Vivian terbangun saat bel rumahnya berbunyi. Gadis dengan tubuh masih berbalut piyama kesayangannya turun dari lantai dua rumah. Angin musim gugur kasar mengetuk jendela kamarnya. Beberapa patahan ranting dan daun kering mengetuk kaca. Menerobos jendela rumahnya nakal menyapu ujung piyama merah jambu yang ia kenakan.
Satu dua kali Vivian harus berjinjit.
Meski telah melewati proses renovasi, rumah yang ia tempati nyatanya tak langsung begitu saja layak ditempati. Tak seindah di sinetron atau film-film keluarga kerajaan. Ember berisi sisa cat saling tumpang tindih, beberapa alat renovasi. Di pojokan tumpukan remahan tembok belum dibuang, menumpuk. Perempuan ini geleng-geleng kepala saat pertama kali membuka pintu. Bayangan sesampainya di rumah mandi air hangat, berkubang berla-lama di bath-up kemudian minum teh hangat sambil mengisi perut hilang sudah.Apa boleh buat, Vivian belum sempat membereskan semuanya sebab dua puluh dua jam perjalanan di dalam pesawat menguras habis tenaganya. Hanya sempat menyapu kamar tidur lantai duanya. Menyapu kasur dengan kemoceng yang entah dari mana tapi tersedia dan mengganti sprei dengan sprei kesayangannya.
Vivian merebahkan tubuh setelah rampung semuanya. Bayangannya berpendar, jatuh di beberapa jam yang lalu.
Pemandangan yang tak jauh berbeda dengan apa yang disajikan bandara di negaranya. Wajah-wajah tergesa, wajah penuh kebingungan memilih arah, mencari kerabat atau sanak famili kemudian berubah jadi wajah antusias. Wajah-wajah penuh kecemasan menunggu dan perpisahan, bertemu dan menanggalkan, semua campur aduk mengisi lobi.
Vivian menyimak sekitar dengan seksama. Papan digital berisi beberap nama maskapai penerbangan, tembok beraksen Amerika dengan dominan warna putih tulang, kursi lobi, interior bandara yang disusun dengan sentuhan klasik semi modern lewat pemilihan bahan, termasuk saat speaker yang saling terhubung satu ke yang lain menyuarakan sesuatu, suara seorang perempuan.
Fasih dengan bahasa inggrisnya mengucapkan selamat datang bagi penumpang macam Vivian, memberitahu keberangkatan pesawat berikutnya kemudian ditutup memperingatkan untuk mengecek kembali barang bawaan dan tentu saja, dompet.Perempuan ini sebenarnya sudah merasakan kantuk hinggap sebelum tubuhnya mendarat di rumah ini. Lebih tepatnya saat sebuah taksi kuning pesanannya datang. Melaju, membelah udara dingin yang mulai berembus seiring pergantian musim, merembes ke dalam celah kaca taksinya yang berebut jalan di tengah padatnya lalu lintas bulan september. Mengantar dirinya ke sebuah alamat.
“Semalam mama sudah hubungi salah satu klien yang punya bisnis properti di daerah Cambridge, ini alamatnya. Kalau di foto yang dikirim ke mama rumahnya bagus, lantai dua dan letaknya tidak jauh dari calon kampusmu.” Kalimatnya terpotong, tersenyum, mengulurkan secarik kertas yang diambil dari saku kemejanya. “Semoga betah ya,” pungkasnya.
Meski ini bukan kali pertama Vivian menginjakkan kaki di Amerika, gadis ini selalu antusias dengan semua yang dia rasakan tentang negara ini. Ditambah musim gugur kali ini. Guguran daun, udara dingin yang mengusik ujung hidung, merambat masuk ke jaketnya.
Gadis ini membuka kaca taksi begitu keempat rodanya berhenti. Menatap sungguh-sungguh rumah di depan mukanya. Berputar, ganti memperhatikan taksi yang mengantarkannya dan sekitar. Sepi, hanya ada sepasang, kekasih mungkin, yang mengajak seekor anjing miliknya jalan-jalan.
“Bagaimana mama bisa menemukan rumah yang hampir mirip dengan rumahnya di Indonesia?" batin Vivian.
Berlantai dua, mungkin hanya itu bedanya. Rumah ini terdiri tiga bagian dengan pintu berbahan kayu warna coklat di bagian tengahnya. Bagian kiri nampak sebuah garasi kosong yang tertutup rolling dor. Di bagian kanan sebuah ruangan berjendela dua. Satu menghadap langsung ke jalan dan satu lagi menghadap samping. Depan rumah langsung berbatasan dengan trotoar yang terhubung ke jalan. sementara di sebelah rumah ada taman yang cukup luas. Sebuah pohon maple merah berdiri tegak, tingginya lebih dari lantai dua, cukup tua umurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menemukan Kehilangan
غير روائيBagaimana kalau ternyata kehilangan datang dengan maksud lain? Apa sebenarnya kita pantas merasa sebagai korban kehilangan padahal diri kita sendiri sejatinya bukan milik kita. Banyak hal ditemukan kemudian setelah kehilangan untuk mengekalkan bahw...