“Name?”
Laki-laki di depan Vivian mengangkat alis. Bersengut, menatapnya sama seperti mahasiswa baru lain sebelumnya.
Angin musim gugur berembus. Di halaman depan kampus usil meniup ujung poni Vivian juga beberapa lembar buku absen. Kakak tingkat dengan name tag di seragam almamater hitam panjang menarik ujung lembar yang tertiup, dingin. Bukan cuaca tapi Vivian merasa orang-orang di negara dan kampus ini sungguh dingin.
“Vivian.”
Laki-laki di depannya belum puas. Tambah mengerutkan kening, mengangkat bola matanya yang sebelumnya menatap buku di hadapannya.
Vivian mendenguskan napas panjang, menggigit giginya sendiri, kesal dengan laki-laki di hadapannya. “Oke, my full name is Vivian Ivory," ketusnya
Puas mendengar jawaban Vivian laki-laki itu mengangguk pelan. Membuka tutup bolpoin yang sedari tadi hanya dimainkannya dengan jari-jari tangan kanan. Berputar, menyelinap, melompat di sela-sela jarinya.
“Age?”
“Twenty four.”
“Nation?”
“Indonesia.”
Lagi-lagi pria itu terdiam. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. Menyapu rambut curly dari kening yang menutup sedikit anak matanya. Menarik kursinya lebih dekat, melipat kedua tangannya di dada. Keningnya terlihat berlipat juga bola mata yang terangkat. Mulai menelusuri pelan-pelan perempuan di hadapannya. Bola mata yang bergerak dari atas hingga bawah, mimik muka keheranan, ditambah satu ujung bibir yang sedikit menukik naik, tersenyum miring.
“I can’t see your Indonesian,” ucapnya sambil mengusap dagu yang ditumbuhi sedikit bulu dengan jari telunjuk, keheranan.
Vivian menepuk jidat. “Kenapa harus ketemu kakak panitia aneh di hari pertama,” batinnya.
“Oh, but you look like asian. Thats enought.”
Vivian bernapas lega sesaat setelah kalimat pria di depannya ditutup dengan anggukan-anggukan kecil.
Kini ganti Vivian yang mengamati laki-laki di depannya. Rambut warna pirang bergelombang, hidung mancung dengan pipi tirus, ditambah tulang rahang yang besar, juga bola matanya, coklat dan dalam.
Style pria ini juga tidak diragukan. Kemeja putih lengkap dengan dasi kupu-kupu merah cerah, ditutup oleh jaz almamater berwarna hitam dibumbui kancing berwarna emas, lengkap dengan jam tangan bermerk ternama berwarna black army. Celana hitam ketat panjang membentuk kaki jenjangnya lengkap dengan sepatu sneaker yang kebesaran.
Sedang laki-laki yang ditatapnya sibuk mencatat. Membolak balikkan lembar demi lembar di sekelilingnya. Nampak sesekali mengangkat panggilan dari telefon genggamnya. Berbicara dengan sangat sopan.
“Alright Vivian, this is you ID card and also your book guide. Welcome to Harvard family.”
Vivian tersenyum saat menerima jabat tangan laki-laki di hadapannya. Sedang pria itu? Sudah tentu biasa saja. Hari ini sudah ada ratusan mahasiswa baru yang laki-laki itu catat nama dan identitasnya. Vivian mungkin jadi salah satu favoritnya. Tidak banyak basa basi, menjawab hanya apa yang dia tanyakan.
Puluhan lainnya jauh lebih menyebalkan. Bertanya banyak hal, mulai dari nama hingga status lajangnya. Satu dua orang mungkin mudah baginya untuk terenyum hangat karena memang itu tugasnya. Tapi untuk ke semua orang, ia memutuskan untuk menyerah.
Kedua kaki Vivian melangkah. Kedua matanya tidak lepas dari betapa indahnya arsitektur gedung di depan matanya. Meski nampak daun dadi berbagai jenis pohon berserak sebab tertiup angin musim gugur tapi tetap saja calon kampusnya adalah tempat paling estetik yang pernah Vivian kunjungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menemukan Kehilangan
No FicciónBagaimana kalau ternyata kehilangan datang dengan maksud lain? Apa sebenarnya kita pantas merasa sebagai korban kehilangan padahal diri kita sendiri sejatinya bukan milik kita. Banyak hal ditemukan kemudian setelah kehilangan untuk mengekalkan bahw...