Tujuh

5.8K 528 220
                                    


Baru juga tadi siang syukuran followers nambah sampe 400, eh belum nyampe dua menit update nih lapak, udah jadi 398😌

Ayo sini ngomong sama saya, mau kalian apa, sih sebenarnya? Kan udah saya bilang, Jangan follow kalo pada akhirnya di-unfoll😌

Kalo cuma iseng karena gabut, jangan tekan tombol 'follow' dong. Berasa di-php-in tau gak🤧








.......

Sudah dua minggu Jaehyun pergi, dan sudah dapat ditebak, betapa sepinya hari yang Jisoo jalani. Tak ada lagi sapaan dengan senyum hangat yang menyambut pagi. Sekali pun setiap malam rutin bertatap muka melalui ponsel pintar, rasanya tentu tak sama dengan bertatapan secara langsung. Ada kekosongan yang begitu terasa. Namun, Jisoo tak bisa berbuat apa-apa.

Ia tak ingin, jika ia mengutarakan kehampaan yang ia rasakan, Jaehyun pasti merasa terbebani. Jisoo hanya bisa memendam rindu yang begitu cepat ia rasa, bahkan Jaehyun pun belum sampai satu bulan di sana, tapi Jisoo sudah begitu rindu. Ia harus berpuas diri dengan menatap wajah Jaehyun di layar ponsel.

“Aku pulang,” katanya saat membuka pintu rumah.

Ia berdiri di ambang pintu rumah dengan bingung, melihat ayahnya—Kim Jaejoong—dan ibunya yang tengah duduk dengan tampang lesu di kursi. Hari masih cukup siang, tidak biasanya ayahnya sudah berada di rumah jam segini.

“Ayah, Ibu, ada apa?” tanyanya sambil menghampiri kedua orang tuanya.

Sandara dan Jaejoong menoleh, mereka menatap Jisoo yang mengambil tempat di kursi depan mereka dengan pandangan bersalah. Membuat Jisoo semakin dilanda kebingungan. Sepertinya telah terjadi sesuatu.

“Semuanya baik-baik saja, 'kan?” Jisoo kembali bertanya, dan entah karena alasan apa, ia merasakan firasat tak menyenangkan saat ini.

“Perusahaan tempat ayah kamu bekerja mengurangi jumlah karyawan, karena kondisi perusahaan yang tak stabil, dan ayah kamu menjadi satu-satunya karyawan paruh baya yang diistirahatkan,” jelas Sandara pelan.

“Maafkan Ayah, Nak,” ucap Jaejoong penuh rasa sesal.

Jisoo terdiam, masih mencerna hal yang baru diterima oleh otaknya. Jika ayahnya dipecat di usia yang tak lagi muda, maka sudah jelas ayahnya susah untuk mendapatkan pekerjaan baru. Artinya, jika ayahnya tak bekerja, dari mana mereka mendapatkan uang. Seokjin? Kakaknya memang sudah bekerja, tapi Seokjin sudah memiliki keluarga yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Tak mungkin mereka mengandalkan gaji Seokjin yang tak seberapa.

Jaejoong mengeluarkan amplop coklat dari tas kerja di sampingnya, menaruh amplop tersebut di atas meja. Ia melirik Sandara dan Jisoo bergantian. “Ini uang pesangon ayah, hanya seadanya.”

“Jika kita membuka usaha dengan uang ini? Bagaimana dengan kuliah Jisoo, tapi jika uang ini digunakan untuk kuliah Jisoo, bagaimana cara kita bertahan hidup?” kata Sandara. Pertanyaan itulah yang membuat Jaejoong dan Sandara bingung saat ini.

Jaejoong hanya pegawai kantor dengan jabatan biasa, tentu saja pesangon yang ia dapat pun tidaklah banyak. Jisoo mengerti, kuliahnya memang penting. Namun, di situasi seperti ini, ia tak bisa egois. Ia harus bisa berpikir dewasa. Mau tak mau ia harus mengalah.

“Jisoo tidak apa-apa, Yah, Bu,” katanya berusaha setenang mungkin. Ia lemparkan senyum yang sekiranya bisa mengurangi beban orang tuanya. “Jisoo bisa ambil cuti kuliah dulu, kita bisa membangun usaha kecil-kecilan dulu dengan uang pesangon Ayah.” Hanya itu jalan satu-satunya. Ini yang terbaik untuk semuanya. Meskipun cukup berat bagi Jisoo.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Little (second) WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang