Sebelum Kita Menikah

267 52 23
                                    

Aktivitas Yusra belakangan ini semakin padat saja. Rasanya banyak energi yang terkuras. Selain bekerja dari pagi hingga siang, dia harus menyiapkan pernikahan.

Tidak berhenti sampai di situ, dia juga perlu merapikan barang-barang yang kelak akan dibawanya ke Jakarta. Tidak lama lagi Yusra harus meninggalkan kampung halaman.

Sejujurnya, Yusra masih tidak menyangka sebentar lagi akan menyandang status sebagai istri orang. Terlebih pertemuan mereka sungguh di luar bayangan. Ketika pertama kali berinteraksi, di kepalanya hanya ada segumpal keresahan.

Namun, kejadian ini membuatnya menyadari satu hal. Semua ada masanya, pun demikian perihal jodoh. Tak perlu khawatir terlalu berlebihan. Pada akhirnya, manusia akan menemukan kecocokan hati di waktu yang tepat.

"Gimana kondisi di sana?"

Risiko memiliki pasangan beda provinsi. Mereka sangat bergantung pada alat komunikasi digital. Bahkan, berkas personal Raza untuk keperluan pengajuan surat nikah dikirim secara daring.

Yusra meniup udara di atas kepalanya. Mereka teleponan secara berkala untuk memastikan setiap detail persiapan. Pernikahan ini dilaksanakan mengikuti adat Muna, tempat tinggalnya.

Mahar ditentukan berdasarkan kedudukan ayah mempelai wanita di mata adat. Dikenal pula yang namanya uang panaik, sejumlah biaya yang diberikan pria kepada keluarga wanita. Uang tersebut kerap dimanfaatkan untuk kesuksesan acara.

Terdapat serangkaian adat yang harus dilewati sejak sebelum hari H hingga selesai. Berhubung domisili calon mempelai pria terlalu jauh, beberapa hal terpaksa disederhanakan. Terus terang, Yusra sebetulnya tak peduli soal itu.

Andai bisa, dia malah berharap pernikahannya dibuat seminimalis mungkin. Hanya saja, orang tuanya tak setuju. Pertimbangan mereka pun tidak jauh-jauh dari omongan warga.

Insiden Yumna beberapa waktu lalu telah menjadi sejarah. Akan terus dikenang entah sampai kapan. Beginilah realitas hidup di pedesaan. Yusra tidak bisa menyalahkan orang tuanya yang terikat oleh aturan sosial.

Pada kenyataannya, warga juga mengambil peran penting dalam membantu persiapan. Di tengah keterbatasan fasilitas, mereka hadir berbondong-bondong menutupi setiap celah. Memasang tenda, mengolah aneka bahan makanan, menyebar undangan, dan masih banyak lagi. Selama beberapa waktu ini, kediaman mereka ramai oleh tenaga bantuan.

"Aman, ada koneksi. Berkas udah disetorin ke KUA setempat. Semoga jadi sebelum hari H."

Selain urusan administrasi, orang tua Yusra juga membantu membicarakan lokasi menginap yang nantinya digunakan oleh rombongan pihak laki-laki. Di sini tidak ada hotel atau sejenisnya. Lalu dicarilah alternatif lain.

Merujuk pada kebiasaan masyarakat, calon mempelai yang datang dari jauh biasanya meminjam rumah salah satu kerabat perempuan. Mengingat Raza bersahabat baik dengan Yasril, maka kediaman Pak Razak menjadi pilihan.

Rencananya, mereka akan datang tiga hari sebelum acara. Calon pengantin tidak diperkenankan bertemu selama masa penantian tersebut. Barulah ketika jatuh tempo, rombongan pria datang ke rumah mempelai wanita. Lalu setelah melewati proses pembicaraan di antara sesama tetua adat, akad pun dilangsungkan.

Ada jeda sejenak bagi pasangan yang telah resmi untuk istirahat. Biasanya dibarengi dengan salat dan makan. Setelahnya, resepsi diadakan pada pukul 13.00-17.00 WITA.

"Kok, kamu kedengaran lemas?"

"Nggak pa-pa. Jadi, siapa aja yang bakal ikutan?"

"Cuma keluarga inti. Lagian, kita juga bakal ngadain pesta di sini."

Yusra menghela napas. Calon mertuanya tentu tak ingin ketinggalan. Sebagai anak tengah sekaligus putra tunggal dari tiga bersaudara, pernikahan Raza pasti digelar secara besar-besaran.

Sang Pemangku Kegagalan | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang