaimana bisa berbicara jika musik sekeras ini? Ia yakin pitah suara akan robek karena terus berteriak. Ia heran kenapa mereka senang datang ke sini?

"Jes, please kita harus bicara."

Cowok dengan kemeja putih datang mendekat, menarik tangan Jesy. Dwi masih memegang tangan Jesy erat.

"Tidak ada yang harus kita bicarakan" ujar Jesy acuh.

Pria itu Revan, direktur muda tampan. Umurnya 27 tahun. Dia kekasihnya Jesy. Umur Jesy dan Amora 23 mereka Cuman beda setahun. Ada rasa kecewa pada pria yang selalu ia sebut kakak ipar. Pria ini dan sahabat-sahabatnya menjadikannya bahan taruhan. Luka itu seperti kembali menganga.

Tapi ia merasa bersalah, melihat sahabatnya mengorbankan hubungan mereka. Gara-gara dirinya hubungan kedua pasang kekasih ini juga renggang. Ia tahu Jesy sangat mencintai Revan.

"Udah satu minggu kamu jauhin aku Je, please dengar penjelasan aku," ujar Revan mengusap wajahnya frustasi.

Dwi mendesah berat. Cukup ia saja yang merasakan sakit, Jesy tak boleh mengorbankan hubungan percitaan hanya karena masalahnya.

"Je, ikut Revan please, kalau kamu kayak gini, aku rasa bersalah banget," ujar Dwi menatap Jesy dengan keyakinan dan rasa bersalah.

"Selesain masalah kalian, aku tahu kamu sangat mencintai kak Revan. Aku tak apa-apa, jangan korbanin hubungan kalian, aku bakal marah."

Dwi bersuara tak mau hubungan mereka hancur karena dirinya. Jesy memang keras kepala dan mementingkan sahabatnya. Memang mereka bertiga sama-sama keras kepala. Ia tidak ingin merusak kebahagian Jesy. Revan cowok baik, walau ia sedikit kecewa.

"Tidak mau Wi, nanti kamu sama siapa di sini? Mora aja udah pergi cari temannya."

Dwi mendesah malas. Ia bukan anak kecil lagi, walau tubuhnya terlihat kecil. Ia bisa mencari jalan pulang.

"Aku tidak apa-apa kok Jes, tadikan Amor bilangnya tidak lama, kamu dahulu aja sama kak Revan, selesain masalah kalian, aku nunggu Amora."

Dwi tersenyum meyakinkan. Dwi rasa Revan cinta mati dengan Jesy. Pria itu terlihat tidak baik-baik saja. Ia yakin Jesy begitu lama mengacuhkannya.

"Tega kamu Wi, nyerahin aku gitu aja, tidak sejati jadi sahabat."

Dwi hanya tersenyum tipis, remang-remang lampu disko membuat kepalanya pusing.

"Ya, udah hati-hati, aku udah kirim pesan ke Amor. Kamu tunggu di sini aja, jangan kemana-mana oke!" seru Jesy hanya dijawab dengan anggukan kecil dari Dwi.

"Sebelum itu makasih dan maaf. Aku bakal jelasin semuanya nanti." Dwi hanya mengangguk lagi. Mau menjelaskan seperti apapun ia telah kecewa. Kaca yang telah pecah tidak mungkin menjadih utuh lagi.

Revan menarik Jesy pergi meninggalkan Dwi sendiri di tengah lautan manusia. Bohong jika ia merasa tidak apa-apa. Nyatanya ia begitu takut di sini. Ia seperti terjebak di belahan dunia lain. Ia seperti itik yang ditinggal induknya. Dwi merasa jenuh menunggu Mora. Ia juga merasa risih pada pria yang duduk di sampingnya. Sejak tadi menatapnya seakan menelanjanginya. Benar kata orang di tempat seperti ini memang banyak pria nakal. Merasan haus Dwi memesan minum pada bartender di hadapanya. Satu kali tegukan membuat Dwi mengerutkan keningnya, wajahnya dibuat jelek. Minuman ini aneh. Dwi merutuki dirinya yang tiba-tiba merasa panggilan alam.

