06.07
Alba, kucingku, lagi-lagi membangunkanku di pagi hari. Alarm belum berbunyi tapi kucing abu-abu ini selalu meminta makanan pada pukul 6. Mau tak mau aku harus bangun dan mengambil makanan kering di lemari dekat kamar mandi apartemenku. Setelah menatap Alba cukup lama, aku memutuskan untuk membuat kopi instan dengan mesin kopiku.
Ponselku mulai mengeluarkan bunyi alarm, aku berlari kecil ke dalam kamar dan mematikan alarm. Setelah itu, aku merapihkan ranjang dan meninggalkan kamar tidurku. Aku menyalakan televisi dan menghangatkan makanan yang semalam ku beli dari mini market dekat rumah sakit tempatku bekerja.
Televisi menampilkan berita cuaca hari ini, akan cerah hari ini, baguslah. Alba sudah tertidur lagi, giliran aku yang harus beraktivitas. Hari ini jadwalku jaga pukul 10 pagi.
Aku bekerja sebagai psikolog selama 4 tahun belakangan. Umurku 29 tahun dengan tinggi 184cm dan golongan darah AB. Aku hidup sendiri jauh dari keluargaku yang ada di belahan kota lain. Ayahku adalah seorang pengacara penting di Bandung, sedangkan ibuku adalah seorang dosen di salah satu universitas terkenal juga di Bandung.
Richard Ananda Hardianta, M.Psi.
Namaku cukup umum untuk orang Indonesia. Kepintaran yang ku dapat dari kedua orang tuaku pun membuatku lulus tepat waktu dan diterima di salah satu rumah sakit swasta sekaligus praktik pribadi di kantorku yang terletak di tengah kota. Jadwalku di rumah sakit hanya saat akhir pekan, sedangkan aku akan mengambil praktik pribadi pada hari selasa-kamis.
Ah, sudah pukul 9 saja. Aku yang sudah siap langsung mengambil dompet dan kunci mobil. Tak lupa memberikan persediaan makan untuk Alba sampai nanti sore. Tenang saja, mesin pemberi makan kucingku bisa diwaktu.
20 menit perjalanan terasa cepat karena jalanan kota cukup sepi karena ini bukan jam sibuk. Sesampainya di rumah sakit suster Emi menyambutku dengan senyum lebar. Dia sangat baik padaku, tentu saja berkedok ingin tidur denganku. Enak saja, dia pikir aku mau dengan dirinya yang sudah tidur hampir dengan semua staf di rumah sakit ini?
"Dokter Richard, hari ini ada 4 janji sampai pukul 12 siang. Terus jam 2 ada janji temu sama direktur, katanya sih ada rujukan pasien yang sembuh dari rsj, lebihnya ada di email dokter"
Aku menatap iPad yang menunjukan tampilan data pasien. Wanita berumur 45 tahun dengan fisik nyaris sempurna. Terkena beberapa gangguan jiwa yang sudah 3 tahun di rumah sakit jiwa karena beberapa kali mencoba bunuh diri.
"Makasih suster Cika, saya ke ruangan dulu" ujarku yang dibalas anggukan olehnya.
Ruanganku lebih berwarna dibanding ruangan lainnya di rumah sakit ini. Alasannya karena aku harus membangun mood pasien. Aku meletakkan tas kerjaku dan membereskan berkas yang minggu lalu sempat menjadi bahan diskusi dengan rekan psikologku.
Mamah💕
Richard, mamah kirim paket roti kering bikinan nenekYou
Iya mah. Makasih mah, salam buat nenekSetelah membalas pesan singkat dari mamah, aku langsung meletakkan ponsel di laci. Sebisa mungkin fokus dengan pekerjaan. Aku tipe orang yang tidak ketergantungan ponsel genggam. Dampak buruk bagi mental yang sangat dahsyat dari benda kotak itu yang membuatku kurang menyukainya.
Setelah beberapa lama berkutik dengan laptop, aku menerima pasien pertama. Pasian yang menderita PTSD atau Post-Traumatic Stress Disorder. Namanya Karenina Ayodya. Seorang penyanyi terkenal jebolan agensi ternama di Indonesia. Banyak yang berkata bahwa artis memiliki kepribadian yang percaya diri dan selalu bahagia, nyatanya tidak. Nina adalah salah satu artis dengan gangguan mental yang tidak diketahui orang banyak, hanya beberapa keluarga dan teman dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Souluz
RomansaAku ingin tahu kau lebih dalam. Sinarmu sangat terang tapi semua itu yang palsu. Kau bilang kau kehilangan jiwamu. Namun, menurutku itu tidak hilang, hanya saja kau tidak mau menerimanya *** Selama ini aku hanya berdua dengan dia. Aku baik-baik saja...