Bab 9

9 2 0
                                    

"Ca. Will you marry me?" ucap Taison pada Ica. Lelaki blasteran amerika tersebut menekukan kaki dengan tangan memegang cincin menatap Ica penuh harap.

Gadis tersebut nampak kebingungan. Ia melirik sekitar. Dimana kini orang orang berkumpul mengerumuni nya.

Ica tak bisa menolak. Harga diri Taison berada pada ucapannya sekarang. Namun tak dapat di tampik. Dalam hati, gadis itu masih bergejolak ingin menolak.

"Ca?" panggil Taison. Ica menoleh ke bawah. Dimana Taison masih setia menekukan kaki. "Taison. Kamu ... apa-apaan ini?" tanya Ica bergumam kesal.

"Please answer my question," ucap Taison berucap. Teriak 'terima terima' menggema di indera pendengaran Ica.

Seolah di paksa keadaan. Spontan Ica mengangguk menginyakan.

Taison dengan senyum mengembang di wajah lantas bangkit akan memeluk Ica. Segera sebelum Ica menjadikan telapak  tangannya tameng pada dada. "Bukan muhrim," ucap Ica pelan tanpa ekspresi. Menghiraukan ucapan Ica. Lelaki berbadan tegap tersebut malah berucap  'terima kasih terima kasih' pada Ica. Gadis itu masih terpaku di tempatnya.

"Aarif," lirih nya.

Di beda tempat. Seseorang terbangun dari mimpi panjangnya. Pada lengannya infusan menempel di sana.

.

Ica berjalan beriringan bersama Taison menyusuri Pentle Bay,  menikmati pemandangan pasir putih, rerumputan berpadu dengan samudera berwarna biru toska yang dipenuhi titik-titik pulau kecil.

Deburan ombak dan siulan burung menambah kesan romantis pada kedua pasangan yang baru saja jadian.

Kencangnya angin membuat gamis dan kerudung Ica menyingkap dan itu berhasil membuat Taison terpesona. Keindahan wanita Muslimah terasa begitu nyata di hadapannya.

"Bagaimana dengan keluarga mu?" tanya Ica spontan. Taison mengerutkan dahi. "Apa mereka tau kamu mau masuk islam?"

"Keluarga ku Atheis. Mereka tak mempercayai adanya tuhan."

"Jika mereka tau salah satu anggota nya percaya bagaimana?"

"Mereka tak kan memperdulikannya."

Ica membalikan badan menjadi menghadap Taison. "Jika aku adalah katholik bukan islam. Masih maukah kamu masuk agama ku?"

Seketika Taison terdiam. Mereka hening menikmati sepanjang mata memandang biru laut dan siulan burung.

"Hidup di lingkungan yang tak mempunyai tuhan apa kamu pernah memikirkan bagaimana rasa nya?" Alih alih menjawab pertanyaan Ica. Kini Taison malah berbalik bertanya.

"Tak berarah," jawab Ica singkat.

"Benar. Tak berarah. Seperti itulah kehidupannku 21 tahun ini," jeda Taison. "Namun setelah mengenal mu. Ah, tidak. Tetapi setelah aku mengenal islam kurasakan kedamaian. Ca. Mengenal Islam lebih dulu sebelum aku mengenal kamu. Hanya mengenal nya sebagai karakter dari tetangga di sebelah rumah ku. Ucapannya yang sopan, pakaiannya, dan remang remang suara bacaan kitab nya."

Ica melirik Taison sebentar. Lelaki itu tersenyum ke arah Ica namun segera Ica memalingkan muka. "Ajari aku islam. Biarkan aku mempunyai identitas."

Diam. Mereka sama-sama menyelami pikiran masing-masing.

"Ini sudah sore sekali. 15 menit lagi maghrib aku mau shalat." Ica berpamian pada Taison. Mendahului langkahnya seperti tadi.

"Aku tau kamu tidak mencintai ku. Maap. Aku egois memaksamu ikut andil pada diri ku."

.

Indonesia. 01 Februari

"Kau temukan?" tanya lelaki itu bersemangat. Namun seseorang yang di tanya tersebut menggeleng pelan. "Cari lagi. Belum dapat jangan temui aku," ucap nya sarkas membuat orang tersebut terperajat. "Kenapa masih di sini. Pergi sana!"

"Baik."

Menghela nafas pelan. Orang yang sedari menemani lelaki itu pun berkata. "Sudahlah. Kau sendiri yang memutuskan untuk tidak menghubungi nya kenapa harus repot-repot mencari nya."

"Aku tidak merasa kerepotan."

"Ah?sudah lah. Kurasa Arif yang ku kenal sudah tiada saat koma."

Pasangan Dari SosmedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang