a - har

32 3 0
                                    

"Tidak bisakah kau mati saja?"

Tawa Danny seketika menyembur keluar saat mendengar ucapan Tara yang pedas bersama dengan nada suara dinginnya yang begitu khas. Astaga, sepertinya Danny benar-benar masokhis. "Kau tidak tahu, ya? Aku tidak bisa mati, Tara." balasnya kemudian sambil terus mengikuti langkah Tara di lorong sekolah menuju lapangan atletik.

Tara menoleh pada Danny penuh kekesalan. Bagaimana ia tidak kesal? Laki-laki itu selalu mengikutinya ke manapun sejak pengakuan bahwa ia penyuka sesama jenis! Bahkan 'mengikuti' tampaknya bukan kata yang pas untuk menggambarkan apa yang dilakukan Danny selama ini. Mungkin 'menempel seperti lintah' lebih cocok. Astaga, merepotkan sekali.

Yang ditatap oleh Tara malah tidak merasa bersalah sama sekali. Laki-laki itu dengan ringannya membalas tatapan Tara dengan senyuman senang sambil menaruh lengannya di bahu gadis itu, merangkulnya dengan sikap sok akrab. Tara benar-benar tak habis pikir. Kelihatannya di seluruh galaksi, mungkin hanya Danny yang paling tidak memiliki malu sedikit pun.

Tara mendengus. Ia menepis lengan Danny dari bahunya sembari memandang ke arah lorong, di mana orang-orang memandangi mereka penuh rasa ingin tahu. Bertanya-tanya apa hubungan di antara mereka karena mereka memang terlihat dekat akhir-akhir ini. Tapi meski begitu, meski gosip mengenai kedua orang itu telah dibicarakan, tak ada yang benar-benar berani membicarakannya secara terang-terangan ataupula menanyakannya secara langsung kepada yang bersangkutan. Jangan lupakan fakta bahwa mereka adalah para ketua di sekolah itu.

Tanpa menatap Danny, Tara berucap dengan suara datar, "Kau tidak memahami ucapanku tempo hari, ya? Apakah kau tidak memahami bahasa manusia? Jadi apakah ada bahasa orang brengsek? Aku ingin mempelajarinya."

Detik setelah Tara menyelesaikan kalimatnya, tawa terbahak-bahak Danny menguar dengan begitu keras. Saking merasa apa yang diucapkan Tara adalah hal yang lucu, Danny sampai berhenti melangkah dan berjongkok karena kakinya lemas. Tawa itu mengejutkan semua orang yang berada di sana, tak terkecuali Tara yang juga langsung menoleh pada laki-laki itu meski hanya selama dua detik. Sebelum Danny menyelesaikan tawanya, Tara dengan begitu tak pedulinya berjalan pergi, melanjutkan langkahnya menuju lapangan.

Dengan sigap tangan Danny menahannya—tentu saja. Danny menggenggam jemari Tara masih sambil tertawa. Tara kembali menatap Danny penuh keheranan. Akhirnya Danny berhasil mengendalikan tawanya. Ia melihat Tara dengan senyum super lebar dan mata berbinar yang begitu memesona. Tara sampai mengalihkan pandangan karena tidak sudi terpesona. Bahkan karena terlalu sibuk mengendalikan keterpesonaannya, Tara sampai lupa bahwa tangannya masih berada di dalam genggaman Danny.

Danny memerhatikan tangan Tara yang begitu kecil di dalam genggamannya. Siapa yang bisa menduga bahwa tangan mungil itu sudah menghancurkan banyak lelaki? Siapa yang bisa menduga bahwa tangan yang begitu lembut itu menyimpan kekuatan yang besar? Ya Tuhan, Danny ingin sekali mencium tangan itu. Tapi ia yakin Tara tidak akan menyukainya dan akan semakin tidak mengacuhkannya.

Sambil mengelus tangan Tara, Danny berkata, "I really, really can't live without you, Tara. I need your bad words for the rest of my life."

Tara mengeryit. "How stupid."

"And, actually, it's kinda sweet because you wanna learn my language," Danny melangkah mendekat, "Are you started likes me?"

"You knew what I like."

Danny akhirnya terdiam. Ekspresi senang telah menghilang sepenuhnya dari wajahnya. Danny bahkan membiarkan saja saat Tara menarik tangan dari genggaman laki-laki itu. Ia tampak lebih serius sekarang. "I knew you lied." ujarnya dengan suara berbisik karena tenggorokannya tercekat.

Kekehan mengejek terdengar dari bibir Tara. "The one who lied is you, dude. You're lying to yourself." Setelah mengatakan hal itu, Tara melangkah pergi. Saat sudah mencapai pintu menuju lapangan, Tara tidak bisa menahan diri untuk tidak berpikir betapa sulitnya mencapai pintu itu. Sejak tadi ada saja yang menghadang langkahnya untuk berlatih di saat lombanya sudah berada di depan mata.

Wanna Kiss, Tara?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang