Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 3 dini hari saat Jeff terbangun dari tidurnya karena suara guntur yang menyambar dari kejauhan. Di luar sana sedang hujan badai disertai suara petir yang memekakkan telinganya yang memang sensitif terhadap suara.
Saat ia menolehkan kepalanya ke samping, Jeff tak menemukan keberadaan adiknya di sana. Ranjang di sebelahnya masih terasa hangat. Itu artinya si bungsu baru saja turun dari ranjangnya.
Dengan tergesa ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Mencari keberadaan adiknya di setiap sudut rumah yang entah mengapa malam ini terasa dingin mencekam. Hawa mistis di rumah itu seolah mengalahkan hawa dingin akibat hujan badai di luar sana. Dan ia dibuat panik saat tak mendapati adiknya dimanapun.
Satu-satunya tempat yang belum ia tuju adalah gudang belakang rumahnya. Setelah menyambar jas hujan di dekat pintu belakang, Jeff berlari keluar dengan sebuah senter di tangan dan menyoroti halaman belakang rumah tua neneknya yang gelap meski lampu taman telah diletakkan di beberapa titik.
"Nana?!"
Jeff berteriak memanggil si bungsu dengan keras karena suaranya yang teredam oleh hujan. Berkat rumah tua neneknya yang tidak memiliki pagar ia bisa melihat bayangan seorang gadis di bawah hujan yang terus berjalan ke arah hutan.
"Brengsek! Nana berhenti!"
Jeff berlari mendekati sosok gadis itu yang ia yakini adalah Nana adiknya. Gaun tidur berwarna pink muda itu adalah gaun tidur yang sama yang digunakan si bungsu malam ini. Jeff ingat betul karena Jeff yang membuat adiknya mengganti gaun tidurnya dengan yang baru setelah membuat gadis itu terjatuh di atas lantai dapur karena air sabun.
"Nana! Kumohon berhenti!"
Saat jarak keduanya hanya terpaut beberapa meter akhirnya gadis itu berhenti dan berbalik.
Mata coklat rubahnya terlihat kosong saat menatap Jeff. Dan Jeff harus mati-matian menelan ludah sendiri karena tak tahu harus berbuat apa.
"Nana, it's me. Comeback, baby. Let's go home"
"..."
"Nana, please say something"
"..."
Gadis itu masih diam di tempat. Manik madunya masih menatap kosong ke arah Jeff yang mengulurkan satu tanganannya.
Jeff berinisiatif untuk berjalan mendekat dengan perlahan. Namun tiap langkah yang ia ambil justru membuat Nana melangkah mundur dan memasuki area hutan lebih dalam.
Pria itu mulai habis kesabaran. Ia berlari dan hendak menerjang tubuh adiknya namun sayang hal itu justru membuat Nana berbalik dan berlari semakin kencang ke dalam area hutan. Jeff dibuat panik. Mereka berdua bisa saja tersesat lebih dalam jika Nana tak kunjung berhenti berlari.
"BABY NA!!"
Panggilan itu berhasil membuat Nana berhenti berlari. Gadis itu berbalik dan menatap sendu ke arah Jeff. Tatapannya tak lagi kosong dan itu membuat si sulung lega setengah mati. Sedangkan Jeff membalasnya dengan tersenyum lembut sembari berjalan mendekat dengan perlahan.
Itu adalah panggilan kesayangannya yang diberikan oleh Jeff saat Nana masih bayi. Dan kedua orang tuanya ikut memanggilnya dengan nama itu meski Nana telah beranjak dewasa sekalipun. Jeff bahkan terkadang masih memanggil Nana dengan nama itu.
"Baby Na"
"..."
"Let's go home, Baby Na"
"J-jeff?"
"Yup. It's me, Baby"
"Jeffrey??"
"Yeah. I'm here"
Jeff semakin memelankan langkahnya mendekati Nana. Tinggal beberapa langkah lagi Jeff dapat mengjangkau adiknya.
"Jeffie???"
"I got you, Na! I got you!!"
Jeff berhasil menarik tubuh basah kuyup itu dan merengkuh adiknya ke dalam pelukan. Suhu tubuh Nana benar-benar turun drastis. Bagaimana bisa adiknya berlari ke tengah hutan dengan kaki telanjang di bawah hujan badai seperti ini?
Tak ingin berlama-lama lagi di dalam hutan, Jeff menarik sang adik untuk ikut dengannya kembali ke rumah. Jemarinya menggenggam pergelangan tangan Nana dengan kencang. Ia tak ingin adiknya lari lagi. Setelah malam ini selesai, ia akan membawa adiknya pergi menjauh dari area hutan. Jika perlu ia akan membawanya pergi dan hidup di seberang benua.
Seharusnya Jeff mengingat apa yang dikatakan Neneknya lebih cepat.
Saat melihat Nana berjalan ke arah hutan Jeff baru ingat jika Neneknya pernah berkata jika hutan di belakang rumah itu memiliki sesuatu yang berbau mistis.
Dan sebelum akhirnya kedua orang tuanya memilih untuk pindah dan hidup di kota bersama Jeff dan Nana, sang nenek pernah bertitah untuk tidak membawa Nana kembali ke rumahnya atau mendekat ke area hutan ini apa pun yang terjadi.
Jeff yang saat itu masih kecil tidak begitu ingat apa yang dikatakan oleh para orang dewasa itu.
Dan kenangan samarnya itu baru teringat kembali olehnya beberapa saat yang lalu.
Na..
Jeff ikut berhenti melangkah saat adiknya yang berjalan di belakangnya berhenti di tempat. Membuat Jeff kembali menoleh ke arah si bungsu.
Nana..
Gadis itu menoleh ke belakang. Ke arah sumber suara yang terus memanggilnya sepanjang malam.
Nana, jangan pergi..
Mendengar namanya yang lagi-lagi dipanggil membuat Nana mencekal tangan Jeff dari pergelangan tangannya dan hendak berlari menghampiri sumber suara itu.
Kemarilah. Kembali padaku, Na..
Jeff berhasil menangkap kembali sang adik dan memeluknya dari belakang dengan erat. Tapi tubuh Nana terus meronta dengan kekuatan besar yang tak masuk akal membuat Jeff kalang kabut.
"NANA SADARLAH! ADA APA DENGANMU?!"
Jeff berteriak di tengah usahanya yang terus menahan rontaan adiknya. Sedangkan si bungsu itu kini menangis dan memohon padanya agar ia dilepaskan.
"Lepas, Jeffie! Ia membutuhkan ku di dalam sana! Ia terus memanggilku! Aku harus segera ke sana!"
Rahang Jeff mengeras. Mendengar apa yang dikatakan adiknya membuat Jeff mengingat satu nama yang selalu disebut oleh adiknya ketika si bungsu masih berusia 6 tahun.
Satu-satunya teman imaginer yang sering diceritakan adiknya dulu yang kini Jeff yakini jika keberadaannya memang nyata. Bukan sekedar hayalan semata dari seorang bocah.
"JENO BRENGSEK! LEPASKAN ADIKKU!"
Teriakan Jeff menggema di dalam hutan. Dan angin badai semakin kencang berputar di sekeliling mereka. Membuat ranting-ranting pohon lebat itu saling bergesekan dan menerbangkan beberapa daun kering ke arah mereka. Suara burung gagak saling bersahutan di dalam hutan. Mereka terbang berputar tepat di atas kepala mereka.
Kabut tebal mulai turun di area hutan. Suara guntur masih saling bersahutan meski hujan telah berhenti secara tiba-tiba. Jeff merinding ketakutan saat kabut tebal itu menghalangi pandangannya. Ia mencengkeram adiknya semakin kuat. Tak peduli jika lengan adiknya itu akan terluka.
"Jadi kau tahu namaku ternyata. Jeffrey?"
Asap hitam pekat muncul di tengah-tengah kabut bersamaan dengan sebuah suara yang terdengar dari arah belakang. Jeff refleks menoleh ke sumber suara dan ia melihat jika sosok bersurai pirang itu berdiri di sana dengan jubah hitamnya.
Dan ia yakin sosok itulah yang bernama Jeno. Sosok berambut kuning yang selalu digambar oleh si bungsu di buku gambarnya.
TBC
Kes, 180720
KAMU SEDANG MEMBACA
The Forest of Destiny | Nomin ✔
FanfictionDi malam pembantaian berdarah itu, seharusnya ia mati bersama seluruh penghuni rumah. nomin-jaeyong-jaejae-2jae