(3) Pertemuanku Dengannya

9 4 1
                                    

Cahya berlari menuju Rumah Sakit di mana adiknya dirawat. Rambut hitam pendeknya mengalun mengikuti gerakan tubuh yang sedang berlari. Cahya masuk ke lorong yang sepi dan gelap di karenakan waktu yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan bisa dipastikan bahwa penghuni rumah sakit mungkin telah beristirahat dan sebagian lampu sudah dimatikan.

Gadis itu membuka knop pintu dengan perlahan agar si pemilik ruangan tidak terusik akibat pergesekan antara engsel pintu dengan daun pintu. Cahya melangkahkan kakinya pelan dan masuk ke ruangan berbau obat itu. Ia melihat seorang gadis cantik sedang berbaring di sana dengan wajah tenang. Cahya menarik bibirnya perlahan membentuk sebuah senyuman. "Semoga lo cepet pulih, gue rindu sama lo."

Cahya berjalan menuju sofa kecil di samping kanan tempat tidur Aska. Di sofa tersebut ada satu buah ransel besar yang tergeletak di sana, dan tentu saja ransel itu milik Cahya. Ia duduk di sofa dan melepas ransel kecil yang ia gendong seharian tadi. Cahya memijat punggungnya perlahan serta merenggangkan otot-ototnya yang kaku.

Tak lama, ia menguap. Matanya memerah menandakan bahwa ia benar-benar mengantuk. Alhasil, ia terlelap di sofa dengan posisi yang tak mengenakkan, sama seperti enam hari lalu yang kerap ia lakukan. Selama beberapa hari ini Cahya terpaksa menumpang di rumah sakit karena ia belum menemukan kontrakan atau tempat tinggal baru yang pas. Sehingga ia harus menginap di rumah sakit terlebih dahulu hingga ia bisa mendapatkan tempat tinggal baru.

Suasana ruangan itu seketika hening. Cahya berjalan bersama adiknya di alam mimpi dengan tenang. Ia berharap semoga adiknya lekas membaik dan dapat melakukan aktivitas seperti biasanya. Cahya sangat merindukan adiknya yang bebas bertingkah seperti dahulu kala. Namun, kini ia hanya bisa melihat Aska yang berbaring di atas bangsal rumah sakit dan tak berdaya.

***


Suara decitan pintu yang terbuka seketika membangunkan Cahya. Gadis itu mengerjapkan matanya dan sesekali mengucek matanya yang dirasa sangat berat. Ia melihat ada seorang suster yang berjalan ke arah tempat tidur Aska. Ia membenarkan duduknya sejenak dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Cahya menunggu suster itu selesai mencoret-coret tumpukan kertas yang dibawanya. Hingga tak lama, akhirnya suster itu berbalik dan mendapati Cahya sudah berdiri di depan sofa. "Ehh, kamu sudah bangun? Apa saya membangunkanmu? Maaf, ya." Suster itu tersenyum.

"Nggak papa, Suster. Ohh iya, bagaimana kondisi adik saya? Kenapa dia sama sekali belum bangun?"

"Menurut Dr. Deans, adik Aska harus banyak beristirahat agar tubuhnya merasa lebih tenang, jadi kami memasukkan obat penenang di dalam infus agar Aska dapat tertidur dan menenangkan tubuhnya," jelas Suster itu. "Ahh, mungkin nanti malam atau besok adik Aska sudah sadar, kamu bisa menunggunya," pungkasnya.

Cahya mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Suster itu pun tersenyum ke arah Cahya dan segera melangkah keluar dari ruangan Aska yang disusul oleh suara decitan pintu yang tertutup seperti biasanya.

Cahya berbalik menatap Aska sejenak lalu bergegas mengambil pakaian dari dalam ransel besarnya dan berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan Aska. Gadis itu mengguyur tubuhnya dengan shower yang ada di dalam kamar mandi tersebut.

Butiran-butiran bening dari dalam shower saling berjatuhan melewati kulit mulus Cahya dan langsung terjun ke lantai yang beralaskan keramik berbentuk batuan. Cahya sangat menikmati mandinya.

Hingga tak lama, akhirnya gadis itu keluar dengan setelan kaos pendek berwarna hitam serta celana jeans abu-abu yang membungkus kedua kaki jenjangnya. Cahya berjalan ke sofa dan mengambil hoodie berwarna cream lalu dipakailah hoodie itu. Ia juga mengganti alas kakinya dengan sneakers berwarna putih yang selama ini hanya itu yang ia punya.

Cahya menatap Aska sejenak yang sedang terlelap, lalu berjalan keluar ruangan. Pagi ini, jadwalnya adalah pergi ke sekolah barunya. Namun, ia hanya akan menemui kepala sekolah untuk hal-hal penting dan bergegas pulang. Ahh, tidak! Ia tidak akan pulang, Cahya akan bekerja terlebih dahulu di rumah rentenir demi membayar hutang-hutang ayahnya.

Saat berada di lobby rumah sakit, tak sengaja ia bertemu dengan Dokter yang beberapa hari ini telah merawat adiknya. Dokter itu tersenyum sopan menyapa Cahya. "Pagi, Cahya. Kamu mau kemana pagi-pagi seperti ini?"

Jarang ada Dokter yang dengan santainya menyapa wali pasien atau pengunjung. Mungkin hal ini dikarenakan Deans yang tidak terlalu sibuk pagi ini.

"Mau ke sekolah, Dokter." Cahya menjawab dengan sopan pula.

"Ohh, begitu."

Cahya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Baiklah, silakan." Deans mempersilahkan Cahya pergi dan segera saja dibalas anggukan olehnya. Cahya berjalan keluar gedung rumah sakit dan mencari angkot di ujung jalan. Dan jangan lupakan dengan wajah Cahya yang sudah berubah warna dan salting.

***

Mobil berwarna orange khas angkutan umum berhenti di depan pagar besi yang menjulang tinggi. Seorang gadis keluar dari mobil kecil tersebut dan berjalan mendekati pagar hitam di depannya. Gadis itu adalah Cahya, matanya menatap suasana di dalam pagar itu melalui celah-celah tipis yang besarnya sama dengan kelopak matanya.

Lalu, tak lama satpam datang. Beliau menggeret pagar besar itu agar terbuka walau sedikit. "Ada yang bisa saya bantu, Dik?"

Cahya mendongak. "Saya mau bertemu Kepala Sekolah."

"Ohh, iya-iya silahkan masuk."

Cahya dan Satpam itu segera berjalan menuju ruang Kepala Sekolah. Sesampainya di sana, Satpam itu mempersilahkan Cahya masuk dan dia pergi keluar.

Gadis itu mulai mengetuk pintu berwarna coklat yang sudah terbuka, dan disusul suara teriakan khas pria paruh baya di dalam sana.

"Silahkan masuk."

Cahya berjalan masuk, ia melihat seseorang berbadan besar dengan tumpukan kertas di hadapannya. Dan sudah bisa dipastikan bahwa orang itu adalah Kepala Sekolah.

"Permisi, Pak."

Pria itu mendongak seraya membenarkan kacamatanya. Lalu tersenyum. "Ohh, Cahya."

Cahya balas tersenyum. "Bagaimana, Pak?"

Beliau, Sugondo Djaya--selaku Kepala Sekolah SMA Galaxy menatap serius wajah gadis di depannya. "Jadi, kamu diterima di sekolah ini."

Cahya seketika bahagia. Akhirnya ia dapat sekolah kembali setelah satu minggu berhenti. Namun, kini ia pindah ke sekolah terkenal di ibu kota, bukan di SMA kampungan yang ia tempati dahulu.

"Alhamdulialah, saya bersyukur sekali. Sekali lagi terimaksih, Pak." Cahya berkata tulus kepada Kepala Sekolahnya.

"Iya, sama-sama. Baiklah, kamu boleh keluar. Oh iya, kamu silahkan ambil seragam baru kamu di ruang guru ya. Nanti kamu cari wali kelas kamu, namanya Bu Farida," jelas Sugondo lagi dan tentu saja dibalas anggukan oleh Cahya.

Cahya segera berjalan keluar dan bergegas menuju ruang guru. Ia tak henti-hentinya tersenyum di sepanjang koridor hingga tak sengaja tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.

Brukk ....

Refleks Cahya memundurkan badannya karena tubuhnya baru saja bertabrakan. Ia mendongak menatap orang di depannya. Pria muda dengan tubuh yang kekar dan tinggi.

"Sorry, gue gak sengaja." Pria itu tersenyum ke arah Cahya." Lanjutnya, "lo gapapa, kan?"

Cahya hanya menatap pria itu sejenak dan kembali menundukkan wajahnya lalu berjalan menjauh meninggalakan lelaki yang baru saja menabraknya.

****

Votenya ya gaissssssss
Alafyu❤

Cahaya with Antariksa [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang