008 ¦¦ WINWIN

15 3 0
                                    

🌛

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌛

"Udah gue peringatin, kan?! Kalau lo enggak suka, bilang enggak bukan malah iya-iya aja Bangs*t!"

Kak Winwin menangkis tangan Bang Jae dari kerah kemejanya, dengan tatapan dan raut yang datar. "Lo emang temen gue. Tapi bukan berarti punya hak buat mengatur."

Bugh!

"LEA ADIK GUE!"

Gue sontak memejamkan mata, memegang pada sisi tembok dengan tangan yang gue rasa gemetar. Bang Jaehyun seseram itu ketika marah.

Berusaha melawan ketakutan, gue melangkah mendekati kedua cowok yang masih saling adu jotos. Sekuat mungkin berteriak, otomatis membuat pertikain itu berhenti.

"STOP! GUE BILANG STOP!"

"Le–"

Gue menatap Bang Jaehyun tajam, mendekati Kak Winwin yang gue lihat lukanya lebih parah. Tanpa banyak kata, gue membantu dia berdiri dan memapahnya menuju UKS. Namun langkah gue terhenti, karena Bang Jaehyun menahan lengan gue.

"Lo ngapain nolongin cowok brengs*k itu?" Dari nadanya, terdengar amarah yang berusaha dia tahan.

"Luka dia parah." Gue melepas cekalannya dengan paksa, melanjutkan niat awal untuk membawa Kak Winwin ke UKS.

UKS terletak di lantai dasar, sedangkan posisi kami tadi sedang di rooftop yang berada di lantai tiga. Tak ada yang berbicara di antara kami, gue hanya fokus memapahnya seraya berharap secepatnya sampai. Meski gue tahu, tatapan Kak Winwin sesekali tertuju pada wajah gue.

"Le–"

"Diem." Gue memotong ucapannya yang sontak membuat mulutnya kembali terkatup rapat.

🌛

Gue menarik senyum kecut, begitu mata gue tertuju pada foto polaroid yang tergantung di dinding dengan lampu tumbler yang dibiarkan mati. Kaki gue melangkah menuju dinding yang terdapat potret itu, kemudian mencopot salah satunya.

Di sana terpampang wajah gue dan Kak Winwin. Gue yang tersenyum lebar ke arah kamera, dan Kak Winwin yang hanya tersenyum tipis seraya merangkul bahu gue.

Kepala gue tertunduk, membuat air mata yang sedari tadi tertahan jatuh. Apa kebersamaan kami selama kurang lebih setengah tahun, tak cukup membuat perasaan dia berubah? Setidaknya sedikit saja. Kenapa juga dia membiarkan gue masuk ke dalam hidupnya, jika sedari awal bahkan sampai sekarang dia tak pernah benar-benar menerima?

Apa gue harus menyesal karena hari itu dengan nekat menyatakan perasaan kepadanya? Seseorang yang paling cuek di antara kedua teman dekatnya yang tak lain adalah Bang Jungwoo dan Bang Jae—kakak gue sendiri. Tapi kenapa juga, saat itu dia tidak menolak? Karena pada akhirnya, gue harus selalu kembali menganggap wajar ketika mengetahui dia sering pergi bersama cewek lain, bahkan gue seakan menjadi yang kedua ketimbang cewek-cewek itu.

Selama ini ... sepertinya gue terlalu bodoh.

Gue kembali menatap foto itu, sebelum akhirnya meremas dan membuangnya asal.

🌛

"Mau ke mana?"

"Minimarket." Gue hanya menjawab pertanyaan Bang Jae singkat, memakai tudung sweater yang membalut tubuh. Hujan baru reda beberapa menit lalu, masih menyisakan gerimis kecil namun gue terlalu bosan berada di rumah. Setidaknya satu cup mie instan bisa menjadi pengalihan agar gue tidak terus menerus mengingat Kak Winwin.

