Yasril menyesali kemarahannya. Kaki lelaki itu melangkah panjang, nyaris setengah berlari. Dia menekan tombol lift tidak sabaran.
Sebenarnya Yasril sudah merasa bersalah sejak meninggalkan Yumna begitu saja. Sayang, egonya menang. Dia kecewa dengan pandangan Yumna terhadap diri dan keluarganya.
Sekarang, Yasril merutuki tindakan tadi. Seharusnya dia lebih bersabar. Tidak termakan emosi.
Bukankah dia tahu betul bagaimana kondisi mental Yumna?
Perempuan itu trauma akan masa lalu. Pernikahan pertama meninggalkan beban tersendiri.
"Sialan!" umpat Yasril sambil menghantam pelan dinding lift. Tidak ada orang lain di sana.
Begitu box besi terbuka, dia langsung berlari. Sepanjang perjalanan dari masjid, hati Yasril tak tenang. Khawatir Yumna berbuat buruk mengingat betapa rapuh kondisinya saat ini.
Apabila hal tersebut sungguh terjadi, Yasril tidak akan pernah memaafkan dirinya. Selamanya.
Ruangan bernomor 1505 tepat di depan mata. Tangannya bergetar menekan sederat angka sebagai password. Bunyi denting terdengar, pintu terbuka.
Dan benar saja, Yumna ada di sana. Duduk bagai budak yang menunggu tuannya kembali. Bersimpuh dan menunduk dalam, layaknya anak kecil yang sedang menunggu hukuman.
Yasril mendekat, mengambil posisi tepat di hadapan sang istri. Tanpa berkata apa-apa, tangannya terulur untuk merengkuh. "Maaf," ucapnya getir.
"Ja-jangan pergi, jangan pergi, jangan pergi."
Yasril terpejam. Dekapannya kian erat. Tak ada lagi kata terucap, hanya keheningan yang melingkupi mereka.
Entah berapa lama mereka berada dalam posisi itu, Yasril mulai melonggarkan pelukan. Tangannya berpindah di bahu Yumna, kemudian naik ke dagu, membuat manik mata mereka bertemu.
"Sejak kapan kau duduk di sini?" tanyanya, tapi tak mendapat respon. "Yumna?"
"Sejak kau pergi," cicit perempuan itu.
Yasril menghela napas berat. "Kakimu kesemutan?"
"Uhm, sedikit."
Yasril mencoba mengulum bibir, tersenyum. "Kuat berdiri?"
Yumna mengangguk cepat, lalu buru-buru bangkit. Namun belum sempurna telapak kakinya berpijak di lantai, ringisan kecil keluar dari bibirnya.
Yasril menahan kedua pundak Yumna. Dengan gerakan tiba-tiba, dia mengangkat perempuan itu. Lengan kiri mengelilingi punggung Yumna, sedangkan lengan kanannya menyelip di belakang lutut. Tubuh mereka menjadi tidak berjarak.
"Pegangan."
Secara refleks, Yumna mengalungkan lengan di leher Yasril. Setelah cukup yakin, lelaki itu berjalan menuju kamar mereka. Dia menempatkan Yumna di tepi kasur. Kemudian berjongkok, memberi pijatan kecil di betis hingga pergelangan kaki istrinya.
"Masih nyeri?" ujarnya. Sekali lagi tak ada respon. Yasril mendongak dan kaget saat mendapati air mata Yumna menetes. "Maaf, tekananku terlalu kencang?"
Yumna menggeleng. "Terima kasih, Yas. Terima kasih untuk selalu menjagaku hingga detik ini."
Yasril bernapas lega. Dia mengulurkan tangan dan langsung disambut oleh Yumna. Mereka berdiri bersamaan. "Salat dulu, sana. Lain kali, semoga tidak terjadi, tapi bila kita bertengkar, jangan menunggu di depan pintu. Lakukan sesuatu yang lain."
Yumna mengangguk dan bergegas masuk ke kamar mandi dengan sedikit tertatih.
Sembari menunggu, Yasril memainkan ponsel, menempati satu-satunya sofa yang terletak di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pemangku Kegagalan | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] [17+] Bijaklah memilih bacaan. Yumna dan Yusra, kembar identik, tapi beda frekuensi. Jika Yusra adalah lambang keberuntungan, Yumna mungkin sebaliknya. Intinya satu, mereka rival. _ Siapa bilang usaha tidak akan mengkhianati hasil...