Galau

3.1K 430 20
                                    

"Tumben, Bang, jam segini udah nongkrong sini, gak malam mingguan?"

Azka meletakan gitar milik Adi, pemilik warkop dekat rumahnya, memilih menyeruput kopi susu yang baru selesai di seduh. Waktu memang sudah menunjukan pukul delapan malam, biasanya Azka sudah pergi untuk nongkrong atau pacaran di mall atau cafe. Tapi malam ini dia memilih nongkrong di warkop dekat rumah. Karena... Azka belum mendapatkan Dinda.

Tadi sore, selepas berkumpul, Dinda memilih pulang, padahal biasanya ayo saja diajak lanjut wisata kuliner berdua, atau diajak nongkrong di cafe sampai larut, kadang sampai si mantan brengseknya itu menelepon memintanya pergi dengan dia.

Apa mungkin Dinda tidak suka dengan pengakuannya? Atau masih galau dan belum move on dari tunangan berengseknya? Jujur saja, Azka sudah sering melihat mantan tunangan Dinda itu jalan berdua dengan wanita yang dibilang Dinda asisten Randi, kadang di mall, saat Azka sedang nongkrong dengan teman kerjanya, atau di cafe, saat Azka sedang pacaran, mantan tunangan Dinda juga ada, berdua dengan wanita lain.

Jika Dinda akan sesakit sekarang ditinggal laki-laki berengsek itu, mungkin seharusnya Azka memberitahu Dinda sejak lama... Tapi jika begitu, pengakuannya akan terdengar sangat modus.

"Malah melamun," tegur Adi, "putus ya, Bang, sama pacarnya? Cari aja lagi atuh, itu di kostannya banyak yang cantik-cantik."

Azka mendelik, menegur tidak suka, "gak usah resek, yang kost di sana orang-orang baik."

Adi menunduk malu, "iya, Bang, maaf, bukan maksud begitu."

Azka menyeruput lagi kopinya hingga tandas, dia sudah meminta pada Mamanya, agar anak kost selalu bilang jika ada anak kampung yang mengganggu mereka, karena kewajiban Azka membuat anak-anak yang kost di rumahnya merasa nyaman dan aman. Di sekitaran rumahnya juga sudah pada tahu, jika Azka akan mengamuk atau langsung main hukum jika ada warga yang julid pada anak-anak kost yang kesemuanya perempuan dari luar kota, biasanya, karyawan mini market atau karyawan apotek, yang tempatnya tidak jauh dari kompleks.

Azka meletakan uang sepuluh ribu untuk segelas kopi susu, "balik dulu."

"Iya, Bang."

Azka melewati rumah yang dijadikan kost-kostannya, pagarnya masih terbuka, padahal hari-hari biasa habis isya juga sudah ditutup. Azka melongok sedikit, ada motor matic dan sepasang perempuan dan laki-laki sedang duduk di teras, pintu rumahnya dibiarkan terbuka. Azka mengangguk puas, pengisi kost-kostan memang orang baik, menaati peraturan Mamanya yang mengharuskan membuka pagar dan pintu rumah jika ada laki-laki yang bertamu.

Azka melanjutkan langkahnya, kedua tangannya dimasukan ke saku, melewati anak-anak kecil yang masih berlarian di jalan di awasi Ibu mereka sambil bergosip dengan tetangga. Mereka menyapa Azka yang dibalas dengan anggukan. Azka juga melewati remaja-remaja yang sedang bermain gitar.

"Main, Bang?"

"Gak, mau balik."

Azka melanjutkan langkahnya, melewati pos ronda yang ditempati remaja-remaja perempuan yang terkikik seraya memainkan ponsel. Sampai akhirnya Azka sampai di teras rumah, Azka duduk bersandar dengan kaki panjangnya terselonjor ke depan, menatap langit gelap.

Begini mungkin ya rasanya galau. Kangen tapi bukan siapa-siapa, mau chat atau telepon takut mengganggu.

Hadeuh.

Azka menghela napas panjang, mengeluarkan ponsel, membuka halaman chatnya dengan Dinda, mengetik beberapa kata.

Din, lagi apa?

Azka menghapusnya lagi. Kayak chat anak bawang. Mengetik lagi.

Dinda, nongkrong yuk.

Azka menghapusnya lagi, meletakan ponsel di meja, jika nongkrong berdua, mereka pasti mati gaya. Saat berkumpul tadi saja, Dinda seperti sengaja tidak mengajaknya mengobrol, memilih bicara dengan Alika dan Anita saja, membuat acara kumpul mereka terbagi dua, grup obrolan perempuan dan grup obrolan laki-laki. Dinda enak ada Alika yang bisa diajak ngobrol panjang lebar, sedangkan dirinya? Cerita panjang lebar, hanya dibalas anggukan, gumaman atau seuprit komentar dari Bara dan Samudera yang setuju saja dengan tanggapan Bara.

Yah, walaupun begitu, acara kumpul tadi seru sih, bisa melihat sahabatnya bahagia dengan kehidupan pernikahan mereka. Bara dan Samudera terlihat selalu menanggapi apapun yang dikatakan Alika dan Anita.

Bagaimana nanti dirinya dengan Dinda...

Azka berdecak, mengacak rambutnya sendiri kesal. Diterima saja belum, pikirannya sudah ke mana-mana.

"Hadeuh, parah, gini ternyata rasanya galau."

"Siapa yang galau?"

Azka menoleh, Rizka, Mamanya berdiri diundakan, mengenakan setelan gamis dan membawa tas kecil.

"Udah selesai acara sukurannya?"

"Udah," Rizka ikut duduk di teras, "kenapa? Galau?"

"Enggak," elak Azka.

Rizka berdecak, "tumbenan galau, biasanya gonta-ganti pacar."

Azka tidak membalas.

"Dari pada galau gak jelas," kata Rizka lagi, "mending pake pendekatan cara biasa aja, biar jelas, diterima, sukur, gak diterima ya udah."

Azka melirik Rizka. Apa cuma Mamanya yang paling santai dengan hubungan asmara anaknya? Tidak pernah menyuruh Azka cepat-cepat menikah, tidak juga menuntut Azka harus membawa pacar ke rumah, padahal usianya sudah tiga puluh lima.

"Udah ah, Mama masuk dulu, capek dari acara sukuran."

Azka bergumam, padahal yang didatangi Mamanya acara sukuran khitanan anak laki-laki di belakang rumah. Tidak lebih dari tiga puluh menit juga. Azka mengikuti Rizka masuk rumah, melihat Juni, adik laki-lakinya sedang bermain game sendiri.

Adik yang usianya terpaut jauh, Juni lahir saat Azka berumur 20. Mereka malah terlihat seperti bapak-anak daripada kakak-adik.

"Abang kalau galau jangan ajak-ajak Juni lah," protesnya saat Azka duduk melamun di sampingnya.

"Kapan Abang ajak kamu ngegalau?"

"Ini," Juni mengedikan bahunya ke samping, "Abang duduk di sini, ganggu Juni aja."

"Hilih," Azka berdecak, pindah duduk ke kursi, menonton Juni bermain gocart. Lama-lama dia greget juga, Azka memasang stick game, mengajak Juni balapan. Mereka main sampai hampir tengah malam. Juni disuruh tidur, masih kecil, tidak boleh begadang sampai pagi.

"Kalau mau begadang sampai pagi, harus kayak Abang dulu."

"Tua?"

"Kaya raya," jawab Azka sebal.

Juni tidak protes, langsung masuk kamar. Azka kembali dengan kegalauannya. Dia membuka ponsel, membuka lagi halaman chatnya dengan Dinda. Melihat kata online di bawah foto profilenya.

Azka mengetik. Kok belum tidur?

Idih gelay. Azka menghapusnya lagi.

Kenapa belum tidur, Din?

Kepo amat. Azka menghapusnya lagi. Dia mengetukan ponsel, tidak terpikirkan harus mengirim chat apa. Tahu lah. Azka melemparkan ponselnya ke sudut kursi, dia tidur terlentang, melihat langit-langit rumah.

Ting. Tanda chat masuk membuat Azka menoleh. Dia mengambil ponsel dengan kakinya. Pop up di layar menunjukan chat dari Dinda. Azka terperangah senang, segera membukanya.

"Mengetik mulu daritadi, ditungguin tapi gak dikirim-kirim chatnya, ada apa sih?"

Azka mengernyit, kok Dinda bisa tahu?

###

Mapan 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang