Ezra masuk ke kamarnya. Dia tidak langsung menutup pintu karena jelas gadis itu belum puas mengonfrontasi segala kata-katanya. Mengindikasikan ketidak senangannya pada hadirnya Ezra di rumahnya.
Ezra sendiri tidak masalah dengan ketidak senangan Keyra sebab dia tidak datang untuk menyenangkan gadis itu. Dia di sini untuk menenangkan dirinya. Menempuh perjalanan lima jam lamanya hanya untuk membuat pikirannya tentang apa yang menimpanya.
Pria itu menghela nafasnya. Meletakkan tas yang dibawanya ke atas ranjang dan siap membongkarnya untuk mennyusun isinya. Saat itulah dia mendengar pintu kamarnya dibuka dan dia tahu siapa tersangkanya.
"Kau sungguh akan tinggal?" tanya Keyra yang sudah ada di dalam kamar.
"Ya, Key. Ayah dan ibumu meminta..."
"Aku bisa tinggal sendiri."
"Mereka khawatir."
"Rumah kami ditengah kompleks. Apa yang mereka khawatirkan? Aku baik-baik saja sendiri."
Ezra memutar tubuhnya. Menatap pada gadis yang baru dia sadari hanya memakai hotpants dan kaos kebesaran yang hampir memakan sepenuhnya tubuh rampingnya. Dengan rambut diikat serampangan untuk menunjukkan betapa jenjang lehernya. Juga betapa lembut kulit itu.
Ezra menelan ludahnya. Sungguh dia harus mengkaji ulang kenapa dia bisa ada di sini.
"Kau seorang gadis, Key," ujar Ezra memulai. Berusaha mencari kalimat yang benar untuk dikatakan pada gadis yang sangat keras kepala menolak dia tinggal di sini. "Jadi aku butuh aku untuk menjagamu. Agar kau tidak macam-macam."
Keyra mendengus. "Kau pikir aku akan mengundang temanku ke rumah untuk berpesta?"
Ezra mengurai senyumannya. Untuk pertamakalinya sejak bulan berat yang dia hadapi. Keyra memang menjadi obat atas apa yang menimpanya. Atas luka dan rasa dikhianati. Keyra selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.
"Kenapa kau tersenyum?" tanya Keyra dengan curiga.
"Kau baru saja mengemukakan apa yang bisa terjadi jika aku tidak ada. Tentu saja aku tersenyum sebab kau menambah alasan kenapa aku harus berada di sini."
Tatapan Keyra menajam. Dia siap mencabik habis pria di depannya. Yang dengan gampangnya membuat kalimat Keyra yang jelas tidak berartikan benar itu menjadi sebuah kebenaran yang tidak akan bisa ditolak.
"Itu contoh, Ezra. Contoh," tekan Keyra.
"Panggil aku paman, Key. Aku adalah pamanmu."
"Aku tidak peduli, hanya kau harus pergi dari rumah ini. Aku tidak ingin tinggal denganmu."
Ezra bungkam. Dia beberapa kali menghela nafasnya. Keyra harusnya melihat betapa kacau dirinya. Juga betapa hebat penampilannya saat ini dengan bulu-bulu halus di wajahnya yang bahkan tidak dia urus. Tapi soal kepekaan, jelas Keyra bukan ahlinya. Dia hanya ahli dalam membuat Ezra sakit kepala. Seperti yang sedang dia lakukan saat ini.
"Kenapa kau tidak ingin tinggal denganku, Key?"
"Apa?"
"Berikan aku alasan yang masuk akal. Jika aku bisa menerima alasanmu maka aku akan pergi."
"Itu karena... karena..."
"Kau tidak ingat betapa dulu kau dan aku sangat dekat. Kau selalu datang padaku dan meminta aku melakukan banyak hal untukmu. Tapi kita mulai renggang sejak kau masuk kuliah. Aku penasaran, apa perubahan itu memiliki alasan?"
Keyra menggaruk kepalanya. Jelas tidak gatal. Tapi dia butuh tempat melampiaskan frustasinya. Sesuatu yang sangat dia hafal memberontak keluar dari dirinya. Sebuah pengakuan yang seharusnya tidak pernah terlintas di kepalanya. Dia tidak bisa menyatakan apa yang akan membuat mereka berdua hancur.
Bahkan pengakuan itu akan menghancurkan keluarga mereka. Apa yang akan dikatakan ayahnya? Ibunya? Dia tidak bisa membayangkannya bahkan ngeri menyelimutinya.
"Aku hanya tidak nyaman denganmu," jawabnya seadanya.
"Aku pamanmu." Ezra menunjuk dirinya.
"Kau tidak akan mengerti."
"Tidak akan jika kau tidak mengatakannya. Harusnya jika ada sesuatu, kau katakan. Aku akan memahaminya. Jadi cobalah."
"Itu karena... karena..."
"Karena apa, Key? Jangan berbelit-belit."
"Karena..." Keyra menatap langit-langit kamarnya. Berusaha mencari kata yang tepat untuk dia suarakan tanpa mengundang banyak tanya dalam hal itu. Tanpa membuat dia terlihat lebih buruk dari apa yang sudah terlihat.
Ezra menunggu dengan santai. Melihat kegugupan gadis itu dalam menyuarakan sebuah alasan. Ezra mencoba mencari jawaban lewat mata juga tubuh ramping itu. Sayangnya tidak banyak yang bisa ditemukan selain fakta kalau gadis itu mencoba mencari berbagai alasan.
"Karena kau jelek!" seru Keyra dengan keras.
"Apa?"
"Ya. Kau jelek. Aku tidak suka memiliki paman jelek. Itu akan membuat teman-teman mengejekku."
Ezra bersedekap. Dia memiliki banyak kaca di rumahnya dan terakhir dia melihat dirinya, dia tampak masih sama. Tampan dan memiliki pesona yang tidak bisa diragukan lagi. Banyak gadis memujanya. Banyak gadis mengemis ingin bersamanya.
Lalu kenapa gadis kecil di depannya menuduh dia dengan sekejam itu? Bahwa jelek adalah alasannya tidak bisa membuat Ezra tinggal dengannya. Sungguh lelucon yang buruk.
"Jika wajah seperti milikku ini kau pikir jelek." Ezra memberikan gerakan jemarinya di depan wajahnya. "Maka wajah seperti apa yang tampan menurutmu, Key?"
Keyra mendengus. "Siapapun asal tidak wajah itu."
"Itu bukan alasan yang tepat. Jadi aku tetap di sini sampai orangtuamu kembali."
"Kau..."
"Aku akan turun untuk menemanimu makan. Jadi tunggu aku."
Ezra memutar tubuhnya membelakngi Keyra. Gadis itu hanya menghentak lantai dan segera berlalu pergi dengan ketidakpuasan di wajahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss With My Uncle | Sin #3 ✓ TAMAT
RomanceTamat di watty dan dihapus sebagian. Beli di playstore untuk versi lengkapnya *** Sudah sejak lama Keyra Andira memuja sosok Ezra Chase, pamannya sendiri. Pemujaan itu tidak hanya berasal dari betapa kagumnya dia melainkan juga dari hatinya yang dia...