"Apa Papa yakin, Pa...?"
Aku menatap pria baruh baya yang kini sedang duduk tenang dihadapanku. Wajahnya yang tampak lelah tak pernah bisa menyembunyikan ketampanannya.
Diusianya yang sekarang papa masih terlihat gagah dan menawan. Andai saja dia bukan Papaku pasti aku sudah jatuh cinta padanya.
"Tentu... tapi kalau Bulan tidak mengijinkan, Papa tidak akan memaksa."
Suaranya yang begitu tenang dan menghanyutkan seakan siap melelehkan siapa saja yang ada di hadapannya termasuk aku, ah papa....sebenarnya ada apa denganku? Kenapa aku sepertinya tak rela jika papa mempunyai wanita lain dalam hidupnya selain aku? Apa karena selama ini aku terbiasa berdua dengan Papa dan sekarang aku harus rela membagi cintanya dengan wanita lain yang asing bagiku.
"Pa... kasih waktu Bulan buat berpikir ya...."
"Tentu, Papa tidak akan memaksamu untuk memberikan jawaban sekarang. Apapun keputusan Bulan, Papa akan menerimanya."
"Makasih ya, Pa. Bulan ke kamar dulu, Pa."
Aku bangkit dari tempat duduk menghampiri Papa yang masih duduk ditempatnya, sekilas mencium pipinya dan beranjak kembali ke kamarku.
Semalam aku terjaga memikirkan permintaan Papa untuk menikah lagi, aku tahu selama ini mungkin Papa kesepian dan butuh seseorang yang bisa diajaknya bicara. Tapi apa papa akan melupakan aku setelah dia menikah lagi nanti? Apa papa akan lebih sibuk lagi setelah punya istri nanti, apa masih ada waktu untuku untuk bermanja seperti biasanya?
Apa wanita itu baik? Apa dia sebaik mama? Aku bahkan tidak pernah mengenal mamaku. Seperti apa mamaku? Apa dia baik? Cantik? Aku mirip siapa ya? Apa aku mirip papa atau mama?
Sejenak aku memandang wajahku di cermin... mataku sepertinya mirip Papa, hidungku dan bentuk wajahku...ah...aku benar-benar mirip Papa..hanya warna mata kami yang beda.. papa berwarna coklat hazel dan aku hitam, apa ini mata mama?
Jarum jam yang berdetak seakan menjadi teman setia malam ini, entah mengapa aku sulit memejamkan mata saat ini. Rasanya batray di dalam tubuhku masih full terus hingga pagi menjelang dan aku pun belum menemukan jawaban untuk kuberikan pada Papa pagi ini selain lingkaran hitam sekitar mata dan wajah yang sayu karena terjaga semalam.
Saat aku menuruni tangga suasana meja makan terasa sepi. Mungkin Papa sudah berangkat duluan ke kantor, kasihan Papa, sepertinya dia memang butuh seseorang untuk mengurusnya lebih dari aku. Mungkin nanti sepulang sekolah, aku bisa menyapanya di kantor seperti biasanya saat aku tak ada jadwal les atau mojok sama teman-teman.
Bergegas aku menyalakan motorku dan mulai melenggang ke sekolah. Bel sudah berdentang ketika aku tiba di parkiran. Secepatnya aku lari ke kelas, berharap kelas belum ada gurunya atau aku akan kena teguran lagi.
"Telat lagi, Yuan .... ?" Mirna sudah mulai cuap-cuap ketika aku mendudukan pantatku di kursi.
"Hehehe, semalam aku begadang," jawabku santai sambil mencari buku pelajaranku.
"Sejak kapan lo hoby begadang?"
"Sejak nyokap gue mau nikah lagi," jawabku pelan.
"What? Serius?!" kini Mirna yang terlihat cengo, wajah bulatnya tampak lucu dengan mulutnya yang menganga, kali di timpuk dengan buntalan kertas pasti masuk, apalagi di tambah dengan matanya yang melotot gitu, dasar lucu.
"Yuan..., Mirna....kalau masih masih mau ngobrol silahkan tinggalkan kelas saya!"
Suara Bu Sri membuat aku dan Mirna jadi diam seketika dan mengunci rapat mulut kami, kalau tidak kami bakalan disuruh bersihin kamar mandi horor di halaman belakang.
Hari ini rasanya waktu berlalu begitu lambat. Entah sejak kapan aku tak tahu yang jelas, mataku tiba-tiba saja terasa berat. Aku sudah menguap beberapa kali. Aku menggelengkan kepalaku menahan ngantuk yang mulai mengusai, mengalahkan alam kesadaranku.
"Yuan, cepat cuci muka dan segera kembali ke sini lagi!" terikan itu membuatku mendongakan kepala dengan susah payah.
"Ya, Bu," jawabku lesu dan beranjak bangkit dari duduk.
Dengan langkah gontai aku meninggalkan kelas, rasa kantuk ini benar-benar menyiksa. Sudah beberapa kali aku tersungkur karena mataku benar-benar tak bisa diajak kompromi. Seperti terkena lem super. Perjalan ke toilet pun rasanya lebih lama dari biasanya. Entahlah... Mungkin kakiku menemukan route yang berbeda dari biasanya.
Tanpa sadar aku melangkah ke taman belakang... semilir angin yang berhembus seakan memanggilku untuk merebahkan diri di bawah rindangnya pohon, aku bahkan tidak ingat lagi tujuanku keluar kelas. Aku hanya butuh tempat melelapkan mata sejenak.
Rumput yang hijau terasa empuk, seperti sebuah permadani yang mengundang untuk di tiduri. Dan akhirnya aku mencari posisi yang nyaman untuk tidur, toch tempat ini sepertinya cukup terlindungi juga dari pandangan orang. Setidaknya tidur beberapa menit akan mengurangi kantukku. Dan akhirnya tak perlu waktu lama bagiku untuk terbuai dalam tidurku.
KAMU SEDANG MEMBACA
sorry
Ficción Generalaku tak pernah bermaksud masuk dalam hidupmu dan membuat semuanya berantakan tapi aku juga tak bisa menyalahkan waktu yang membuatku terikat padamu.