"Sudah terlalu lama untuk merasa sakit, sudah terlalu lama untuk marah, dan juga sudah terlalu lama untuk kembali. Taukah kamu jika sesuatu yang sudah hancur tidak dapat utuh kembali." - Candragitha Arabelle Fredella
***
Huh, bosan keluh seorang gadis dalam hati.
Gadis itu terlihat tidak berminat dengan apa yang sedari tadi disampaikan oleh dosen di depan kelasnya. Mata kuliah umum, di sore hari? Semua orang rasanya sudah lelah dan ingin kembali ke rumah. Githa bertopang dagu memandang ke sekeliling ruangan dan tersenyum tipis. Sepertinya bukan hanya dirinya yang sangat ingin pulang di detik ini, pikirnya.
Drttt...drttt...drttt...
Githa melirik sekilas pada ponsel yang tergeletak begitu saja di atas mejanya. Notifikasi pesan di WhatsApp. Memutar bola matanya heran sebelum mengambil dan membaca lebih jelas pesan dari kakak tingkatnya, Vano. Penasaran? Sama! Githa juga.
Kak Vano: Udah pulang?
Githa: Gaada pertanyaan lain selain itu ya kak?
Kak Vano: Gue nanya kenapa lo balik nanya?
Githa: Trus yang tadi belum di jawab, sekarang nanya lagi kak?
Kak Vano: Ribet ya emang ngomong ama Annabelle.
Githa: Siapa?
Kak Vano: Lo lah.
Githa: Yang Nanya!
Sedikit terkikik, Githa menutup mulutnya sambil mengontrol ekspresi di wajahnya. Setidaknya jangan sampai ketahuan dosen kan? Tapi ini benar-benar lucu dengan hanya membayangkan wajah jutek Kakak Kea yang sambil misuh-misuh.
Ya! Asal muasal dari semua ini adalah saat Vano meminta Githa untuk menyimpan nomornya di kontak Githa. Sejak saat itu, setiap hari alih-alih bertanya dimana, lagi apa, sama siapa. Vano selalu tiba-tiba bertanya, udah pulang?
Oke, materi kita cukup sampai disini. Ada yang mau bertanya? Jika tidak, saya akhiri kelas hari ini. Selamat Sore, ucap dosen berkepala plontos setengah abad itu sambil melenggang keluar secepat kilat.
"YES, AKHIRNYA!"
Githa menoleh cepat terkejut. Ternyata putri tidur akhirnya terbangun meskipun tanpa pangeran, "Kea, lo ngagetin!"
Si pelaku hanya cengengesan, "Sorry-sorry. Yok pulang!"
Githa dan Kea beranjak keluar kelas menatap sekeliling koridor yang sepi. Dikarenakan ini lantai khusus mata kuliah umum, hanya segelintir mahasiswa yang memiliki kelas mata kuliah umum di sore hari.
Menggenggam ponsel di tangannya, Githa menuruni anak tangga masih penasaran menunggu jawaban dari Vano. Namun sepertinya, kakak tingkatnya itu kesal. Ada sedikit perasaan berharap jika Vano kembali membalas chat bercandaan tadi.
Masa sih beneran ngambek? Pikir Githa tak percaya dalam hati.
Masih asik berjalan dengan pikiran yang sibuk. Ada teriakan keras saat Githa dan Kea sudah akan mencapai gerbang.
"GITHA! KEA!" ternyata itu Dhisty sedang melambaikan tangan sambil melompat-lompat kecil tidak tahu umur dan tempat.
Deg!
Kea berlari menghampiri Dhisty yang ternyata sedari tadi menunggu keduanya di gerbang kampus bersama seseorang. Sementara Githa melangkahkan kakinya mundur masih tidak percaya.
Dengan perasaan berkecamuk, Githa ingin segera menghilang dari tempat itu. Setidaknya dari seseorang yang saat ini tengah menghampiri Githa perlahan. Laki-laki tinggi, putih, dan berkacamata itu terlihat tidak jauh berbeda dari saat terakhir Githa temui. Tiga tahun lalu.
YOU ARE READING
Si Vis Amari Ama
Teen FictionBenang yang mengikatmu lebih dari takdir ini, bagaimana akhir dari simpulnya? Akankah ada akhir bahagia, untuk dirimu yang pernah ditinggalkan dan takut ditinggalkan? Kisah ini terlalu rumit untuk hanya sekedar kisah cinta...