Prolog

46 14 3
                                    

Rumah yang terlihat sepi dengan cat berwarna cokelat yang mendominasi bagian-bagian dindingnya, terlihat tampak gelap jika disaksikan dari kejauhan. Namun, walau rumah itu terasa sepi dan menakutkan, halaman yang bertumbuhkan rerumputan halus di sana terkesan sangat bersih dan nyaman. Mungkin karena sang pemilik rumah yang rajin merawat serta membersihkan halaman rumahnya.

Seorang gadis muda berparas cantik sedang malakukan pekerjaannya di dalam sana. Rambut pendeknya mengalun-alun mengikuti gerakan tubuhnya yang sedang mencuci piring di wastafel dapur. Hari ini adalah hari libur, sehingga gadis itu tak perlu berangkat ke sekolah pagi-pagi seperti ini.

Dia adalah--Cahya Victoria, si gadis cerdas yang rela tinggal sendirian bersama adiknya tanpa kedua orang tuanya. Ibunya telah meninggal satu tahun yang lalu, dan kini ayahnya telah pergi entah kemana tanpa sepengetahuannya. Cahya hanya hidup bersama adiknya--Aska, di rumah tua sepeninggal ibunya.

Suara gemercik air menemani Cahya dalam kegiatan mencuci piringnya. Sedangkan Aska, dia terlelap tidur di kamarnya sejak semalam. Beberapa bulan ini Aska jarang masuk sekolah karena keadaan tubuhnya yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Cahya ingin mengajaknya ke rumah sakit namun ia belum memiliki cukup uang. Sebenarnya ia masih memiliki tabungan di rekening ibunya, dan mungkin uang itu cukup untuk pergi ke rumah sakit. Tetapi, Cahya merasa sepertinya uang itu akan dibutuhkan setelah ini, firasat Cahya berkata seperti itu.

Saat Cahya sedang sibuk membilas piring-piring yang ia cuci, tak sengaja ia mendengar suara dobrakan pintu dari dalam rumahnya.

Brakk

Cahya menoleh ke belakang melihat siapa orang yang telah mendobrak pintu itu.

"Hei! Keluar kalian!"

Cahya tak tahu suara siapa yang sedang berteriak di dalam rumahnya. Ia segera membilas tangannya dan mengelapnya dengan kain. Ia berjalan menuju ruang tamu.

Dilihatnya seorang pria berbadan besar sedang berdiri di sana. Dan di sisi lain, terdapat lima orang yang menggotong kursi, meja, bahkan TV yang ada di rumahnya. Cahya yang menyadari hal itu membelalakkan matanya seraya menutup mulutnya kaget. "Astaga, apa yang kalian lakukan?!" Cahya berlari menuju orang yang berdiri mengawasi anak buahnya menggotong barang-barang Cahya.

Pria tua itu menoleh tatkala mendengar teriakan Cahya, ia menunjukkan smirknya. Dia mengeluarkan puntung rokok yang menempel di mulutnya lalu di susul dengan kepulan asap tebal yang mengepul di depan wajahnya. "Kamu Cahya, kan? Putri dari Pak Ko?"

Cahya mengangguk setelah tiba di hadapan pria tua itu. "Apa yang kalian lakukan di rumah saya? Kenapa kalian bawa semua barang-barang kami?!"

Pria itu tertawa keras. "Rumah kamu saya sita!"

Cahya terkejut, ia mengerutkan keningnya tak paham. "Maksud Bapak apa? Saya tidak ada urusan dengan anda, bahkan saya juga tidak kenal?!"

Pria itu kembali tertawa seraya menyedot lagi rokoknya dan disusul oleh kepulan asap setelahnya. "Ayahmu di mana sekarang?"

Cahya menggeleng pelan. "Saya gak tahu di mana ayah saya sekarang, tapi dia udah pergi beberapa bulan yang lalu."

Pria itu tampak berpikir, lalu ia membuang puntung rokok yang sisa setengah dan menginjaknya.

"Tapi apa yang kalian lakukan dengan barang-barang kami?!" Cahya kembali berteriak.

"Mas! Jangan di bawa keluar!"

Para orang-orang itu menoleh, namun sama sekali tak menghentikan kegiatannya menggotong barang-barang Cahya.

Cahya meremas rambut pendeknya seraya meletakkan salah satu tangannya di pinggang. "Pak! Hentikan anak buahmu, apa salah saya? Saya tidak ada hubungannya dengan anda!"

Kini Cahya tidak bisa menahan emosinya.

"Hei! Jangan berteriak, ayahmu memiliki hutang banyak kepadaku, dan dia tidak melunasi hutangnya, tidak ada salahnya jika saya menyita rumahmu!"

Cahya kembali melotot. "Maksud, Bapak? Ayah saya punya hutang sama Bapak?"

"Kamu nggak tahu? Pokoknya saya harus menyita rumah ini, nanti sore kamu harus sudah keluar dari rumah ini!"

Pria itu berjalan tergesa keluar bersama lima anak buahnya. Cahya berlari menyusul pria itu. "Pak! Tapi kenapa harus rumah ini yang disita? Ini bukan rumah ayah saya, ini rumah ibu saya!"

Pria tua itu tak menggubris teriakan Cahya, dia segera masuk ke dalam mobil dan lantas pergi meninggalkan pekarangan rumah Cahya.

Cahya kembali meremas rambutnya. Ia merogoh saku celananya dan memulai panggilan dari ponsel kecilnya.

Tutt ... tutt ....

Cahya menarik lagi ponselnya dari telinga dengan kasar dan memasukan kembali di dalam saku celananya.

"Ayah, kenapa tega sih ngelakuin semua ini ke Cahya tanpa sepengetahuan Cahya." Cahya berucap pada dirinya sendiri.

Arghhh ....

Aahhkkk ....

Cahya mematung, ia mendengar suara teriakan dari dalam rumahnya. "Astaga!"

Cahya berlari ke kamar adiknya. Ia melihat Aska yang sedang bergulung-gulung di lantai bak orang kesurupan. Ia berteriak seraya menegangkan seluruh anggota tubuhnya. "Ya ampun, Aska! Kamu kenapa?"

Cahya berlari hendak memeluk adiknya. Namun, sebelum ia tiba di samping Aska sebuah vase kecil jatuh tepat di pundaknya dan berakhir pecah di lantai kamar adiknya.

Pyarr ....

"Ahkk." Cahya memegangi pundaknya yang terkena vase.

"Arghhhh!"

"Aaaahhhhkkkk!"

Aska terus berteriak bak orang kesurupan. Cahya berusaha meraih kedua tangan Aska yang menegang. "Aska, kamu kenapa, sayang?"

Cahya berusaha menolak pergerakan tangan Aska yang menegang kemana-mana. Aska sudah benar-benar seperti orang kesurupan.

"Arghhh!"

Tubuh Aska tidak bisa dikendalikan. Cahya kesulitan mengontrol pergerakan tubuh Aska yang terus menegang. "Aska, kamu kenapa sebenarnya, jawab kakak."

Aska tak menggubris kalimat Cahya hingga akhirnya tubuh Aska tergeletak lemas di lantai dengan tetap dipeluk oleh Cahya. "Aska, kamu gak apa-apa kan?"

Cahya menepuk-nepuk pipi Aska. Kini Aska telah menutup matanya tak sadar. Namun, keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Badan Aska benar-benar lemas.

"Aska, kamu kenapa? Aska!"

"Tolong! Tolong!" Cahya berteriak dari dalam rumahnya. Hal ini sudah terjadi hampir tiga kali, dan Cahya tidak tahu apa yang membuat Aska menjadi seperti ini.

Cahaya with Antariksa [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang