(2) Surat Perjanjian

19 12 1
                                    

Udara dingin kota Jakarta membuat seorang gadis yang baru saja turun dari angkutan umum menggerakkan kedua tangannya untuk memeluk tubuhnya sendiri. "Kalau gak terpaksa gue gak bakalan mau ke sini."

Gadis itu adalah Cahya, ia datang jauh-jauh dari rumah sakit untuk pergi menemui pria tua menyebalkan yang kemarin sempat mengirimi alamat rumahnya. Cahya mengeluarkan ponselnya dari ransel di punggungnya.

Jl. Keramat Raya No. 24

"Sepi." Cahya bergumam pada dirinya sendiri. Ia berjalan menuruti jalanan sepi itu untuk mencari rumah bernomor 24.

Tak lama, ia melihat rumah mewah di ujung jalan dengan nomor yang persis seperti yang ada di ponselnya. Cahya menganga melihat rumah itu, rumah yang sangat-sangat besar dengan dihiasi cat warna abu-abu di sekeliling dindingnya. Namun, rumah itu terlihat menakutkan, kanan dan kirinya merupakan perkebunan. Cahya celingak-celinguk mencari seseorang yang dapat ia tumpangi bertanya.

Hingga tak lama Cahya melihat seorang satpam keluar dari gerbang rumah besar itu, pria itu berjalan ke arah Cahya. "Ada yang bisa saya bantu, Mba?"

Cahya menatap satpam itu sejenak. "Apa ini rumah Pak Tirta?"

Satpam itu mengangguk.

"Saya mendapat pesan dari beliau bahwa saya disuruh ke sini." Cahya memperlihatkan ponselnya yang bertuliskan alamat rumah Tirta.

"Ohh, baik-baik, Mba. Mari saya antar masuk." Satpam itu berjalan mendahului Cahya dan membawanya masuk ke dalam rumah megah itu.

Saat tiba di dalam, Cahya dapat melihat bahwa rumah ini memang benar-benar mewah. Perabotan rumahnya tertata rapi dan mengkilap. "Udah kaya raya gini kenapa masih nyita rumah orang, cih!" gumam Cahya di dalam hati.

Terdengar suara derap kaki dari sisi sebelah kanan Cahya, ia yang mendengar hal itu menolehkan kepalanya dan mendapati Tirta sedang berjalan dengan penampilannya yang rapi. Pria itu tersenyum licik ke arah Cahya.

"Ahh, Tuan. Ini ada tamu yang ingin bertemua dengan Tuan." Satpam yang mengantar Cahya tadi berucap sopan kepada Tirta, dan dibalas anggukan oleh pria tua itu.

"Kamu boleh keluar."

Satpam itu segera pergi, kini di dalam ruangan super besar itu hanya terdapat Cahya dan Tirta. Cahya terus menatap pria tua tersebut dengan tatapan benci, begitu juga Tirta, ia terus menatap Cahya dengan tatapan yang menyiratkan kesombongan.

Tirta berjalan ke arah sofa mahal yang ada di ruang tamunya seraya mengambil bungkus rokok yang ada di meja sana. "Duduk!" Tirta mengutus Cahya untuk duduk.

Cahya hanya menuruti pria tua itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kini Cahya telah duduk di kursinya. Perlahan ia mendongak dan menatap wajah Tirta. "Anda menyita rumah saya padahal anda sudah kaya raya?" ucapnya sinis.

Namun, hal itu tidak membuat Tirta takut atau merasa kalah, ia malah tertawa mendengar kalimat yang memancarkan keberanian dari mulut manis Cahya. "Kamu ke sini untuk bekerja, berhenti membahas masalah rumah."

"Maksud anda? Saya sama sekali tidak ingin bekerja di sini, bahkan saya enggan bekerja di rumah rentenir jahat seperti anda!"

Tirta tak menanggapi ucapan Cahya, ia menyalakan korek api dan membawanya ke puntung rokok yang berada di mulutnya, lalu disusul dengan kepulan asap setelahnya. "Surya! Ambilkan berkas di ruangan saya!"

Seseorang yang dipanggilnya Surya itu segera mengangguk dan pergi mencari berkas yang diinginkan pria tua di hadapan Cahya. Cahya mendengus kesal, bagaimana ia tidak kesal jika seseorang yang dia hadapi sekarang sangat menjengkelkan.

Tak lama Surya datang seraya membawa berkas yang terbungkus dengan amplop berwarna cokelat di tangannya, diberikannya amplop cokelat itu kepada Tirta dan ia segera berbalik menuju tempatnya tadi.

Tirta menaruh amplop itu ke meja dengan kasar. "Baca berkas itu, kamu harus bersedia bekerja di sini." Tirta menghembuskan asap tebal dari puntung rokoknya.

Cahya melirik pria itu sejenak dan segera mengambil berkas yang berada di meja. Ditariknya kumpulan kertas dari dalam amplop itu dan ia mulai membaca lembar demi lembar isi kertas tersebut. Hingga akhirnya ia membuka matanya kaget ketika melihat sesuatu yang tertulis di dalam kertas itu.

"Maksud bapak saya harus kerja di sini demi melunasi hutang ayah saya?"

Tirta mengangguk santai. "Kamu hanya harus menjadi pelayan di rumah ini, itu saja."

Cahya memutar bola matanya kesal. Dia tidak ada kaitannya dengan hutang-hutang ayahnya, tapi kenapa harus dia yang melunasi hutang-hutang tersebut? Bahkan dengan teganya ayahnya tidak mengatakan bahwa ia berhutang pada rentenir kaya raya.

"Memang seberapa banyak ayah saya hutang kepada Bapak?"

"95 juta."

Cahya menghentikan nafasnya sejenak, untuk apa uang sebanyak itu? Cahya benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran ayahnya.

"Pak, tapi jika--"

"Saya tidak peduli, pokoknya mulai besok kamu harus bekerja di sini. 50% dari gaji kamu akan saya potong untuk melunasi hutang ayahmu." Tirta bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan Cahya sendirian setelah berkata seperi itu.

Cahya meremas rambutnya kesal. Ia mengeluarkan ponselnya dari tas yang ia bawa dan menelepon seseorang.

Tutt ... tutt ....

Tidak ada jawaban. Sudah berulang kali Cahya berusaha menghubungi ayahnya namun tak pernah diangkat sekalipun. Cahya segera berdiri dari kursi mahal di rumah Tirta dan berjalan keluar. Ia menatap nanar rumah besar itu dari halaman yang juga tak kalah besarnya dengan bangunan itu. "Kenapa orang kaya selalu serakah? Kenapa juga harus gue yang lunasin hutang ayah? Padahal gue gak tau apa-apa tentang hutang-hutang itu. Kenapa mereka jahat sama gue?"

Cahya berbalik dan berjalan keluar dari halaman rumah Tirta. Namun, saat ia tiba di depan pagar besi yang baru saja ia lewati barusan, tiba-tiba ia merasakan ponselnya bergetar. Ia segera melihat siapa orang yang meneleponnya. "Astaga!"

Cklik.

Cahya membawa benda pipih itu ke telinganya. "I-iya, Pak?"

"...."

"Hah! Yang benar, Pak."

"...."

"Baik, Pak. Saya besok akan ke sana."

Cahya segera mematikan panggilannya dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia tersenyum setelah melakukan panggilan tersebut, sepertinya ia mendapat sesuatu berharga.

***

Semoga suka:)
Vote dan komennya yup.

Cahaya with Antariksa [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang