Enam : Mengenang

10 7 0
                                    

Sinar rembulan menerangi malam yang gelap, di sisi kamar, Arga sedang membaca buku. Hanya rasa penasaran dan takut yang sedang ia pikirkan, bacaannya terhenti, bukunya ia taruh kembali ke rak. Melangkah kaki ke toilet untuk mencuci muka, siapa tahu bisa menghilangkan apa yang ia pikir berlebih. Langkahnya terus berlanjut keluar toilet dan menuju ke dapur, melihat-lihat lemari es. Mengambil setoples Es krim, dan menaruhnya di mangkuk kecil. Memang dingin saat malam apalagi di tambah dengan memakan Es krim, tapi hanya Es krim yang mampu membuatnya tenang.

Kembali menatap langit dari balkon kamarnya, menyuap es krim yang ia pegang. "Apa gue terlalu taku kehilangan Rindu, kenapa gue bisa cemburu?" Tatapannya terus tertuju pada bulan. "Kenapa gue ngerasa kalah dari Dimas. Yah, emang sih, Dimas itu Aktor dan pastinya jika di suruh memilih. Rindu akan lebih memilih Dimas daripada gue," Arga mendesah pelan, memakan sesuap Es krim.

Arga menatap jam yang ada di tangannya, pukul sebelas malam, ia masih belum berselera untuk tidur. "Du, kalo gue bisa jujur sekarang," Arga mendesah pelan sebelum melanjutkan kalimatnya. "Gue suka sama lo, tapi gak tau kenapa susah banget ngomomng itu ke lo. Gue terlalu fokus dengan kata-kata Papa gue Du". Arga kembali menyuap Es krim nya lagi. Ayahnya memang sudah meninggal setahun tahun lalu saat ia berusia lima belas tahun.

Ayahnya menderita penyakit Diabetes yang tinggi, sudah beberapa kali di bawa ke rumah sakit untuk di rawat,. Hingga akhirnya nyawanya tak tertolong, ia meninggal saat tidur sehingga banyak yang tak menyangka. Arga dan Ibunya benar-benar terpukul saat itu, mereka tak menyangka akan kehilangan orang yang di sayanginya secepat itu. Sebelum ayahnya meninggal, tepat sebelum ayahnya itu tidur. Ayahnya memanggil Arga untuk berbicara dan berdiskusi, mereka berdiskusi di ruang tamu, saat itu Ibunya sedang pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan.

"Sayang, Arga, Mama mau ke Supermarket dulu yah. Gak lama kok, cuma beli bahan-bahan makanan aja," Ibunya Arga pamit. "Di temani supir yah sayang, aku gak mau kamu nyetir sendiri" Ayahnya Arga menyulurkan tangan dan Istrinya langsung mencium tangan suaminya tanda pamit. Arga yang duduk di sofa hanya mengangguk dan meminta untuk di belikan Es krim, tanpa berkata apapun Ibunya mengangguk dan pergi.

Kini hanya mereka berdua yang ada di rumah, asisiten rumah tangganya izin cuti pulang kampung karena Ibunya sedang sakit. Ayahnya Arga masih sibuk dengan pekerjaannya di Laptop, sedangkan Arga sibuk membaca buku dan sesekali memainkan ponselnya. "Arga," Ayahnya memanggil, memberhentikan pekerjaannya terlebih dulu dan Arga langsung menaruh buku yang sedang ia baca ke meja. "Iya Pa?" Arga fokus melihat Ayahnya yang sedikit terlihat pucat, " Papa mau minum? Biar Arga yang ambil" Arga mulai beranjak dari tempat duduknya, tapi Ayahnya menyuruh untuk duduk kemabali. "Papa mau bicara serius sama kamu," Ayahnya menatap anaknya dengan tegas.

Suasana lenggang sejenak, Arga terlihat tegang, karena Ayahnya tiba-tiba terlihat tegas. "Bicara apa?" Tanya Arga menyembunyukan muka tegangnya.

"Papa mau nanya tentang sekolah, kamu serius mau kuliah di sana? Papa cuman gak mau nanti kuliahmu hanya sia-sia" Ayahnya memasang muka serius.

"Iya pa, aku bakal sungguh-sungguh kuliahnya, aku mau kejar mimpiku dan mencapainya"

"Soal Rindu?" Pertanyaan Ayahnya kali ini membuat wajah Arga cemas namun bingung.

"Kenapa? Dia juga pasti dukung aku kok. Dia kan sahabatku," Arga tersenyum tipis.

"Sahabat? Yakin kamu menganggap dia hanya sebatas sahabat?"

"Iya Pa me-"

"Papa tahu, kamu menganggap Rindu lebih dari sahabat. Ar, kamu gak bisa bohongin Papa dan diri kamu sendiri," Ayahnya memotong ucapan Arga tadi.

"Maksud Papa?" Arga bingung.

"Kalo kamu suka sama perempuan, kamu harus perjuangin. Dan kamu bilang sama dia, kalo kamu suka. Tapi gak asal cuman bilang Ar, butuh proses dan prinsip di hati."

Arga menggeleng dan makin tak mengerti ucapan Ayahnya itu. Ayahnya melanjutkan bicaranya lagi.

"Kamu harus melalu proses meyakinkan hati, kalo kamu bener-bener sama dia, jangan cuman main-main. Kamu juga harus punya prinsip kalo kamu akan nyatain perasaan kamu di waktu yang tepat, bukan di waktu yang sembarang. Itu tandanya kamu gak main-main dan kamu serius sama dia," Ayahnya beranjak dari duduknya, menutup Laptopnya dan mulai melangkah menaiki anak tangga. Arga masih mencerna kalimat demi kalimat yang di sampaikannya, ia diam. "Ingat kata-kata Ayah Arga, pahami." Ayhanya melanjutkan kembali langkah kakinya di anak tangga.

Arga mendesah pelan, memahami kalimat ayahnya lagi. Ia memang merasa aneh dengan perasaanya saat sedang bersama Rindu, tapi ia tepis lagi. Arga melamun sekitar Lima belas menit, lamunannya terhenti ketika mendengar deru suara mobil yang sedang di parkirkan, itu Ibunya yang pulang. Ibunya masuk, melihat Arga yang masih sibuk dengan layar ponselnya. Ibunya mencuci tangan dan kaki lalu naik ke atas mencari suaminya di kamar. Tak disangka saat itu, ia kira suaminya hanya tidur dengan pulas namun ternyata saat di teliti suaminya sudah tak bernafas dan tertidur untuk selamanya. Ibunya berteriak histeris di temani dengan tangis. Arga yang mendengar itu langsung naik dan cepat-cepat memasuki kamar mereka. Ia benar-benar terkejut saat melihat Ayahnya yang tertidur untuk selamanya.

Mereka langsung pergi ke Rumah Sakit, Ibunya menangis di dalam mobil yang membuntuti mobil Ambulan yang membawa suaminya itu. Arga masih tak menyangka ini akan terjadi. Mereka sampai di Rumah Sakit dan segera membawa lelaki parubaya itu ke ruang gawat darurat.

"Ar! Gimana keadaan Bokap lo?" Rindu yang baru saja sampai bertnya kepada Arga, nafasnya masih tersenggal. Akibat kelelahan berlari sepanjang koridor Rumah Sakit. Arga menggeleng tidak tahu, yang ia lihat di rumah benar-benar menyeramkan.

"Keluarga Pak Andi," Dokter keluar dari ruangan itu, Ibunya Arga langsung mendekati Dokter itu dan bertanya bagaimana keadaannya. Benar-benar kabar yang tidak di inginkan sama sekali. Andi, Ayahnya Arga meninggal. Ibunya menangis histeris sambil memeluk Arga yang ikut menangis. Rindu menutup mulutnya ketika Dokter menyampaikan kabar buruk itu, gadis itu terduduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruangan gawat darurat. Mengingat Andi yang ia kenal selama ini adalah Ayah kedua baginya, bahkan ia menyayanginya lebih seperti Ayah kandungnya sendiri. Andi adalah sosok yang baik bagi siapapun, Rindu menyeka pipinya yang basah karena air matanya turun. Jenazah Andi langsung di bawa ke Rumahnya untuk di mandikan, lalu di kubur. Lia, Ibunya Arga membeli dua liang lahat yang bersampingan, satu untuk Andi dan sebelahnya untuknya kelak.

Begitu banyak kenangan yang di tinggalkan oleh Andi, Arga dari tadi terus mengingat dan memahami nasihat terakhir yang keluar dari mulut Ayahnya. "Pa, kenapa pergi secepat ini?"

SIU {Semesta Itu Unik}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang