🌛
"SEPULUH! GUE ADUIN YA KE BUNDA!"
Gue mendengus dengan napas yang tidak beraturan, kesal karena kelakuan cowok bernama Ten yang kini sudah raib entah kemana.
Gua melangkah masuk dan seketika ingin menjerit keras-keras. Ten bangke! Bisa-bisanya gue yang jadi korban, padahal ini tugasnya.
Jadi gue dan Ten tinggal di satu komplek yang sama, lebih tepatnya rumah kami sebelahan, sih. Ten punya adik cowok berusia dua tahun, yang pecicilannya bikin gue emosi. Gemes sih anaknya, tapi kan tetap aja kalau dia bandel bahkan sampai ngobrak-ngabrik koleksi album gue, bikin gue pengin lempar kalau enggak inget itu anak manusia, bukan boneka.
Mata gue sontak terpejam begitu mendengar lengkingan keras Lele—adik Ten—diikuti suara tangis yang enggak kalah keras. Memang Chenle—atau biasa di panggil Lele—suaranya cempreng banget. Kalau ketawa ngakak, kalau nangis kejer, kalau teriak ya bikin kuping mendadak budeg.
Penyebab kenapa Lele di sini karena orang tuanya menjenguk nenek Lele yang tengah di rawat, tentu anak kecil tidak diperbolehkan ikut. Tapi memang Si Bangke Ten, dia yang disuruh jagain malah gue yang kena. Gue tadi lagi streaming sambil ngemil waktu Ten tiba-tiba mengetuk pintu, dengan wajah melas bersama balita di gendongannya.
"Lalaaa, bantuin gue jaga Lele lah, petakilan banget ini anak. Gue enggak sanggup jaga sendirian."
Gue membawa Lele ke dalam pangkuan karena bocah berkulit putih itu meronta meminta gua menggendongnya. Gimana pun juga, gue sama Ten ya sahabatan—meski kalau di depan orangnya, gue malas banget mengakui. Jadi baik gue atau Ten, sama-sama dekat dengan keluarga masing-masing termasuk Lele yang udah lengket sama gue.
"Kakaknya aja enggak sanggup, dan lo malah ngasih Lele ke gue." Meski sambil mengoceh, gue tetap masuk ke rumah diikuti Ten yang berjalan di belakang gue.
"Lo kan cewek La, pasti ada naluri keibuan yang bikin Lele lebih kalem, lah."
Gue hanya memutar bola mata, duduk di sofa dan kembali menatap televisi yang menampilkan MV terbaru dari NCT.
"Lalaaa." Ten duduk di samping gue, menatap dengan puppy eyes yang bikin gue punya perasaan enggak enak. Kalau udah kayak gini, tandanya dia enggak cuma membagi kesusahan, tapi memberi seluruhnya ke gue.
"APAAN?" Gue nge-gas, bikin Ten cemberut.
"Galak amat La, entar Lele sawan lagi."
"Bodo amat. Mau apaan lo?"
Ten kini menyengir. "Mau jalan sama doi. Nitip Lele, ya." Cowok itu langsung berlari, membuat gue spontan mendudukan Lele di sofa dan mengejar cowok itu. "Bentar doang, La! Paling jam 3-an gue balik!"
"BENTAR PALA LU KEBAKAR!"
"LO KAN SAHABAT GUE, LA."
Kalau udah gini, baru deh si Sepuluh itu menganggap gue sahabatnya.
🌛
Mata gue perlahan terbuka, memicing menyesuaikan cahaya televisi yang menjadi pemandangan yang pertama kali gue lihat. Di samping gue ada Lele yang tertidur pulas, dengan satu tangan memegang lengan gue erat.
Gue berniat memindahkan Lele ke kamar, tadi kita sedang menonton film kartun seraya berbaring di atas karpet. Tanpa sadar gue terlelap, begitu pun bocah yang rewel abis ini.
Tangan gue meraba sofa untuk mencari remote, tapi yang gue pegang seperti tangan seseorang. Gue menoleh dan sontak menjerit kaget, namun kembali menutup mulut begitu sadar orang itu adalah Ten.
Gue menatap jam dinding dan mendapati waktu masih menunjukkan pukul satu siang. Tumben banget anak ini pulang lebih awal, biasanya ngaret berjam-jam. Janji jam tiga, baru pulang jam tujuh.
"Laaa."
Gue yang tengah menggendong Lele untuk membawanya ke kamar sontak menyuruh Ten diam, menaruh jari telunjuk di bibir takut-takut Lele terbangun.
"Pengin indomie. Bikinin, yaa."
Kalau enggak inget Lele lagi tidur, udah gue jitak itu anak. Nyawa belum utuh sepenuhnya, udah nyuruh-nyuruh gue aja.
Namun sekesal apa pun, setelah menaruh Lele di kamar, gue menuju dapur untuk membuatkan Ten dan gue mie instan. Tiga bungkus mie goreng dengan tiga telur, yang gue taruh di satu piring karena ini sudah menjadi kebiasaan kita. Oh iya, enggak lupa irisan cabe rawit.
Udah gue bilang kan, kita ini emang sebenarnya ya sahabat. Meski sama-sama gengsi mengakui dan seringnya ribut.
"Bangun." Gue memukul bahu cowok itu, sontak membuat Ten terlonjak.
"Astagfirullah Laaa. Enggak bisa apa banguninnya lembut dikit?"
"Dih, siapa lo!"
Ten mengerucut, menenggak air putih sebelum menikmati mie instan goreng yang menjadi favorite kita. Emang ada yang bisa menyangkal nikmatnya mie instan?
"Tumben banget lo pulang lebih cepet." Gue berkata di sela-sela kita makan. Aneh banget Ten jadi enggak banyak ngomong atau jahil, padahal biasanya ada aja kelakuannya yang bikin gue kesal.
"Mau curhat, La."
"Apaan?"
"Gue putus sama Dinda."
Gue terdiam sejenak, cukup terkejut tapi memilih terlihat biasa aja. "Oh."
Gue mengaduh begitu Ten menjitak kepala gue pelan.
"Malah 'oh' doang. Bilang apa kek. Atau setidaknya kaget, keselek, terus mat–gue kasih minum."
"Turut berduka cita."
"Astagfirullah kamu ini berdosa banget."
🌛
"La, lo enggak capek jomblo bertahun-tahun? Gue aja yang baru seminggu udah gabut parah."
Gue memutar bola mata. "Terus? Masalah gitu?"
Lengkingan gue sontak terlontar begitu Ten dengan jahil mencolek adonan, dan menempelkan di pipi gue. Cowok itu hanya tertawa kemudian beranjak dari dapur.
Ini hari minggu dan tiba-tiba aja bunda—Mamahnya Ten—ngajak gue bikin kue bareng. Enggak aneh sih, kadang bunda emang suka tiba-tiba ngajak masak atau bikin kue.
"Bun, anaknya jahil banget, sih. Masa Lala diolesin adonan gini." Gue cemberut seraya mengusap wajah dengan tisu basah.
Bunda yang tengah membuat butter cream hanya terkekeh. "Gitu-gitu, kalian saling sayang, 'kan?"
"Hoek!"
Itu Ten, yang tiba-tiba aja udah ada lagi di dapur.
Gue hanya memutar bola mata, kembali mengaduk adonan dengan Ten yang berdiri di samping gue. Menonton seraya menggigit apel yang baru ia ambil dari kulkas.
"La, kalau lagi gini kok gue ngeliat lo kayak calon istri idaman banget, ya. Bisa masak, bikin kue, cantik enggak sih, tapi ya rasanya dunia gue damai gitu tanpa teriakan lo."
"Oh."
"Hayuklah jadi istri gue. Kan sama-sama jomblo kita."
"Oh aja gue mah."
"Ini anak, enggak bisa diajak romantis dikit, ya. Emang kerjaannya bikin gue kesel terus."
"Sekali lagi ngomong, ini adonan gue lempar ke muka lo, ya."
"Lala mah, gue bercanda doang juga. Tapi kalau mau nikah sama gue, ya ayo. Enggak nol–"
Ten otomatis kicep, begitupun dengan bunda yang tiba-tiba berhenti dari kegiatannya. Gue benar-benar melempar Ten dengan adonan.
The end
KAMU SEDANG MEMBACA
Halu (FF/NCT)
FanfictionKayaknya kehidupan anak jaman sekarang kurang lengkap tanpa halu. Apa pun bentuk kehaluan itu. Buat lo yang hobi halu, kisah-kisah di cerita ini pas untuk lo. Setidaknya, lo punya teman yang sama-sama tukang halu. Buat lo si Kang Halu, welcome to HA...