Jeff masih sibuk berkutat dengan masakannya setelah Nana datang dan duduk di meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Kedua tangannya terlipat di atas meja dan menatap punggung lebar kakaknya yang berdiri membelakanginya. Mengamati dalam diam setiap gerak-gerik Jeff yang berjalan ke sana kemari.
"Perlu bantuan, Jeff?"
"Tidak! Diam di sana dan jangan menggangguku!"
Nana merengut di tempatnya. Lalu ia memilih untuk berkutat dengan ponselnya. Koneksi internet di sini tidak sebaik saat di kota. Tapi ia bersyukur setidaknya provider yang dipakainya masih berfungsi normal meski garis sinyalnya hanya beberapa.
Sejujurnya ia sedikit bosan setelah meninggalkan kehidupan sosialnya di kota. Meninggalkan kedua sahabatnya dan mengganti nomor ponselnya sendiri demi keamanan.
Jeff adalah tipikal pria protective, dan itu sedikit menyebalkan. Jadi diam-diam Nana masih sering bertukar pesan dengan kedua sahabatnya melalui aplikasi chatting.
Dan saat ia sedang sibuk mengetik di ponselnya, Jeff berdiri di depannya dengan sepiring sarapan membuat gadis itu menyembunyikan ponselnya dengan tiba-tiba.
Sejujurnya ia takut dimarahi jika ketahuan. Jeff menyeramkan jika murka.
"Kau tak akan percaya jika kakakmu ini memang pantas menjadi koki bintang lima"
"Dalam mimpimu! Kau masih kalah jauh dari Bubumu itu, Jeff. Masakan Bubu memang yang terbaik dari yang terbaik"
Kini giliran Jeff yang cemberut di kursinya. Ia baru saja meletakkan sepiring egg chiffon di meja makan dan sepiring nasi di hadapan adiknya.
Pria itu berharap jika adiknya akan memuji masakannya. Tapi si bungsu itu nampaknya sampai kapan pun akan selalu menjadi adiknya yang menyebalkan.
"Kau menyebalkan sekali!"
Nana terbahak dengan keras sebelum akhirnya memilih untuk menyendokkan sarapan paginya kali ini.
Jika boleh jujur, masakan Jeff sebenarnya tak kalah enaknya dengan masakan calon kakak iparnya itu. Hanya saja, yang menjadi pembeda adalah masakan kekasihnya jauh lebih mewah dibandingkan dengan masakan Jeff yang sederhana.
"Jeffie, aku lebih suka daging ham daripada sosis. Kau tahu itu"
"Diam dan makan saja!"
"Cih, pelit"
Nana merengek dan mencibir dengan lirih. Lalu menutup mulutnya rapat-rapat saat melihat Jeff telah bersiap untuk memukulnya dengan sendok terangkat. Melotot pada si bungsu sebagai isyarat untuk diam. Seolah menantang si bungsu untuk terus saja bicara jika ia berani, dan lihat apa yang akan Jeff lakukan padanya setelahnya.
Jeff bukannya tah tahu apa yang disukai adiknya itu. Tapi di kulkas hanya tersedia beberapa makanan yang mudah di olah karena Jeff belum sempat belanja bahan makanan yang lain. Mereka berdua baru saja pindah rumah kemarin.
Bahkan box-box besar berisi barang-barang mereka masih berserakan di lantai satu. Belum dibongkar sama sekali kecuali box yang berisi kebutuhan mendasar seperti baju, peralatan mandi, peralatan makan, dan perlengkapan tidur seperti selimut dan bantal.
Mereka berdua seharian kemarin terlalu sibuk membersihkan debu di rumah tua peninggalan mendiang neneknya. Dan mereka kelelahan hingga akhirnya memilih menunda pekerjaan mereka untuk beristirahat sebelum melanjutkannya kembali hari ini.
"Jeff.."
"Hmm?"
Nana menatap Jeff dengan menyesal dan diliputi rasa bersalah saat melihat si sulung harus memakan sarapan paginya dengan setumpuk berkas perusahaan yang harus diperiksanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Forest of Destiny | Nomin ✔
FanfictionDi malam pembantaian berdarah itu, seharusnya ia mati bersama seluruh penghuni rumah. nomin-jaeyong-jaejae-2jae