"Duh kebelet pipis lagi, toiletnya bagian mana ya?" Dwi berlalu begitu saja, ia butuh buang air kecil sekarang. Dwi mendengus malas. Ia melangkahkan kakinya sembarangan arah. Ia benar-benar tidak tahu di mana letak toilet. Dwi bodoh amat, malu bertanya sesat di jalan, dari pada pipis di celana. Kebetulan ada mbak cantik lewat.

"Maaf mbak mau nanya, toiletnya di mana ya?" Tanya Dwi dengan raut muka dibuat seperti orang hilang arah. Benar dirinya hilang arah. Lalu entah mengapa tubuhnya seperti terbakar panas. Entah apa yang telah terjadi?

Mbak itu menatap Dwi aneh, dari ujung kaki sampai kepalanya. Dwi menatap dirinya sendiri.Celana jeans hitam sama baju kaus putih, tulisan smile dipadu jeket hodi warna hitam, rambut hitam panjang sepinggang ia gulung keatas semua. Lalu kakinya memakai sepatunya putih.

Dwi mendengus malas memang murah semua yang ia pakai, anak kos anak rantau seperti dirinya sederhana saja. Apaadanya. Memang aneh dandananny,a cewek-cewek di sini pakaiannya terbuka dan seksi. Berbanding jauh. Seperti mbak ini, memakai gaun hitam dengan belahan di dadanya yang menyembul. Astaga, ia sendiri merasa malu.

"Adek nyasar ya? Lurus aja terus nanti belok kiri," ujar mbak itu, lalu pergi, sebelum ia ucapkan terimakasih.

Dwi bodo amat ia segera berlari kecil menju arah yang mbak itu tunjukkan. Apalagi matanya tak sengaja menangkap sosok pria yang tadi duduk di sebelahnya. Ia takut pria itu akan melecehkannya. Ditambah tubuhnya makin memanas. Ini aneh.

Sepanjang lorong matanya yang polos ternista oleh pemandangan tak senonoh. Dwi merasa malu melihat cewek dan cowok berciuman sembarangan. Dwi menutup mulutnya. Benar-benar tidak tahu tempat. Tapi karena hal itu ia makin merasa panas. Tubuhnya seperti menginginkan sentuhan. Apalagi dengan jelas Dwi menatap baju perempuan itu telah melorot.

Astaga apa orang-orang ini akan bercinta di sini? Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu? Urat malu mereka dikemanakan? Dunia malam yang begitu mengerikan.

Dwi merutuki tingkah kedua pasangan itu, ia berjalan cepat-cepat menunaikan kebeletnya. Ia janji tidak akan datang lagi ke sini. Matanya benar-benar ternodai. Tubuh Dwi makin merasa aneh. Ia ingin sebuah sentuhan. Entah minuman apa yang telah ia minum tadi. Baru saja ia keluar dari pintu toilet. Dwi Berhenti memegang tembok, menahan tubuhnya yang hampir terjatuh. Tapi semua itu tak berlangsung lama saat tangan mungilnya ditarik oleh cowok tinggi yang tidak ia kenal. Wajahnyapun tak kelihatan karena lampu yang remang-remang.

"Lepasin, mau apa kamu? Lepasin aku bilang." Dwi berusaha menolak cowok asing yang sedang berusaha menyentuhnya. Tapi tubuhnya bahkan tak ingin menolak. Entah bagaimana mereka bisa sampai di sebuah kamar. Kesadaran Dwi makin menghilang. Kedua insan manusia berbeda jenis itu sama-sama dalam pengaruh obat. Tangan pria itu terus menjelajahi tubuhnya, menyentuhnya dengan penuh gairah hingga membuka paksa pakaian Dwi.

Dwi memekik kuat saat sesuatu menembus masuk selaput keperawanannya. Mungkin esok pagi ia akan sadar, dirinya sudah rusak, hancur sehancur-hancurnya. 

Cinta Perempuan BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang