Prolog

10 0 0
                                    

Dulu sekali, jauh sebelum manusia memiliki apa yang mereka punya, kesedihan tidak lebih dangkal dari tatap mata anak kecil perempuan tiga bulan lahir di dunia. Semenjak kita mengenal kepemilikan, kesedihan menjelma diri.

Berubah jadi tikus yang mengintai rotimu dari plafon rumah, lebih purba lagi menjelma Adam dan hawa yang menemukan kesedihan serupa diturunkannya mereka dari kesempurnaan, menuju lingkaran kehampaan dan kesementaraan yang selama ini kita sebut bumi.

Bayangkan tikus itu kalian, bagaimana rasanya menemukan dirimu tengah kehilangan rasa aman. Khawatir hari kemarin barangkali adalah makan terakhirmu. Roti di atas meja yang kalian lihat boleh jadi penawar laparmu. Namun bagaimana jika ternyata roti itu bercampur racun di dalamnya? Apa yang akan dirasakan manusia jika menemukan anak-anakmu bersedih kehilanganmu yang tikus?

Lantas apa yang terjadi pada Adam dan Hawa? Mereka manusia sempurna, bahkan jin dan iblis wajib bersujud kepada mereka. Namun sayang wujud cinta yang sempurna mengantar mereka pada kenyataan bahwa Adam tak sanggup menolak kemauan Hawa. Senang hati laki-laki itu meraih ranting pohon kuldi. Setengan berjinjit Adam meraih buah larangan itu. Bangga sekali menghaturkannya pada Hawa. Meski di baliknya, kemurkaan tengah menanti mereka berdua.

Dahulu kala, di langit yang jauh sebelum kita dilahirkan, kesedihan pertama pecah. Tuhan begitu adil bukan? Menurunkan mereka ke dunia demi apa-apa yang kita temukan pasca kehilangan. Ya betul, mereka berdua manusia sempurna.

Dalam hidup yang tak seberapa panjang ini kita dihadapkan pertemuan dan kehilangan setiap harinya. Mereka sudah jadi poros kesementaraan bumi dan manusia itu sendiri. Saking dekatnya, kehadiran mereka tak pernah kita rasakan. Sama tak terasanya dengan hitam putih matamu, mili demi milimeter kuku jari dan rumbut yang tumbuh, atau denyut nadi yang hanya kalian cari saat menemukan seseorang tergeletak.

Bayangkan di suatu hari yang tak kamu kira, kehilangan begitu dekat denganmu. Dia siap mengambil apapun, siapa pun yang kamu punya, di malam yang paling tidak kamu ingat pagi hari kau tak menemukan dia di mana pun. Tidak di rumah, halaman, pekarangan tapi tumbuh subur di taman hatimu.

Kau hanya mematung, mengucek mata bangun tidurmu dan mendapati semua ini benar-benar terjadi, bukan mimpi. Semenjak hari itu, pagi itu, kau akan sepenuhnya terjaga dengan hati menganga. Lubang kehilangan yang terbuka lebar yang kemudian membawamu pada hari-hari menyebalkan berikutnya.

Tiba-tiba saja kau takut melangkah sebab takut kehilangan apa-apa yang kau tapaki. Tiba-tiba saja kau enggan berkenalan dengan orang-orang baru sebab kau yakin semua orang hanya akan membuat lubang di hatimu makin lebar suatu hari nanti. Tiba-tiba saja kau kehilangan selera hidup sebab kematian kau rasa lebih menyelesaikan semuanya.

Makin hari kau hanya akan akrab dengan satu orang bernama kesepian. Di bahunya kau sandarkan segalanya, cita-cita, karir, percintaan, orang tua bahkan hidupmu. Kau sadar hanya kesepian barang paling setia. Jika dulu dia mengintaimu, semenjak hari itu dia lebih terus terang. Jadi teman di setiap bangun tidur seusai mimpi buruk yang rutin atau teman terjaga selain insomnia hingga pukul tiga pagi.

Kau menjalaninya berhari-hari, berbulan-bulan, hingga tahun. Tak mengapa, katamu. Bukankah akan jauh lebih baik jika kau mengakrabi kesepian sebelum seseorang mengantarkannya padamu? Orang yang selama ini membuatmu aman. Orang yang kau jadikan sosok. Orang yang paling peduli denganmu, seseorang yang spesial. Dia menemukanmu pada keepiaan saat kau kehilangannya.

Hingga kemudian di tengah malam yang dingin dari hari melelahkan kau bangun dengan luka yang tak juga keiring seiring gugurnya dahan waktu. Kesepian yang kau peluk justru makin menenggelamkanmu. Sialnya, kau masih tak mampu menolak siapa pun yang membawa kehilangan di muka bumi.

Di suatu bidak waktu, pemahaman itu akhirnya tiba. Kau membuka mata juga akhirnya. Selain lelah, hidup hanya sekali, dan sekat-sekat lain akhirnya membuatmu bangun. Kau sadar seseorang yang pergi telah membawa pergi lebih dari kehadirannya. Dia merenggut keceriaanmu, merenggut hari-harimu bakan masa depanmu, kemudian yang paling tak termaafkan dia merebut dirimu.

Pemahaman yang kemudian pelan-pelan merebutmu dari kesepian. Melarikanmu, mengantarkan pada tempat di mana harusnya kau tumbuh dengan menyayangi dirimu sendiri
Pada akhirnya, kehilangan yang menemukanmu pada kesendirian, kehilangan yang menemukanmu pada pencarian, kehilangan yang menemukanmu pada kenyataan, kehilangan yang membuatmu akhirnya ditemukan oleh orang-orang yang enggan kehilanganmu.

Dan sejak itu kau sadar, halaman pertama baru saja dimulai.

Menemukan KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang