Chapter 3 - Jadian

8 1 0
                                    

Setelah beberapa bulan mendekatkan diri. Dokter merasa bahwa sudah saat yang tepat bagi dia untuk nembak Marsha. Sebetulnya dia lebih suka kalau hubungan mengalir saja seperti air, tanpa harus memisah-misahkan, tanpa perlu babak, tanpa tanggal. Tapi dia merasa kalau Marsha merupakan wanita yang cukup tradisional untuk anak seumurnya. Sehingga dia harus melakukan hal ini untuk mendapatkan apa yang dia mau.

Sejujurnya dia tidak hanya tertarik dengan wajah perempuan itu yang cantik, dengan kombinasi badan yang sangat menarik. 34-26-36. Dokter tidak harus mengukur menggunakan alat untuk tau. Dia bahkan bisa menebak mangkuknya dengan tepat, D. Matanya berbentuk seperti almond walaupun tidak memiliki bulu mata lentik, hidungnya kecil dengan ujung yang bulat, dan bibirnya lembut dengan bibir bawah yang lebih plump. Rambutnya lurus sebahu, tapi agak bergelombang mengikuti modelnya. Tapi yang membuatnya langsung menargetkan wanita itu adalah karena sifatnya yang ekspresif. Tipe yang biasanya agresif dan reaktif, terutama di kasur.

Dokter menjemput Marsha di rumahnya. Dia beralasan mau merayakan pekerjaannya di kampus. Padahal dia tau bahwa itu bukan prestasi besar yang perlu dirayakan dibandingkan dengan apa yang dia punya. Marsha juga tau itu. Tapi dia tetap mengikuti permainan dokter. Mereka memutuskan untuk makan di restauran yang masih ada di sekitar sana, 20 menit kendara. Restauran itu memiliki balkon, dengan desain yang nyaman dengan nuansa coklat. Tidak banyak tamu yang ada di sana. Marsha yang memilih tempat duduk, di dalam ruangan. Resiko duduk di balkon adalah adanya perokok. Lagi pula tidak ada menara eiffel atau liberty yang bisa dilihat. Tidak perlu duduk balkon.

Dokter memutuskan untuk 'nembak' Marsha setelah mereka selesai makan. Setidaknya mereka tidak perlu menghadapi situasi canggung, kalau saja dia ditolak. Walaupun kemungkinan itu sangat kecil, melihat bagaimana wanita itu cukup nyaman digandeng oleh dokter. Mereka mengobrol menghabiskan waktu yang terasa tidak ada habisnya. Hingga waktunya tiba, dokter menyatakan 'perasaan'nya, dan menanyakan kesediannya. Marsha tanpa malu-malu lagi mengiyakan ajakan itu.

"Jadi sekarang, saya sudah bisa pakai aku-kamu?" godanya.

"Dari dulu juga bisa," jawab Marsha.

"Kamu tau kenapa aku pakai 'saya'?" tanya dokter. Marsha menggeleng. "Karna kamu yang mulai."

"Masa sih dok?" tanya Marsha terkikik.

"Kamu juga bisa berhenti manggil aku pakai 'dokter'. Panggil nama aja."

"Gak mau, ga sopan." balas Marsha.

"Isn't Oscar is a better name to moan to, rather than 'dokter'?"

"Dokter juga enak." jawab Marsha keceplosan. Aduh, kenapa juga dia mengerti maksud dokter mesum ini?

Dokter hanya tersenyum, "It's up to you then."

Sesampainya di rumah, Marsha tambah berbunga-bunga. Maklum dokter ini pacar pertamanya, naas memang. Dia baru pacaran di usia 20 tahun, lalu pacaran dengan om-om pula. Saat di mobil tadi adalah saat paling mendebarkan sepanjang hidupnya. Bahkan bukan hatinya saja yang berdebar-debar, seluruh badannya juga merasakan pacuan jantungnya. Dokter menciumnya, di pipi, dan hanya sepersekian detik. She doubt it's even one. Tapi itu saja sudah cukup. Untuk sekarang, untuk malam ini.

"Gimana? Gimana?" suara mama tiba-tiba mengagetkan Marsha yang baru membuka pintu.

"Astaga. Mama ah!"

"Kok lama banget di mobil?" mama bertanya kepo.

"Ya kan ngobrol dulu bentar," jawab Marsha jujur. Tapi wajahnya agak memerah.

"Jadi gimana? Ditembak kan?" tanya mama lagi.

"Hmm," jawab Marsha singkat. Dia makin malu karena sudah koar-koar.

"Hmm tuh apa? Iya? Enggak?" tanya mamanya lagi.

"Iya! Dah.." jawab Marsha cepat sebelum masuk kamar. Dia masih butuh waktu untuk mencerna makanan, dan apa yang terjadi hari ini. Walaupun sebagian dari otaknya sudah menebak, sepertinya yang sebagian lagi masih terkejut.

Lama Marsha menunggu, akhirnya dokter menelepon dua jam kemudian. Marsha memang bilang untuk meneleponnya sesampainya di rumah.

"Aku sudah sampe rumah, beb." kata dokter.

"Kok ada beb nya sekarang?" tanya Marsha yang geli sendiri.

"Kamu maunya dipanggil apa?"

Oke, fix sekarang Marsha mau muntah. Tapi nyatanya Marsha hanya tertawa, sambil menjawab. "Hmm, kamu panggil aku 'beby', aku panggil kamu bear ya?"

"Kok bear, emang aku beruang?"

"Ihh.. kamu ga tau Marsha and the bear?" tanya Marsha ngambek.

"Enggak. Pasti kartun." jawab dokter di seberang sana.

"Iya. Kartun rusia gitu, nanti kapan-kapan aku tunjukin." kata Marsha. Dokter hanya tertawa mengiyakan.

-----------------------------------------------------------
Add this story to your library, vote and follow me. 😽

Love YourselfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang