Bagian 1

28 6 1
                                    

Nath merupakan siswa kelas 5 yang terajin di sekolah. Banyak anak yang senang berteman dengannya. Guru-guru juga sangat menyayangi Nath kecil.
Suatu hari, ibu kepala sekolahnya meminta Nath umnuk membantunya sepulang sekolah. Nath dengan riang menyetujuinya.

Di ruangan kepala sekolah, Nath di mintai tolong untuk mengatur dan mengoreksi jawaban dari teman-teman di kelasnya. Kata kepala sekolahnya, wali kelas Nath mendadak izin jadi tidak sempat untuk memeriksa lembar jawaban itu. Nath di berikan susu sebagai ucapan terimakasih. Ibu kepala sekolah itu menyuruhnya untuk cepat minum dengan senyuman manisnya.
Setelah itu, Nath pamit pulang. Belum sampai di pintu, Nath merasa kepalanya pusing dan dunia seperti berputar putar. Nath terbangun di bawah meja yang tertutup. Namun saat mau merangkak keluar, Nath di kejutkan dengan keberadaan wali kelasnya yang tengah menusuk ibu kepala sekolahnya hingga darah menyembur kemana-mana. Nath yang terkejut kembali masuk ke dalam meja dengan ketakutan.

Nath meringkuk di bawah meja. Tubuhnya gemetaran dengan peluh yang membanjiri seluruh tubuhnya. anak itu mencoba mengintip keluar dari balik kain taplak meja. Melihat sesuatu di depannya, dia dengan cepat kembali bersembunyi. Air matanya mengalir deras, menetes ke lantai keramik yang dingin.

Susah payah dia menahan isak tangis yang hampir lolos dari kedua belah bibirnya. Bola mata beriris hitam pekat itu bergerak ke sana kemari. Sesuatu yang basah dan hangat mengalir ke bawah meja mengenai tangannya. Seketika ia mencium aroma besi pekat menguar. Teriakan lolos dari tenggorokannya. Anak itu berlari keluar secepat yang ia bisa. Namun naas, kakinya menginjak cairan pekat dan licin yang membuatnya terpleset jatuh. Tubuhnya menghantam lantai dengan keras. Bola mata remaja itu membelalak lebar ketika melihat ke arah kakinya.

Kepala sekolahnya telah terkapar dengan darah menggenang. Anak itu bangkit berniat lari. Tiba-tiba sebuah benda tumpul melayang dari arah belakang dan menghantam kepalanya. Seketika Nath pingsan.

Saat tersadar, dia berada di dalam ruangan kelasnya sendiri dengan tubuh terlentang di atas meja. Matanya tertutup kain dengan mulut tersumpal. Tangan dan kakinya terikat dengan seutas tali.
Suasana hening menambah kesan horror. Samar-samar terdengar suara jangkrik saling bersahutan menandakan hari mulai gelap. Masih dengan keadaan terikat, dia menggeliat berniat menjatuhkan tubuhnya. Namun sayang, sepasang tangan dengan cepat menangkap dirinya yang hampir berhasil. Anak itu kembali berontak dengan suara yang teredam kain memohon untuk di lepaskan. Suara bisikan yang menyuruhnya diam terdengar sangat familiar. Itu bapak wali kelasnya. Bukannya tenang, anak itu semakin menjadi. Desau angin di luar bangunan menghantarkan aroma amis khas darah.








Nathaniel Vikel, memasang wajah dingin saat Wijaya menyerahkan formulir pendaftaran. Pemuda itu menghempaskan formulir yang diberikan ayahnya. Wijaya menghela nafas lelah.

“Nak, kamu harus bersosialisasi dengan lingkungan. Selama ini kamu hanya menjalani HomeSchooling. Suatu hari nanti kamu pasti akan keluar dari sini, menjalani hidup bersama istri dan anak-anakmu.”

“Tapi pah, aku selama ini merasa baik-baik saja. Aku tidak masalah jika tidak mempunyai teman. Aku juga tidak membutuhkan orang lain selain papah dan mama.”

“Keputusan papa sudah bulat. Pokoknya kamu harus berangkat sekolah hari ini. Formulirnya sudah papa isikan. Kamu bisa langsung belajar di sana walaupun telat seminggu. Papa berangkat kantor dulu nak. Cepat sarapannya atau kamu akan terlambat di hari pertamamu.”

Nathan memalingkan wajah saat Wijaya akan mengelus rambut nya. Wijaya tersenyum maklum. Dia tau anaknya masih trauma akan masa lalu. Tapi setelah konsultasi dengan dokter psikologis pribadi Nathan, dia disarankan agar membawa putranya secara perlahan ke dunia luar.

“Mah, aku tidak mau masuk sekolah. Kenapa mama tidak membujuk papa sih?”
Seorang wanita cantik berumur 35 tahun mendekatinya dan membelai rambutnya penuh kasih sayang.

“Nak, maafkan mama. Tapi papa mu benar. Kau harus melihat kembali dunia luar. Tidak semua menakutkan seperti masa lalu mu. Bahkan ada anak di luaran sana yang mungkin telah melihat kejamnya dunia lebih dari kamu. Nathan harus kuat.” Ayu memeluk tubuh anaknya da mengecup kepalanya. Nathan menarik nafas dalam.

“Baiklah mah. Aku akan berusaha.”
Nathan segera menyantap sarapannya di atas meja sampai habis. Pemuda itu melihat jarum jam menunjuk angka 7. Nathan tersedak.

“Astaga. Sudah terlambat.” Nathan buru-buru berlarian ke atas kamarnya. Ayu yang tengah membereskan meja memperingati agar Nathan hati-hati namun tak di dengarkan pemuda itu.

Nathan membongkar lemari pakaiannya dan menemukan sepasang seragam putih abu-abu lengkap. Ayahnya sudah merencanakan ini semua. Dengan segera dia memakainya. Tak lupa memakai sedikit colegne miliknya yang merupakan hadiah dari sang ibu ketika liburan di Paris dua tahun lalu.

Sekarang dirinya telah siap. Jujur saja Nathan merasa sedikit was-was. Namun sekarang dirinya telah dewasa. Dia sudah siap menghadapi dunia luar. Benar kata ibu dan ayahnya. Tidak selamanya dia bisa mengurung diri di dalam rumahnya.
Sepanjang perjalanan, Nathan memasang wajah tidak bersahabat. Dengan kesal Nathan membawa mobil nya dengan cepat.

“Berhenti gangguin gue!!” Namun tak ada yang menjawab. Nathan melihat ke kursi belakang dari balik kaca spionnya. Inilah salah satu alasan dia tidak ingin keluar rumah.




Liang Chen. Pemuda berdarah campuran Indonesia-china itu sibuk berkutat di dapur menyiapkan sarapan untuk adiknya. Liang dengan terampil memotong-motong sayuran dan menyisihkannya untuk membuat nasi goreng. Terdengar ocehan adik keduanya yang bertanya letak sepatu yang kemarin dipakainya dari kamar atas.

“Diana! Cepat carikan sepatu Dwi. Lo ga liat kakak lagi masak huh?!” Teriak Liang dari dapur. Diana menurunkan tab nya dengan ogah-ogahan.

“Kak, di sini ada pembantu. Kenapa kakak malah melakukan semuanya sendirian sih? Bi Nem, carikan sepatu adek. Aku mau mesen barang online.” Perintah Diana pada salah satu pembantunya di rumah itu.

“Baik non.”

“Diana, lu dah gede. Masa masih nyuruh bi Nem sih? Kaki lo di mana emang?” Seru Liang dari dapur. Diana hanya diam tidak menjawab. Bibirnya di manyunkan mengikuti kata-kata kakaknya. Bi Nem tertawa melihat tuan dan nona mudanya yang bertengkar.

“Tidak apa den Liang, bibi akan cari di kamar non Dwi.”

“Udah dapat!!” Teriak Dwi riang dari kamarnya.

Dwi memakai dasi merahnya dengan susah payah. Diana yang melihat adiknya begitu kepayahan memutuskan berdiri dan membantunya. Liang yang baru saja selesai dari dapur membawa sarapan ke meja.

“Kalian berdua cepetan sarapannya. Ntar terlambat. Kakak mau mandi dulu baru makan.”

“Iya-iya/Baik kakak”

Diana merapikan rambut dan memoles kembali bibirnya dengan lipbalm dari saku seragam. Gadis kelas 2 SMP itu kemudian kembali memeriksa buku-bukunya.

“Ah..kamus bahasa jerman gue mana ya?” Diana menuju kamarnya mengambil kamus. Sementara itu Dwi asik makan sembari berchatting ria dengan teman sekelasnya.

Dwi tidak menyadari seorang gadis aneh berdiri di belakangnya.

Ghost HuntTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang