001 ¦¦ LUCAS

56 5 0
                                    

Uluuu, sobat haluku :3

CAST :

Lucas
Nanda (Berhubung ini first chapter dan gue juga Kang Halu, jadi biarkan gue berbagi kehaluan dengan tokoh diri sendiri, wkwk)
Mark
• Siwon (Bukan lagi promote mie enak kok, ehe :v)

ENJOY!

ENJOY!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌜


Rasanya satu sekolah sama artis? Kayak ada bangga-bangganya gitu, meskipun lo bukan penggemar beratnya bahkan tadinya enggak suka. Tapi tetap aja, ada sesuatu yang berbeda ketika satu sekolah dengan seseorang yang mempunyai nama.

Dan bagaimana jadinya, kalau lo satu sekolah sama artis plus lo penggemarnya? RASANYA SAMPAI SEKARANG GUE MASIH ENGGAK PERCAYA.

Bel istirahat berdering belum sampai satu menit lalu, tapi gue sudah mengemas alat tulis, memasukkan ke kolong meja karena lebih praktis. Meski kesal juga, alat tulis gue—entah itu pulpen, penggaris, tip-x—kecolongan terus.

Setelah Pak Siwon keluar dari kelas, gue juga segera keluar. Menuju kantin yang begitu melewati kelas X IPA 3, langkah kaki gue melambat. Mata gue awas mengelilingi kelas tersebut yang kebanyakan siswa-nya masih merapihkan alat tulis. Salah satunya dia. Iya, Lucas.

Aktor sekaligus penyanyi muda yang saat ini tengah naik daun. Dia awalnya merintis karir dibidang menyanyi, dan baru-baru ini dia menjadi pemeran utama di sebuah film remaja. Tentu saja, akting yang enggak kalah cakep sama wajahnya membuat dia semakin memiliki banyak penggemar. Termasuk gue. Wajahnya yang kembali tampil, kali ini di sebuah iklan kopi membuatnya semakin terkenal saja. Dan enggak nyangka sih, begitu tahu gue satu sekolah sama Akang Lucas yang gantengnya akhlakless itu.

Gue beneran terkejut begitu mendapati dia berjalan melewati gue. Enggak sadar, sedari tadi gue berdiri di depan kelas orang sambil numpang bengong pula.

Jangan bayangkan dia tiba-tiba tersenyum atau menyapa gue. Lucas memang bukan artis penuh pencitraan yang aslinya pelit senyum. Tapi tentu saja, ada waktu privasi yang harus kita hargai. Ya meski enggak menampik, setiap harinya ada saja yang meminta foto bersamanya. Gue pernah menjadi salah satu dari orang-orang itu, dan itu pertama dan terakhir kalinya karena gue bisa menangkap bagaimana dia yang enggak nyaman.

Jadi ya, meski hampir setiap hari bertemu—karena terkadang ada pekerjaan yang mengharuskan dia enggak ke sekolah—sampai sekarang gue hanya memiliki satu potret bersama dirinya, yang sampai gue cetak banyak. Seperti kebanyakan fan girl, gue menaruh foto polaroid itu di dalam anti crack. Ada juga yang gue tempel di buku harian, sebagian gue gantung di kamar bersama foto-foto lain enggak peduli meski isinya sama.

Gue berjalan agak jauh di belakangnya. Sedang di depan gue dia tengah bersama Mark, sahabat sekaligus sepupunya. Tujuan kita sama-sama ke kantin. Ya meski sebenarnya, gue juga malas harus ke kantin yang penuhnya ngalahin antrean sembako itu kalau enggak karena Lucas.

Dia duduk di salah satu bangku, sedang Mark tampak membeli makanan. Dan dari penglihatan—penguntitan—gue selama ini, mereka melakukan itu dengan bergantian. Hari ini Mark yang memesan, besok Lucas. Karena gue sendiri, tentu gue memutuskan untuk membeli makanan terlebih dahulu.

Selesai dengan urusan mengantre, gue memutuskan untuk mencari tempat. Mata gue mengedar ke sekeliling, mencari tempat yang kosong. Namun semuanya sudah terisi kecuali satu, tempat Lucas berada. Mungkin mereka sungkan untuk duduk bersamanya.

Gue beneran bingung, memutuskan untuk makan di kelas meski diam-diam kecewa karena enggak bisa memandang Lucas yang lebih enak dilihat daripada makanan apa pun yang gue beli. Sampai tiba-tiba seseorang berdiri di samping gue, cukup membuat gue terkejut.

"Enggak kebagian tempat?"

Gue mengangguk seraya tersenyum canggung. "I ... iya. Gue duluan ya–" ucapan gue terpotong karena Mark menahan lengan gue. "Ke ... kenapa?"

"Lo mau ke kelas?" Mark kembali bertanya yang hanya gue jawab dengan anggukan. "Lah, ngapain? Orang masih ada yang kosong, kok."

"Eh? Maksud lo–"

"Iya, bareng Lucas. Jarang-jarang, kan." Mark menaik turunkan alisnya jahil.

"Duh, enggak usah, deh." Gue menolak tapi tak menghalau lengan Mark yang kini menarik-narik gue menuju mejanya bersama Lucas.

Ya bagaimana, gue juga senang abis. Seperti kata Mark tadi, jarang-jarang kan.

Gue enggak langsung duduk, beneran ragu dan jantung gue juga enggak bisa diajak kompromi untuk duduk satu meja dengan Lucas.

"Mark?" Hanya itu kata yang dilontarkan Lucas. Dia nampak bingung dengan kehadiran gue dan otomatis gue menelan ludah saking gugupnya.

"Enggak kebagian tempat dia. Sekali-kali, cuma satu orang, kok. Enggak apa-apa, kan?"

"Hm." Lucas hanya berdeham, tampak tak peduli dengan kehadiran gue dan mulai sibuk dengan mie ayamnya.

Sepertinya ada yang retak di sebagian hati gue. Tapi ya mau bagaimana lagi? Kalau tiba-tiba Lucas tersenyum cerah, mengajak gue mengobrol bahkan sampai lanjut di Whatsapp, itu halu mode on.

Gue duduk di samping Mark, enggak mungkin juga kalau duduk di samping Lucas, meski dalam hati mau pakai banget. Gue meletakkan ponsel terlebih dahulu di sebelah piring, mulai menyantap siomay gue dengan hening. Suasana benar-benar canggung, ditambah gue merasa tatapan orang-orang tertuju pada kami dan samar-samar mendengar omongan yang membicarakan gue.

"Eh, itu dia anak IPS itu, kan?"

"Lah, si Nanda kok bisa disitu?"

"Huaa, gue iri banget sumpah."

"Dih, apaan banget si Nanda tiba-tiba bisa duduk bareng Lucas."

Nah kan, baru duduk bareng dia aja sudah sebegininya. Bagaimana kalau jadi pacarnya coba? Oke, halu mode on.

"Hape lo."

Tiba-tiba Mark bersuara, membuat gue tersentak kecil. Tatapan gue beralih pada ponsel dan kembali mengarah pada Mark begitu tidak menemukan sesuatu yang aneh.

"Hape gue, kenapa?"

"Ada foto lo sama Lucas." Dan Mark tertawa begitu gue buru-buru memasukkan ponsel ke dalam saku, menatap Lucas dengan tak enak dan Lucas hanya tersenyum tipis.

EH TUNGGU?!

Gue kembali menatap Lucas dan dia sudah kembali fokus menyantap sarapannya. Entah tadi halu gue sedang dalam mode on atau memang Lucas tersenyum, yang pasti jantung gue semakin berdetak tak normal.

KENAPA HARUS PUNYA MUKA YANG GANTENGNYA ENGGAK ADA AKHLAK, SI?

Gue pengin jedotin kepala ke tembok rasanya, benar-benar enggak kuat bisa menatapnya langsung dalam jarak sedekat ini.

The End

Penginnya sih, bikin cerita gue jadian sama Lucas gitu. Kan kalau jadi kenyataan, aksjdndmsmsksks bangettt.

aksjdndmsmsksks = gue bingung gimana mendeskripsikannya, wkwk :v

Halu (FF/NCT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang