Mencoba Berdamai

278 52 18
                                    

Yumna baru bangun ketika semua orang telah pergi. Rumah amat sunyi. Hanya dia seorang yang mengisi.

Tak banyak yang berubah walau statusnya berbeda. Yumna masih enggan bangun pagi.

Sesak kerap kali menyapa saat dia terjaga. Menyadari bahwa dirinya adalah satu-satunya yang menganggur, agaknya masih menyimpan luka. Bayang-bayang kegagalan, harapan yang tak kesampaian, senantiasa menari di pelupuk, mendekap kuat-kuat hingga mencipta nyeri di dada.

Yumna sendiri tak mengerti apa yang tengah menimpanya. Sebulan lalu, ketika bertemu Yasril, hatinya lega. Energi positif begitu meluap. Alhasil, dia bisa bersenang-senang setelahnya.

Akan tetapi ..., tatkala dia kembali ke kampung halaman mereka, berdiam di rumah, semangatnya lantas menguap. Kondisinya semakin parah setelah dia mengikuti suaminya.

Di sini, di rumah ini, hanya dia manusia yang tak punya pekerjaan apa-apa. Yumna berpendapat ibu mertuanya mungkin semakin membenci ketidakbecusannya. Dia merasa kecil. Takut dipandang sebagai beban dan diremehkan. Jika mamaknya sendiri secara tak langsung pernah berkata demikian, apatah lagi mamak orang lain.

Pikiran semacam itu ..., sungguh seperti virus yang menggerogoti secara perlahan. Ketika tersadar, Yumna telah menemukan jarak amat panjang membentang di antara mereka.

Yumna menatap pantulan dirinya pada cermin. Dia hanya mencuci muka dan gosok gigi. Kurus, tinggi, rata. Rambutnya berwarna kecokelatan akibat paparan sinar matahari. Tidak menarik.

Dia mendesah panjang. Berlama-lama memandang cermin sangat tidak baik untuk kesehatan mental. Gadis itu menjauh, meninggalkan kamar.

Tujuan pertama adalah mengisi perut. Seperti yang sudah-sudah, Yumna menemukan makanan di balik tudung saji. Dia menyantap amat pelan.

Setelah itu, Yumna membersihkan piring kotor. Di dekat wastafel, ada sebuah jendela besar yang menghubungkan dapur dengan kebun belakang. Yumna membuka jendela berbahan kayu tersebut.

Lahan yang cukup luas untuk menanam pisang, sayur-mayur, serta umbi-umbian. Udara segar merasuki indera penciumannya. Dia menghirup napas dalam-dalam.

Yumna tersentak saat mendengar bunyi gedebuk. Serta-merta dia mencari sumber suara, lalu menemukan batang pisang yang tumbang. Seseorang sengaja menebangnya. Ternyata ulah bapak mertua.

Dia tersenyum canggung saat pandangan mereka bertemu. Pria paruh baya itu menatapnya cukup lama.

"Nak, kebetulan kau di situ, bisa tolong bawakan Bapak air minum?"

Yumna gegas menyahut, "Iya, Pak!"

Dia melewati pintu penghubung antara dapur dengan area kebun. Tangannya menenteng sebuah mok besar. "Tabe, Pak," katanya setelah berdiri di dekat sang mertua.

Pak Ibrahim menancapkan parang pada batang pisang. Dia berjongkok demi meneguk air minum hingga tandas. "Kau ada kerjaan?" tanyanya sambil menyerahkan mok kosong.

Yumna bergeming. Sungguh pertanyaan yang amat menusuk.

"Maksud Bapak, mungkin kau bosan seharian di rumah, mau mencoba memanen?" ajak Pak Ibrahim. "Bapak lihat tadi jambu biji, tomat, cabai, dan bayam, sudah siap panen. Ambil saja yang bisa kau pakai untuk kebutuhan kita."

Yumna mengerjap lambat. Sedikit sesal di hati karena sempat berpikiran buruk terhadap pria ini. Ternyata sama seperti bapaknya, Pak Ibrahim terlalu sibuk hingga jarang menghabiskan waktu siang di rumah. Bukan berarti tak menyukai dirinya.

"Mau, Pak," sahutnya kalem.

"Ya sudah, kau ganti pakaian dulu. Gunakan baju dan celana panjang. Nanti kau gatal-gatal."

Sang Pemangku Kegagalan | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang