(1) Sakit Jiwa

24 15 3
                                    

Kembali ke part awal yah, ada pergantian prolog:)

ENJOY READING!

***

Malam yang dingin menemani sesosok gadis SMA yang sedang termenung di sebuah lobby rumah sakit. Gadis itu sudah sekitar lima hari berada di sini menunggu hasil lab adiknya yang tiba-tiba dirujuk ke rumah sakit di tengah-tengah kota.

"Wali dari Aska Vanessa?" panggil seorang perawat rumah sakit ketika ia sampai di hadapan gadis itu.

Ya, dia adalah Cahya Victoria. Seketika Cahya mendongak tatkala mendengar nama adiknya disebut. "Ya?"

"Adik yang memiliki janji dengan Dr. Deans, kan?" tanya perawat itu kembali, ia merupakan asisten pribadi Deans.

Cahya mengangguk.

"Silahkan masuk, Dr. Deans sudah menunggu." Perawat itu menunjuk salah satu pintu yang letaknya tak jauh dari lobby.

"Ahh, baik, terimakasih."

Cahya segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu ber cat putih yang tak lain adalah pintu ruangan Dr. Deans Abrilio--dokter ahli jiwa atau lebih tepatnya adalah seorang psikiater.

Cahya membuka knop pintu itu pelan seraya menyelundupkan sebagian kepalanya demi melihat suasana ruanganan yang akan ia masuki sekarang. "Permisi, Dokter."

Dokter itu mendongak dan mulai tersenyum ke arah Cahya. "Silahkan masuk."

Cahya semakin melebarkan pintu itu agar tubuhnya yang berukuran sedang dapat masuk ke dalam. Setelah tubuhnya benar-benar masuk, ia segera menutup pintu itu kembali.

Cahya berjalan ke arah kursi yang tersedia di depan meja kerja Deans. Ia mendaratkan pantatnya di sana. "Bagimana, Dokter, keadaan adik saya?"

Deans membenarkan duduknya sejenak lalu mengangkat kedua tangannya ke atas meja dan mulai menyatukan jari-jemarinya. "Berdasarkan perkiraan saya, Aska sepertinya telah mengalami gangguan jiwa. Sebab, di saat saya membaca laporan dari tim perawat kemarin, Aska sering menangis tiba-tiba di ruang rawatnya bahkan berteriak sembari bergulung di lantai."

Cahya mencerna setiap kata dari Dr. Deans. Ia menganggukkan kepalanya mengerti. "Tapi, Dokter. Apakah adik saya bisa sembuh?"

"Mungkin bisa, tapi membutuhkan waktu yang lama, karena saya juga harus memberikan dia terapi atau hal-hal lain yang dapat menenangkan pikirannya. Karena menurut saya, mungkin gangguan jiwa Aska terjadi akibat trauma atau hal semacamnya," jelas Deans membeberkan segala penyakit yang saat ini tengah menimpa Aska.

"Ahh, ya, kalau boleh tahu, mungkin ada insiden atau sesuatu yang pernah terjadi pada Aska?"

Cahya mulai berpikir, ia sedari tadi memainkan kuku-kuku jarinya seraya bergetar. Ia benar-benar takut jika adiknya tak bisa disembuhkan. Cahya membuka mulutnya menjawab pertanyaan Deans. "Kalau menurut firasat saya, mungkin Aska menjadi seperti ini sejak insiden di mana ibu kami meninggal, Dokter."

Deans membuka sedikit bibirnya menggambarkan rasa terkejut. Lalu ia mengangguk-anggukkan kepalanya paham. "Hal itu ... terlihat masuk akal." Deans tersenyum.

Cahya mengangguk.

"Baiklah, kamu boleh keluar." Deans mempersilahkan Cahya keluar dari ruangannya karena dirasa pertemuannya malam ini memang sudah selesai.

"Terimakasih, Dokter." Cahya bangkit dari duduknya dan berjalan keluar.

Saat tiba di luar, Cahya mematung sembari berjalan tak tentu arah. Ia bingung, bagaimana ia dapat membiayai adiknya di rumah sakit besar ini. Bahkan ia sudah keluar dari tempat kerjanya beberapa minggu lalu akibat gaji yang tidak rutin. Memang caffe tempat Cahya bekerja bukanlah caffe terkenal, hanya caffe kecil-kecilan dan pengunjungnya pun juga tak ramai, hanya satu dua orang.

Cahya berdiri di lobby rumah sakit yang sepi sembari meletakkan salah satu tangannya di depan dada dan satu tangan lainnya bergerak memegangi pelipisnya.

Drtt ... drtt ....

Cahya mengerjapkan matanya ketika merasakan ada sesuatu yang bergetar dari saku celananya. Ia segera meraih benda yang bergetar itu. Cahya menatap layar ponselnya sejenak.

"Ck!"

Cahya mematikan panggilan tersebut setelah melihat siapa orang yang sedang meneleponnya. Ia hendak memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana, namun-

Drtt ... drtt ...

"Ck! Mau lo apa sih?" Cahya menarik ponselnya kembali dengan kasar dan terpaksa menjawab panggilan itu.

"Kenapa?!"

Orang yang berada di dalam panggilan itu tertawa keras. "Santai, Cahya, saya hanya ingin memastikan apakah kamu benar-benar menolak tawaran dari saya?"

Suara berat itu terdengar mengejek, dan berhasil membuat Cahya semakin ingin marah. Cahya memejamkan matanya sejenak seraya menggeratkan gigi-giginya. "Pak, berhenti hubungi saya, saya tidak ada hubungannya dengan Bapak!"

Orang yang berada di seberang telepon itu kembali tertawa. "Cahya, kamu benar-benar tidak menerima tawaran dari saya? Kamu lihat, adik kamu sedang sakit, lalu ... kamu mau membiayai pengobatan adikmu dengan apa, hah?!"

Cahya mematung, dari mana dia tahu bahwa Aska sedang sakit?

"Bapak memata-matai saya?"

Cahya tak habis pikir dengan tingkah pria tua itu. Benar! Dia adalah Tirta Adiyasa, rentenir kaya raya yang menyita rumahnya beberapa hari lalu. Lima hari terakhir, Tirta kerap menghubungi Cahya untuk meminta tebusan dari hutang-hutang ayahnya. Padahal, kini rumahnya telah disita, tetapi kenapa pria itu masih meminta tebusan? Sangat tidak masuk akal.

"Sudahlah, Cahya. Lebih baik kamu menerima tawaran saya dan melunasi hutang-hutang ayahmu, jika hutang ayahmu sudah lunas maka rumahmu akan saya kembalikan lagi."

Pip.

"Halo! Pak!" Cahya meremas ponselnya kuat. Tirta mematikan sambungan teleponnya terlebih dahulu. Kini Cahya benar-benar bingung, uang tabungannya hanya tersisa sedikit. Sedangkan kebutuhannya sangat banyak.

Cengkling ....

Cahya membuka kembali ponselnya dan melihat siapa orang yang telah mengiriminya pesan.

Jl. Keramat Raya No. 24

Pesan tersebut bertuliskan sebuah alamat yang dikirim oleh Tirta. Cahya yang mengetahui hal itu meremas rambutnya kesal.

"Ya ampun."

***

Holla! Gimana hehe😆 semoga suka ya😍
Btw aku minta 25 read di part ini boleh? Pliss😢






Cahaya with Antariksa [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang