“Sebenarnya, ada sesuatu yang harus mama tahu.”
Akhirnya Vivian membuka mulut. Sudah hampir setengah jam duduk berdua dengan mamanya di ayunan belakang rumah. Bergelayut, berayun-ayun menikmati embusan angin juga derit engsel. Entah berapa bulan sudah ayunan itu lupa diberi minyak.
Umur Vivian kini 23 tahun. Quarter life crisis atau apa saja orang lain menyebutnya. Apa mau dikata, malam itu, mau tidak mau ia harus jujur pada mamanya. Sedang perempuan di sebelah Vivian nampak begitu tenang. Syal biru kesayangan, hasil pertama kali dia belajar merajut, melingkar manis di lehernya. Menutupi leher jenjang, kerah kemeja, dan sebagian kerutan usia yang pelan-pelan mulai nampak di sekitar wajahnya.
“Vivian tak sanggup lagi hidup dengan mama.”
Angin semilir pelan tiba-tiba menikam perasaan. Perasaan sedih dan bersalah mengisi aliran darah. Susunan bintang dengan ribuan gugusan di gemulung awan atas sana tak lagi berarti. Hening sudah dulu merayap, dingin percakapan sejak 30 menit yang lalu ini membuat beku malam itu.
Ia tahu, seminggu dua minggu ini dirinya tak cukup banyak menemani Vivian. Semakin senior karir pengacaranya, kasus yang ditanganinya semakin superior.
Menyelamatkan skandal artis, mega proyek yang separuh anggarannya hilang tanpa bukti transaksi, aliran dana tidak masuk akal. Seminggu dua minggu hanya bertemu putrinya kala dia terlelap dan begitu pagi datang, ia hanya menemukan kamar berantakan Vivian yang sudah ditinggalkan berangkat ke kampus.
Lima hari yang lalu putrinya sibuk mengganggunya. Di sebuah sore sepulangnya dari persidangan. Sibuk bertanya apa dia bisa menemaninya kuliah besok. Sibuk merajuk, mengomel untuk datang ke kampusnya.
Sedang dirinya, perempuan yang kini hampir berusia 50 tahun justru sibuk dengan tumpukan laporan di depan matanya, mencatat, merekam, menganalisa, mencari celah menyelamatkan kliennya. Bukankah karena itu dia dibayar?
Sungguh tapi itu bukan keinginannya. Jauh dalam lubuk hatinya Ruby ingin Vivian menunggu, barang sebentar. Semua urusan benang merah kasus tak bisa menunggu. Namun Vivian yang terlanjur antusias tak lagi bisa mendengar permintaan lirih Ruby, mamanya. Gadis itu ingin sesegera mungkin dapat jawaban pasti darinya, tanpa menunggu, tanpa ingin berlama-lama.
Jengkel dengan tingkah putrinya, Ruby tak sengaja membentak, menyuruh Vivian pergi, menyingkir, enyah dari hadapannya. Dan sungguh, malam itu Vivian benar-benar pergi. Mengunci rapat-rapat kamar tidurnya. Vivian yang besar tanpa sosok ayah itu terlanjur sakit hati. Usinya tidak lagi bawah sepuluh tahun. Tak mudah melupakan perlakuan mamanya di usianya sekarang. Malam itu Vivian memeluk boneka pandanya sambil menangis hingga ketiduran.
Namun cerita sebenarnya jauh dari perkiraan Ruby, jauh sekali. Pagi hari, saat dia bangun tidur dan tak menemukan siapa pun, seperti biasanya. Setelah merapikan kamar putrinya dan rumah. Menyiram beberapa jenis bunga di pekarangan rumah. Membuka ponsel dengan beberapa memo persidangan, ia berangkat. Persidangan kedua dari kasus kemarin.
Tak mengecek sedikit pun meja kerjanya. Meski beberapa kali dia melewati meja itu. Meja yang letaknya masih sama di ruang tengah, ia abai dengan amplop putih di antara tumpukan bukunya. Hingga sepulang persidangan, saat langit sudah mulai gelap, sore hari ditambah mendung akhirnya ia membuka amplop itu.
Terlambat, sungguh sangat terlambat. Amplop yang berisi undangan wisuda putrinya kini berubah amplop berisi jutaan penyesalan. Bergetar hati perempuan itu membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat. Sungguh, seandainya semalam ia mendengarkan putrinya barang sebentar. Seandainya hari ini tidak ada persidangan lanjutan.
Seandainya ia lebih memilih putrinya.
Air mata pertama jatuh, Ruby bersedih, sangat sedih. Sedetik kemudian matanya basah. Hatinya remuk oleh surat undangan tersebut. Air matanya luruh, membuncah, bersamaan dengan kemeratak air hujan yang turun mengetuk atap rumahnya tanpa jeda. Hujan deras turun, sangat deras. Sederas penyesalan bertubi di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menemukan Kehilangan
No FicciónBagaimana kalau ternyata kehilangan datang dengan maksud lain? Apa sebenarnya kita pantas merasa sebagai korban kehilangan padahal diri kita sendiri sejatinya bukan milik kita. Banyak hal ditemukan kemudian setelah kehilangan untuk mengekalkan bahw...