"Hai aku Genta." Ia melambaikan tangan alih2 berkenalan dengan berjabat tangan.
"Namaku Kalinda mereka memanggilku Linda." Aku tersenyum melihatnya mengerutkan dahi.
" Oke Kalin." Aku tersenyum suka caranya memanggilku. Aku hanya menganggukan kepala.
Itu pertemuan ketiga kami. Menjawab raguku akan pertemuan kedua waktu itu. Ia masih mengingatku sebaik aku mengingatnya. Kala itu.
Sore tadi aku menjemput Genta di apartemennya. Ia masih muka bantal saat membuka pintu. Aku datang dua jam lebih cepat dari waktu janjian. Ia tidak bertanya atau memprotes ku. Ia membiarkanku melakukan apapun saat ia bersiap.
Ku dudukan diriku di sofa mataku menyusuri setiap bagian apartemennya yang sekarang dipenuhi banyak kardus berisi barang yang akan dibawanya . Aku mengingat dengan jelas waktu yang ku habiskan bersamanya mengisi apartemen ini. Mataku memanas sadar bahwa waktu bersama kami tidak lagi banyak.
Aku bisa saja menunggunya namun Genta menolak. Ia percaya aku mampu melakukannya namun tidak pada dirinya sendiri, ia tak bisa menjajikan apapun.
Ia berkata aku berhak mendapat kebahagian yang lain. Meski semua berakhir hari ini dia tetap memperlakukanku semanis biasanya.
Aku selalu suka mendengarnya bercerita. Ia selalu punya hal baru untuk ku dengar. Kali ini tentang Laila Majnun diiringi suara ombak dan angin malam. Aku memperhatikannya. Senyum tak lepas dari bibirnya. Caranya memandangku membuatku merasa berharga.
"Kamu tahu Kalin, Majnun tak pernah menyalahkan siapapun."
"Meski Majnun menjadi gila karena kepergian laila?" Aku memang tak menyukai cerita Cinderella yang berakhir bahagia.
Tapi ku tak suka akhir cerita kami meski kami pernah bahagia. Tanpa sadar aku tak lagi mendengarnya bercerita.
"Jangan merusaknya dengan air mata. Kita hanya akan menikmati waktu kita bersama."
Ia hanya tersenyum tahu bahwa aku menangis karna cerita kami. Aku mengangguk kembali tersenyum, melirik jam tangan.
"Well cerita kita akan berakhir sebentar lagi." Aku tertawa entah untuk apa.
"Jangan terlalu sedih karna perpisahan, Kalin." Ia mengusap kepala ku.
"Tidak Genta. Aku bersyukur karena kita pernah ada." Aku tersenyum terlalu lebar.
"Perpisahan bukan akhir cerita tapi awal baru bagi kita." Ia menatapku memandang lautan, aku takut semakin sulit jika menatapnya.
Mari bertemu lagi di persimpangan jalan masing masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
GONE
Short Story"Orang bilang harapan itu seperti awan", katanya tanpa menatapku. "Iya beberapa berlalu begitu saja, sisanya membawa hujan", sahutku menatap langit yang sama. Kau bilang setelah hujan akan ada pelangi," aku mengulang perkataannya. "Begitu bukan?" Ia...