"Takdir kadang memang bisa sekejam itu. Dari kita yang baik-baik saja, hingga akhirnya menjadi kita yang saat ini bukanlah apa-apa." – Demitrio Aileen Gavin
***
Sore itu, langit masih berwarna biru dan hanya ada sedikit semburat oranye sebagai hiasannya. Githa suka tempat ini, tempat yang terasa tenang dan nyaman dengan adanya semilir angin di ketinggian. Sangat cocok untuk dirinya yang ingin menenangkan diri.
Setelah kelas berakhir satu jam yang lalu, hati dan pikiran Githa terus saja gelisah memikirkan kenyataan yang sebentar lagi akan berdiri di hadapannya. Dan Githa teringat pada percakapannya dengan Kea yang saat itu menyebutkan bahwa kakaknya pergi ke rooftop perpustakaan. Dan disinilah Githa berada, sendirian di rooftop perpustakaan.
"Hidup lo terlalu berat apa? Sampe-sampe lo selalu pengen sendiri buat merenung."
Githa menoleh saat tiba-tiba suara hembusan angin berubah menjadi suara tanya seseorang. Karena seingatnya, tak ada orang lain disini selain dirinya beberapa detik yang lalu.
Githa mendengus sebal, "Emang kenapa? Gak ada urusannya juga kan sama kakak?"
Vano terkekeh mendengar jawaban ketus dari gadis yang tengah duduk di hadapannya saat ini. Gadis yang diketahuinya teman Kea itu, entah kenapa menarik perhatiannya. Bahkan sejak di bioskop waktu itu. Vano kemudian menghampiri Githa dan ikut duduk di sampingnya.
"Tempat ini biasanya jadi pelampiasan untuk orang yang lagi merasa kesepian," Jelas Vano dengan tatapan menerawang.
"Oh, termasuk lo kak?"
Vano seketika menoleh menatap gadis yang baru disadarinya manis itu dengan sedikit terkejut. Vano mengalihkan pandangannya kemudian menjawab, "Mungkin iya, mungkin juga enggak. Lo sendiri ngapain disini?"
"Dih labil," Hardik Githa dengan senyum mengejek.
Vano merengut tidak terima, "Setidaknya walaupun gue labil, gue gak budek. Orang nanya gak dijawab". Githa menatap tidak percaya laki-laki di sampingnya. Barusan dia dikatai apa? Tuli? Hah, yang benar saja...
Githa mendengus sambil menatap tajam orang saat ini sedang menatap awan, "Sendiri itu bukan berarti sepi. Ada hal yang kadang kalanya cuma bisa lo selesaikan dengan cara sendirian."
"Maksud lo, masalah hati?"
Githa tersenyum miring mengejek, "Mungkin iya, mungkin juga enggak." Vano seketika tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapih.
Sungguh keajaiban melihat Vano bisa tersenyum yang seperti itu. Tanpa disadarinya, Vano yang biasanya hanya tersenyum kecil. Kini Githa adalah orang pertama yang berhasil membuat Vano pernah tersenyum selebar itu.
"Ehem... Selain budek ternyata lo juga pendendam ya," Ucap Vano sambil menetralkan dirinya.
Dan Githa? Githa hanya tersenyum seadanya sambil ikut memandang langit diatasnya. Githa menoleh ke arah Vano teringat sesuatu, "Kak?"
"Hmm..."
"Lo kenapa suka banget makan tablet vitamin C?" Tanya Githa tiba-tiba.
Vano merogoh kantongnya, mengeluarkan satu tablet vitamin C yang tersisa. Memandang tablet Vitamin C di tangannya itu, "Gue gak makan vitamin c setiap hari sebenernya. Suka aja rasa asemnya di lidah gue."
"Gak kayak hidup gue, hambar." Tambah Vano lagi sambil kembali menerawang menatap bangunan sekitar. Githa mengerutkan keningnya bingung.
Bukankah hidup lelaki di sampingnya itu didambakan semua orang karena dianggap menyenangkan? Pikir Githa.
YOU ARE READING
Si Vis Amari Ama
Fiksi RemajaBenang yang mengikatmu lebih dari takdir ini, bagaimana akhir dari simpulnya? Akankah ada akhir bahagia, untuk dirimu yang pernah ditinggalkan dan takut ditinggalkan? Kisah ini terlalu rumit untuk hanya sekedar kisah cinta...