Chapter 2 - PDKT

13 1 0
                                        

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Marsha untuk dekat dengan dokter. Kalau setiap hari dia dichat dengan berbagai rayuan, diperlakukan dengan lembut, ditraktir bila bertemu dan dijemput kemanapun dia mau. Tentu saja saat dokter tidak sibuk. Dokter itu tidak sungkan-sungkan menunjukan rasa sukanya. Berbeda dengan anak muda kebanyakan yang memiliki gengsi dan malu-malu. Bahkan soal urusan cinta.

Selain dari kejadian di kampus malam itu. Dokter sebenarnya tidak pernah menodong apa-apa. Tidak pernah memaksa. Tidak melakukan apapun yang akan membuat Marsha lari. Dan Marsha itu jomblo akut yang dengan mudah termakan pujian. Jadi jangan salahkan kalau dia mulai menyukai dokter Oscar.

Menurut informasi, dr. Oscar akan mulai menjadi dokter pemimbing untuk jurusan kedokteran dan forensik pada semester depan yang tidak lama lagi. Di kampusnya gedung jurusan kedokteran dan hukum bersebelahan. Sedangkan saat ini, dr. Oscar masih tetap praktek di rumah sakit swasta dan rumah sakit negri yang juga berdekatan dengan kampus. Rumah sakit itu menjadi tempat calon-calon dokter yang membutuhkan tempat praktek. Walaupun kebanyakan dari mereka hanya bertugas mengawasi dan mengamati dokter ahli yang bekerja.

Kemudian malam itu, Marsha sedang melakukam kegiatan pengabdian masyarakat. Mirip seperti bakti sosial yang harus dilakukan diluar kampus. Kali inipun tempatnya berada sangat jauh dari rumahnya. Marsha melihat google maps yang menunjukan bahwa dia akan sampai rumah dalam dua jam. Bukan karena macet, tapi karena terlalu jauh. Kini dia melihat jam di daskboard mobilnya. 1:40 malam.

Kalau dia pulang, hanya tersisa waktu kurang dari dua jam sebelum dia harus kembali lagi ke tempat itu jam 6 pagi. Sedang, kalau dia memutuskan untuk tidur di mobil, dia mempunyai waktu empat jam untuk tidur. Tapi dia juga memiliki resiko ditodong, atau mati menghirup oksigen dalam mobil. Bukannya dia pernah membaca kalau udara dalam mobil bahaya?

Pikiran lain terbesit di kepalanya, dr. Oscar tinggal di daerah sana bukan? Dia mencoba menelpon dokternya itu, yang dijawab pada dering ke tiga. Tanpa sungkan Marsha menyatakan tujuannya. Sepuluh menit kemudian, mobilnya sudah masuk pekarangan rumah kontrakan dokter.

Mari kita perjelas lagi kejadian ini. Dokter belum lama ini pindah ke kota yang ditinggali Marsha. Bukan pindah dari desa ke kota, justru sebaliknya. Tapi setelah seminar itu, dia memutuskan untuk tinggal di kota Marsha. Bukankah itu romantis?

"Kamu tidur di kamar saja, biar saya yang tidur di sofa." kata dokter.

"Eh, jangan. Saya tidur di sofa juga gapapa." jawab Marsha sungkan. Sebetulnya kontrakan dokter punya dua kamar, tetapi yang ada kasurnya hanya satu. Mungkin karena dia berpikir hanya tinggal sendiri.

"Gapapa. Kamu capek. Jam berapa saya bangunkan kamu?" tanya dokter menutup diskusi tentang siapa yang memakai kamar.

"Saya akan bangun sendiri jam 5." jawab Marsha.

Kemudian dia masuk ke kamar, saat mendengar. "Kunci pintunya ya." kata dokter memperingatkan.

Setelah memberi kabar pada orangtuanya bahwa Marsha akan menginap, dia berangsur naik ke kasur. Dia bisa menghirup aroma yang maskulin dari kamar itu, seperti bau peralatan mandi pria yang biasanya rasa mint, atau dari parfum yang berbau tembakau dan kayu-kayuan. Baunya juga tercampur bau klinis khas dokter. Marsha mebenamkan wajahnya di batal yang terasa bersih itu sekilas, dan menarik selimut. Dia merasa nyaman. Entah karena terlalu capek dan ngantuk, atau karena merasa aman dan nyaman. Marsha tertidur dengan cepat.

Ketukan pintu membangunkan Marsha dari tidurnya yang nyenyak. Dia merentangkan tangannya dan memanjangkan kakinya untuk mengulat. Ketukan itu terdengar lagi membuat Marsha mengerang kesal.

"Marsha. Sudah bangun?" Marsha membuka matanya. Jam berapa ini? Dia berjalan ke untuk melihat hpnya. 5.40 pagi. Ketukan terdengar lagi.

"Iya." jawab Marsha. Sial. Dia lupa menyetel alarm.

"Saya buatkan sarapan." kata dokter, yang kemudian berlalu dari pintu.

Marsha dengan cepat menyisir rambutnya dengan tangan, sebelum melihat sisir.

"Pinjam ya," bisiknya pada dokter yang tentu saja tidak dengar. Kemudian dia membersihkan belek yang mungkin ada di matanya dengan tangan, dan menggosok mukanya agar hangat. Setelah melihat wajahnya layak tampil, Marsha keluar dari kamar merasa agak sungkan.

"Maaf saya terlambat bangun." kata Marsha. "Lupa pasang alarm."

Dokter tersenyum. "Saya sudah bangunkan kamu dua kali. Kayaknya alarm juga tidak akan mempan."

"Beneran?" Marsha lalu menoleh ke jam yang ada di ruang tamu. "Saya juga harus pergi sekarang."

"Gak mau sarapan dulu?" tanya dokter.

Marsha menggeleng. Bukannya tidak mau, tapi tidak sempat. Kalau dia makan, mereka pasti akan mengobrol.

"Kalau gitu saya siapkan tepak aja, biar kamu bisa makan kalau sempat. Lagian saya sudah masak. Kamu siap-siap sana." perintahnya.

Kali ini Marsha mengangguk dan tersenyum. "Makasih, dok." ucapnya tulus.

-----------------------------------------------------------
Add this story to your library, vote and follow me. 😽

Love YourselfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang