Sosok rupawan bersurai pirang itu berjalan dengan punggung tegap memasuki istananya. Melewati lorong panjang dengan membawa Nana di dalam gendongannya. Manik jelaganya tidak lepas menatap gadis itu yang kini berada di lengannya. Terkulai lemas di dalam pelukannya.
Obor api yang terpasang di tiap sudut menyala secara otomatis tiap langkah sosok rupawan itu berjalan melewati lantai istana yang dilapisi karpet berwarna merah gelap.
Pintu kamar utama pun terbuka dengan sendirinya. Di tengah ruangan yang sangat luas itu terdapat ranjang berukuran besar yang diselimuti kain sutra berwarna maroon. Kelambu tipis berwarna senada terpasang di setiap tiang yang ada di sudut ranjang kamar itu.
Jeno meletakkan belahan jiwanya dengan pelan di atas ranjang lalu duduk di sampingnya. Memperlakukannya bak barang mahal yang harus diperlakukan hati-hati jika tidak ingin pecah berkeping. Lalu Jeno menatapnya dengan sayang dan memejamkan matanya sejenak.
Ketika ia membuka mata, manik jelaga itu berkilat. Simbol di bawah mata kanannya menyala seperti bara api. Demikian pula simbol yang ada di bawah mata kiri Nana. Sedetik kemudian, kedua simbol itu meredup dan kembali menghitam seperti semula.
Dalam sekejap, gaun tidur Nana telah berubah menjadi gaun panjang berwarna putih yang memiliki detail mutiara di bagian leher. Bahkan surai pink pudar itu juga berubah menjadi hitam pekat. Di atas kepalanya terdapat flower crown yang terbuat dari permata dan berlian. Berkilap cantik saat sinar matahari masuk melalui jendela dengan perlahan.
Tubuhnya bercahaya dan secara perlahan rona kehidupan telah kembali pada wajah cantik itu. Bibir ranum pucatnya berubah warna menjadi sewarna darah. Sama persis seperti milik Jeno.
Sosok rupawan itu menatap Nana lekat, tersirat penuh kerinduan di balik sepasang netra jelaga milik Jeno. Ia tidak pernah menyangka jika wanitanya akan kembali padanya dan tumbuh dewasa secantik dewi.
Jemarinya terulur untuk menyentuh kulit halus Nananya. Menyusuri dari pelipis, turun ke pipi, lalu berakhir di bibir ranum yang terkatup rapat. Ibu jarinya mengusap bibir itu dengan lembut. Membuat manik jelaganya berkilat sekali lagi.
Perlahan sosok rupawan itu mendekatkan wajahnya pada Nana. Mencium bibirnya dengan lembut dan memejamkan mata. Menjauhkan dirinya kembali lalu menyentuh pipi Nana dengan punggung tangannya.
"Bangunlah, sayang. Aku sungguh merindukanmu"
Bak mantra sihir. Nana pun membuka matanya perlahan. Menatap langit-langit dengan pandangan kosong dan terdiam beberapa saat sebelum telinganya mendengar suara lain di sampingnya.
"Selamat pagi. Bagaimana tidurmu?"
Si cantik menoleh dan mendapati sosok rupawan bersurai pirang yang tersenyum manis padanya. Matanya menutup dan melengkung ke bawah persis seperti bulan sabit. Sedangkan Nana masih memproses apa yang terjadi. Dan dimana ia berada. Hingga akhirnya perlahan ia menyadari siapa yang duduk di sampingnya.
"Jeno?"
"Kau mengingatku, sayang?"
"Ya. Aku ingat. Aku benar-benar merindukanmu, Jeno!"
Nana memeluk tubuh Jeno dengan erat. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sosok rupawan itu dan menumpahkan air matanya di sana. Ia menangis dan terisak hebat. Membuat sosok rupawan itu terkekeh dan mengelus punggung wanitanya dengan lembut.
"Kenapa menangis hm?"
"Aku rindu, Jeno. Kenapa kau jahat sekali padaku?"
Sosok rupawan itu mengecup pelipis Nana berkali-kali dan membalas pelukannya tidak kalah erat. Memejamkan matanya seolah-olah menikmati kehangatan dari pelukan sang pujaan hati setelah sekian lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Forest of Destiny | Nomin ✔
FanficDi malam pembantaian berdarah itu, seharusnya ia mati bersama seluruh penghuni rumah. nomin-jaeyong-jaejae-2jae