Kaki gue melangkah santai menuju minimarket yang terletak di ujung komplek, dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Tak ada rasa takut menyusuri komplek yang sepi sendiri, ketika gerimis masih turun dan jarum pendek hendak menunjuk ke arah angka sembilan.

Gue memasuki minimarket yang sepi, mengambil satu cup mie instan pedas dan sebotol air mineral yang tidak dingin. Selesai membayar dan menyeduh mie, gue duduk di bangku yang disediakan di halaman minimarket. Mulai hendak menyantap, namun mie masih panas membuat gue terpaksa menunda terlebih dahulu.

Hingga tiba-tiba sebuah mie dan air mineral serupa disimpan di meja, disusul seseorang yang duduk berhadapan dengan gue.

Gue menengadahkan kepala, sebelum akhirnya mendapati Kak Winwin yang kini sibuk dengan ponsel.

Gue hendak beranjak, namun urung karena cowok itu menahan lengan gue. "Di sini aja."

"Gue pengin sendiri."

"Gue lagi pengin ditemenin."

"Minta cewek-cewek itu temenin lo, jangan gue." Gue menjawab sarkas, samar gue dengar helaan napasnya.

"Lea ... mereka cuma teman gue."

Gue masih enggan menatapnya, memilih memandang jalanan yang sesekali dilalui kendaraan. "Gue juga, 'kan?"

Tiba-tiba saja tangan gue sudah berada di genggamannya. "Lo pacar gue."

Gue mendengus, berusaha melepas genggamannya namun tenaga dia jauh lebih kuat.

"Lihat gue. Tatap mata gue."

Perlahan gue mengalihkan tatapan, tepat menatap iris kecokelatannya yang kini memandang gue lekat. Di waktu yang bersamaan, rasa sesak itu terasa. Kebersamaan kita seperti terekam dalam kepala, sebelum akhirnya berputar menampilkan setiap kecewa yang dia buat.

Saat itu gue merasakan ibu jarinya mengusap pipi gue, yang ternyata tanda sadar buliran bening itu kembali jatuh.

"Lo dan mereka itu beda, Le."

"Status kita aja yang beda. Sedangkan ... sedangkan rasa itu sama. Lo tetap menganggap gue teman. Atau lo hanya menganggap gue sebagai adik. Selama ini cuma gue yang terlalu berharap lebih. Selama ini gue bodoh. Gue terlalu memaksa lo agar tetap di sini, meski kenyataannya rasa yang gue punya itu enggak pernah terbalas. Lo boleh pergi, gue enggak akan menahan."

Hening beberapa detik, sebelum akhirnya Kak Winwin membuka suara. "Udah ngomongnya?" Dia berdecak seraya mengalihkan tatapan dan melepas genggamannya.

Diam-diam gue tersenyum kecut.

Namun gue dibuat terkejut begitu dia duduk di samping dan membawa gue ke dalam dekapannya. "Maaf .... Tapi lo harus tahu, selama ini gue juga punya rasa yang sama. Gue hanya bingung dan terlalu kaku."

"Cewek-cewek itu?"

"Dia teman gue, Lea. Mungkin gue salah, karena menganggap pergi sama mereka hal wajar. Karena itu, lo kasih gue kesempatan buat berubah, ya?"

"Pacaran kok di minimarket."

Gue sontak menarik diri dan mendapati Bang Jae yang tengah menyeruput kopi hangat, menutup pintu minimarket dan bergabung bersama kami.

Gue berdecak seraya menatapnya malas. Dan tanpa diduga, Kak Winwin malah kembali mendekap gue.

"HEH! ADEK GUE!" Kuping gue rasanya ingin pecah jika terus menerus mendengar teriakan Bang Jae.

"Kak Win–"

"Stt, diem. Dia jomblo."

Kami tertawa begitu Bang Jaehyun menendang kaki meja dengan kesal.

The end

Mau haluin Mas Menang dulu. Yang blm lama ini ultah dan jadi Winderella 😭

Inget Ariyang di Bad Alive bengeek😭

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Halu (FF/NCT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang